REZEKI
VS COVID 19
DODI INDRA,S.S
GURU SMP NEGERI BERNAS
Rembulan sudah mulai merangkak naik. Kegelapan malam
makin kian pekat. Jalanan yang biasanya ramai kini terlihat sangat sepi. Hanya
beberapa kendaraan yang melintas. Tidak ada lagi anak–anak main di depan
rumahnya. Semua pintu sudah terkunci rapat. Yono tetap mengayuh sepeda
gerobaknya. Sesekali dia meneriakkan dagangannya.
“Sate… Sate… Sate daging. Sate ayam”
Penuh semangat dia mengenjot sepeda
gerobak. Dia masuk jalan – jalan ramai penduduk. Masuk area perumahan dan gang
– gang padat. Namun dari jam 4 sore tadi dia berangkat, belum seberapa pembeli
yang memanggilnya. Karta melihat daging sate yang telah ditusuk-tusuk masih menumpuk.
Kuah sate dalam periuk pun masih banyak.
Lontong bungkus daun kelapa pun masih menjuntai banyak di tiang gerobak.
“Sudah jam 10. Daganganku masih
banyak”
Yono bicara sendiri. Dia menghentikan
genjotannya. Yono memandang berkeliling. Tak satu pun manusia dia lihat di sana.
Perumahan ini biasanya ramai. Tapi hari ini seperti mati. Tak ada suara yang
terdengar. Dipandangnya rumah bercat biru dihadapannya. Rumah pak Iddadi.
Pelanggan tetapnya. Namun hari ini beliau tak nampak. Rumah beliau juga
tertutup rapat seperti rumah-rumah lainnya.
Yono memutuskan untuk kembali mengayuh
sepeda gerobaknya. Dia memutar arah menuju jalan pulang.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam. Sudah pulang Pak?”
“Sepi Buk.”
“Sepi?”
“Iya. Tak ada manusia di luar”
“Pada takut keluar rumah kali Pak.”
“Iya. Apalagi PSBB sudah mulai diberlakukan Buk. Tak ada
lagi orang keluar rumah.”
“Takut tertular corona Pak.”
“Hm... Kalau begini terus, dagangan
kita tak laku Buk.”
“Iya Pak.”
“Jangankan untung, malah rugi kita
Buk.”
“Bagaimana kalau bapak berhenti dulu
jualan sate kelilingnya?”
“Berhenti? Maksud Ibuk?”
“Ya. untuk sementara Bapak tak jualan
dulu.”
Yono menarik nafasnya dalam–dalam. Dia
memikirkan kata-kata istrinya barusan.
Untuk sementara dia berhenti jualan. Itu artinya tak ada pemasukan. Kalau tak
ada pemasukan dengan apa kebutuhan sehari – hari dia penuhi. Selama ini dia
menutupi kebutuhan rumah tangga dengan jualan sate keliling. Dari usahanya itu adalah untung
sedikit–sedikit untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari hari. Tapi sudah hampir
sebulan ini jualannnya tak lagi laris. Jangankan untung, modalpun tak balik.
Yono kembali menatap istrinya tajam.
Ada keyakinan terpancar dari kedua bola mata istrinya. Namun dia masih ragu
dengan anjuran itu.
“Trus. Kita makan apa Buk?”
“Sabar Pak!”
“Mana bisa kita makan sabar Buk!”
“Bapak!. Bukan itu maksud ibu?”
“Terus?”
“Kita harus sabar dan tawakal Pak!”
“Rezeki harus dikejar. Kalau kita
berdiam diri saja tak akanlah rezeki itu datang sendirinya.”
“Ibuk mengerti kok Pak. Bapak bisa
tetap jualan di rumah.”
“Jualan di rumah?”
“Iya” kata istrinya sambil menganggukan
kepala.
“Mana ada yang beli Buk. Bapak jualan
keliling saja tak ada yang beli, apa lagi hanya berdiam diri di rumah?”
“Ada, Ibuk yakin pasti ada yang beli.”
“Hm….”
“Rezeki tak akan kemana. Pasti ada
rezeki untuk kita. Biar pembeli saja yang datang kesini Pak!”
“Apa ada Buk?”
“Insya Allah ada Pak. Kita usaha dan
berdoa. Allah pasti mengabulkan doa kita Pak.”
“Hm…”
“Lagian Pak. Terlalu beresiko kalau
Bapak masih jualan keliling. Di luar sana wabah corona mengintai Pak. Kita tak bisa membedakan siapa yang sudah
kena dengan yang belum. Ibuk takut Bapak
kena penyakit corona itu Pak.”
Kembali Yono mencerna setiap kalimat
yang keluar dari mulut istrinya. Benar juga. Di luar sana dia menemui banyak
orang. Mereka saling bertegur sapa. Dia menerima uang dari orang orang yang
membeli satenya. Bukankah penularan corona bisa melalui uang yang dipegang oleh
orang yang terinfeksi corona. Keraguannya makin bertambah.
“Benar juga Buk. Mulai besok bapak jualan di depan rumah kita
saja.”
“Iya Pak.”
“Tapi Buk. Kalau memang sudah
takdirnya kena corona, bagaimanapun juga kita menghindar akan kena juga Buk.”
“Ya Allah Pak. Bapak kok berpikiran
begitu?”
“Hm….”
“Agama kita menganjurkan untuk
berserah diri. Tawakal. Namun kita juga harus berusaha Pak. Jangan tawakal saja
tanpa berusaha menghindarinya!”
“Iya.”
“Kita bisa menekan penularan corona
itu dengan menjaga diri kita Pak. Kita jaga jarak. Tidak keluar rumah. Pakai
masker jika keluar rumah. Tidak
bersentuhan dengan orang lain.”
“Bapak tahu itu Buk”
“Nah, kalau Bapak tahu, kok Bapak
masih ragu?”
“Bapak tak ragu… Cuma… Cuma khawatir
Buk.”
“Ibuk lebih khawatir lagi Pak?”
“Khawatir?”
“Iya. Khawatir Bapak ditangkap polisi
atau satpol PP.”
“Kok bisa ditangkap pula?”
“Bapak. Siapa yang masih keluar rumah
tanpa kepentingan yang jelas bakalan ditangkap. Apa lagi Bapak keluar jualan.
Ya pasti ditangkap la Pak?”
“Bapak jualan Buk!”
“Apapun itu. Bapak dilarang jualan
Pak.”
“Ya kalau tak jualan, mau makan apa
Buk?”
“Bapak mau kena corona?”
“Tidak lah.”
“Kalau tidak. Ikuti anjuran
pemerintah.”
“Wah. Rupanya Ibuk dah jadi corong pemerintah
pula.”
“Bapak!. Bukan corong pemerintah.
Corong kebaikan Bapak! Bapak pahamkan?”
“Ya.. Bapak paham! Bapak mau istrahat dulu”
“Terus… sate – sate ini bagaimana Pak?
Masih banyak”
“Ibuk bagi-bagi saja sama tetangga Buk. Allah sudah takdirkan sate–sate itu jadi
rezeki tetangga kita malam ini”
“Baiklah Pak. Ibuk bungkus dulu ya!
Nanti biar mudah membagikannya sama tetangga.”
“Ya Buk. Terserah Ibuk saja.”
Yono segera beranjak kedalam. Hatinya
plong meskipun kekwatiran masih menghantuinya.
“Oya Pak. Uang untuk belanja bahan
esok hari mana?” pinta istrinya. Dia biasanya pagi-pagi subuh sudah berangkat
ke pasar berbelanja semua bahan untuk jualan sate.
“Hanya segini Buk.” Yono menyerahkan
beberapa lembar lima ribuan ke tangan istrinya.
“Segini? Mana cukup Pak?”
“Hm…” Yono hanya bisa menarik nafas
dalam sambil mengangkat kedua bahunya.
Pangkalan Kerinci, 23 Maret 2020
0 komentar:
Posting Komentar