TERPAPAR COVID -19. REZEKI VS COVID-19

On Sabtu, 16 Mei 2020 0 komentar




REZEKI VS COVID 19

DODI INDRA,S.S
GURU SMP NEGERI BERNAS

Rembulan  sudah mulai merangkak naik. Kegelapan malam makin kian pekat. Jalanan yang biasanya ramai kini terlihat sangat sepi. Hanya beberapa kendaraan yang melintas. Tidak ada lagi anak–anak main di depan rumahnya. Semua pintu sudah terkunci rapat. Yono tetap mengayuh sepeda gerobaknya. Sesekali dia meneriakkan dagangannya.
“Sate… Sate… Sate daging. Sate ayam”
Penuh semangat dia mengenjot sepeda gerobak. Dia masuk jalan – jalan ramai penduduk. Masuk area perumahan dan gang – gang padat. Namun dari jam 4 sore tadi dia berangkat, belum seberapa pembeli yang memanggilnya. Karta melihat daging sate yang telah ditusuk-tusuk masih menumpuk. Kuah sate dalam periuk pun masih banyak.  Lontong bungkus daun kelapa pun masih menjuntai banyak di tiang gerobak.
“Sudah jam 10. Daganganku masih banyak”
Yono bicara sendiri. Dia menghentikan genjotannya. Yono memandang berkeliling. Tak satu pun manusia dia lihat di sana. Perumahan ini biasanya ramai. Tapi hari ini seperti mati. Tak ada suara yang terdengar. Dipandangnya rumah bercat biru dihadapannya. Rumah pak Iddadi. Pelanggan tetapnya. Namun hari ini beliau tak nampak. Rumah beliau juga tertutup rapat seperti rumah-rumah lainnya.
Yono memutuskan untuk kembali mengayuh sepeda gerobaknya. Dia memutar arah menuju jalan pulang.

 “Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam. Sudah pulang Pak?”
“Sepi Buk.”
“Sepi?”
“Iya. Tak ada manusia di luar”
“Pada takut keluar rumah kali Pak.”
“Iya. Apalagi  PSBB sudah mulai diberlakukan Buk. Tak ada lagi orang keluar rumah.”
“Takut tertular corona Pak.”
“Hm... Kalau begini terus, dagangan kita tak laku Buk.”
“Iya Pak.”
“Jangankan untung, malah rugi kita Buk.”
“Bagaimana kalau bapak berhenti dulu jualan sate kelilingnya?”
“Berhenti? Maksud Ibuk?”
“Ya. untuk sementara Bapak tak jualan dulu.”
Yono menarik nafasnya dalam–dalam. Dia memikirkan  kata-kata istrinya barusan. Untuk sementara dia berhenti jualan. Itu artinya tak ada pemasukan. Kalau tak ada pemasukan dengan apa kebutuhan sehari – hari dia penuhi. Selama ini dia menutupi kebutuhan rumah tangga dengan jualan sate keliling.  Dari usahanya itu adalah untung sedikit–sedikit untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari hari. Tapi sudah hampir sebulan ini jualannnya tak lagi laris. Jangankan untung, modalpun tak balik.
Yono kembali menatap istrinya tajam. Ada keyakinan terpancar dari kedua bola mata istrinya. Namun dia masih ragu dengan anjuran itu.
“Trus. Kita makan apa Buk?”
“Sabar Pak!”
“Mana bisa kita makan sabar Buk!”
“Bapak!. Bukan itu maksud ibu?”
“Terus?”
“Kita harus sabar dan tawakal Pak!”
“Rezeki harus dikejar. Kalau kita berdiam diri saja tak akanlah rezeki itu datang sendirinya.”
“Ibuk mengerti kok Pak. Bapak bisa tetap jualan di rumah.”
“Jualan di rumah?”
“Iya” kata istrinya sambil menganggukan kepala.
“Mana ada yang beli Buk. Bapak jualan keliling saja tak ada yang beli, apa lagi hanya berdiam diri di rumah?”
“Ada, Ibuk yakin pasti ada yang beli.”
“Hm….”
“Rezeki tak akan kemana. Pasti ada rezeki untuk kita. Biar pembeli saja yang datang kesini Pak!”
“Apa ada Buk?”
“Insya Allah ada Pak. Kita usaha dan berdoa. Allah pasti mengabulkan doa kita Pak.”
“Hm…”
“Lagian Pak. Terlalu beresiko kalau Bapak masih jualan keliling. Di luar sana wabah corona mengintai Pak. Kita  tak bisa membedakan siapa yang sudah kena  dengan yang belum. Ibuk takut Bapak kena penyakit corona itu Pak.”
Kembali Yono mencerna setiap kalimat yang keluar dari mulut istrinya. Benar juga. Di luar sana dia menemui banyak orang. Mereka saling bertegur sapa. Dia menerima uang dari orang orang yang membeli satenya. Bukankah penularan corona bisa melalui uang yang dipegang oleh orang yang terinfeksi corona. Keraguannya makin bertambah.
“Benar juga Buk.  Mulai besok bapak jualan di depan rumah kita saja.”
“Iya Pak.”
“Tapi Buk. Kalau memang sudah takdirnya kena corona, bagaimanapun juga kita menghindar akan kena juga Buk.”
“Ya Allah Pak. Bapak kok berpikiran begitu?”
“Hm….”
“Agama kita menganjurkan untuk berserah diri. Tawakal. Namun kita juga harus berusaha Pak. Jangan tawakal saja tanpa berusaha menghindarinya!”
“Iya.”
“Kita bisa menekan penularan corona itu dengan menjaga diri kita Pak. Kita jaga jarak. Tidak keluar rumah. Pakai masker jika  keluar rumah. Tidak bersentuhan dengan orang lain.”
“Bapak tahu itu Buk”
“Nah, kalau Bapak tahu, kok Bapak masih ragu?”
“Bapak tak ragu… Cuma… Cuma khawatir Buk.”
“Ibuk lebih khawatir lagi Pak?”
“Khawatir?”
“Iya. Khawatir Bapak ditangkap polisi atau satpol PP.”
“Kok bisa ditangkap pula?”
“Bapak. Siapa yang masih keluar rumah tanpa kepentingan yang jelas bakalan ditangkap. Apa lagi Bapak keluar jualan. Ya pasti ditangkap la Pak?”
“Bapak jualan Buk!”
“Apapun itu. Bapak dilarang jualan Pak.”
“Ya kalau tak jualan, mau makan apa Buk?”
“Bapak mau kena corona?”
“Tidak lah.”
“Kalau tidak. Ikuti anjuran pemerintah.”
“Wah. Rupanya Ibuk dah jadi corong pemerintah pula.”
“Bapak!. Bukan corong pemerintah. Corong kebaikan Bapak! Bapak pahamkan?”
“Ya.. Bapak paham!   Bapak mau istrahat dulu”
“Terus… sate – sate ini bagaimana Pak? Masih banyak”
“Ibuk bagi-bagi saja sama tetangga Buk.  Allah sudah takdirkan sate–sate itu jadi rezeki tetangga kita malam ini”
“Baiklah Pak. Ibuk bungkus dulu ya! Nanti biar mudah membagikannya sama tetangga.”
“Ya Buk. Terserah Ibuk saja.”
Yono segera beranjak kedalam. Hatinya plong meskipun kekwatiran masih menghantuinya.
“Oya Pak. Uang untuk belanja bahan esok hari mana?” pinta istrinya. Dia biasanya pagi-pagi subuh sudah berangkat ke pasar berbelanja semua bahan untuk jualan sate.
“Hanya segini Buk.” Yono menyerahkan beberapa lembar lima ribuan ke tangan istrinya.
“Segini? Mana cukup Pak?”
“Hm…” Yono hanya bisa menarik nafas dalam sambil mengangkat kedua bahunya.


Pangkalan Kerinci, 23 Maret 2020

0 komentar:

Posting Komentar