DUA
TAMU PPDB
DODI INDRA, S,S
GURU SMPN BERNAS
Prraakkkk...
Terdengar suara
tong ditendang. Sontak, pak Darma dan pak
Mudra yang sedang duduk di ruang guru terkejut. Kedua guru setengah baya
itu bergegas keluar dari ruang guru untuk melihat apa yang sudah terjadi.
Benar saja. Di koridor
ruang guru tersebut sebuah tong sampah dari alumunium berguling – guling.
Sampah yang ada didalamnya berhamburan keluar dan berserakan di sepanjang
gulingannya. Tak jauh dari tong sampah yang berguling tersebut berjalan dua
orang lelaki. Seorang memakai baju kaos hitam dan satunya lagi berkemeja hijau.
Wajah mereka nampak memerah karena emosi yang sudah memuncak.
“Mana kepala
sekolahnya?” tanya lelaki ber kaos hitam dengan nada kencang dan kasar.
“O... kalian
panitia PPDB yang kemaren itu kan?” lelaki yang satunya ikut bertanya. Suaranya
tak kalah tinggi. Tangan kirinya menunjuk kearah pak Darma dan pak Mudra.
“Maaf. Bapak -
bapak ini siapa ya?” Pak Indra bertanya walau hatinya ciut menahan takut.
“Ya Pak. Ada yang
bisa kami bantu?” pak Mudra menambahkan.
“Mana kepala
sekolah kalian? Saya ingin bicara” lelaki berbaju hitam kembali bertanya tanpa
menghiraukan pertanyan kedua guru itu.
“Maaf Pak. Kami
tak tahu. Mungkin dalam perjalanan ke sini” pak Mudra menjawab santai.
“Dasar tu kepala
sekolah. Ditelp tak aktif HP nya. Dicari kerumahnya tak ada, rumahnya tutup. Dicari
ke sekolah juga tak ada. Melarikan diri kepala sekolah kalian tu?”
“Melarikan diri?”
pak Darma dan pak Mudra bertanya serentak karena kaget.
“Dasar pengecut”
sambung lelaki itu menambahkan.
‘Kalian panitia
PPDB kan?” Lelaki berkemeja hijau kembali bertanya.
“Ya Pak. Kami
panitia PPDB” pak Mudra menjawab tegas.
“Mari masuk dulu Pak.
Kita bicara di dalam saja?” kata pak Darma mempersilakan kedua lelaki itu masuk.
“Ah. Tak usah. Jangan
belagak baik pula kalian”
“Maksud Bapak apa?”
Tanya pak Darma bingung.
“Tak kenal kalian
siapa kami ni?”
“Maaf Pak. Tak
kenal kami Pak”
“Tak sopan kalian.
Kami ini orang asli disini. Kami orang berpengaruh. Semua pejabat disini keluarga
kami” kata lelaki berkaos hitam itu masih dengan nada keras.
“Berani – berani
nya kalian tidak menerima anak kami sekolah disini” sambung lelaki berkemeja
hijau.
“Mau lama kalian tinggal
di sini. Atau sudah bosan hidup kalian?” ujar lelaki lagi sambil menendang dinding
ruang guru.
“Untuk Bapak
ketahui. Kami tidak pernah membeda – bedakan calon peserta didik yang mendaftar
di sekolah ini. Kami hanya melaksanakan tugas kami sesuai prosedur dan
peraturan yang telah di buat?” jelas pak Darma
“Ala. Prosedur
tahi kucing”
“Jangan banyak bicara
kalian. Ini sekolah negeri. Masak yang kalian terima disini anak – anak pegawai
semua”
“Tidak benar itu Pak.
Kami menerima siapa saja yang berminat masuk ke sekolah ini asalkan cukup syarat
dan ikut prosedur yang ada. Kalau syaratnya lengkap pasti kami terima Pak.
Lagian bukan hanya anak pegawaiPak yang kami terima. Anak tukang sapu jalan.
Anak pedagang pasar dan anak pemulung pun ada yang kami terima sekolah disini”
pak Mudra menjelaskan dengan rinci
“Apa syaratnya?
Apa kurang uang yang kami kasih kemaren?”
“Uang...” pak
Darma dan pak Mudra kembali bertanya serentak.
“Ala. Jangan
belagak tak tahu kalian” lelaki berbaju kaos hitam berkata sinis.
“Maaf Pak. Kami
tidak pakai uang dalam PPDB ini”
“Jangan bohong.
Kami tahu. PPDB ini ajang kalain mencari duit”
“Sekali lagi.
Tidak benar itu Pak”
“Trus uang yang
kemaren kemana?”
“Uang yang kemaren
Pak”
Iya. Uang yang
kemaren kami berikan”
“Kepada siapa Bapak
berikan uang itu?”
“Saya sudah bayar
3 juta untuk formulir”
“Formulir kami
gratis Pak”
“Saya tak tahu
itu. Mau gratis atau tidak. Yang penting saya sudah bayar 3 juta”
“Kepada siapa
bapak bayarkan?”
“Kepada guru
disini lah”
“Guru di sekolah
ini?”
“Iya. Kalian kira
aku bodoh. Mau bayar sebanyak itu kepada orang yang tak jelas”
“Oo... bisa Bapak
tunjukkan orang nya pada kami?”
“Sebentar...”
Lelaki berbaju
kaos hitam itu merogoh sakunya. Dia mengeluarkan smartphone dan mulai mencari sesuatu
“Ini orangnya”
ujarnya sambil menunjukkan seseorang pada pak Darma dan pak Mudra.
Pak Darma dan pak
Mudra berpandangan sejenak lalu mengangkat kedua bahu mereka.
“Orang ini bukan
guru di sekolah ini Pak” pak Darma
berkata datar.
“Jangan bohong.
Dia bilang dia guru disini kok” lelaki bernaju kemeja hijau meninggikan
suaranya.
“Bapak tahu
namanya?” pak Mudra bertany pada lelaki berkaos hitam.
“ Siapa namanya?”
lelaki itu bertanya pada lelaki disampingnya.
“Edward” jawab
lelaki itu singkat.
“Iya. Pak Edward”
“Edward. Tak ada
guru kami yang bernama Edward Pak”
“Dia wakil kepala
sekolah disini” sambungnya lagi.
“ Wakil kepal
sekolah kami perempuan Pak. Namanya Sinaryati, S.Pd” pak Mudra memberi
penjelasan.
“Dan photo yang
bapak tunjukkan tadi bukan guru disini. Kami tidak mengenalnya” pak Darma ikut
menjelaskan.
“Banyak alasan
kalian. Jangan coba – coba untuk membela kawan kalian itu. Atau kalain sekongkol
untuk mengelabui kami”
“Terserah Bapak
mau bilang apa. Yang pasti kami tidak begitu”
“Ok. Kalau begitu
kami laporkan saja masalah ini ke dinas pendidikan” lelaki berkaos hitam
mencoba menekan.
“Terserah Bapak.
Kami telah katakan bahwa kami hanya menjalankan tugas sesuai prosedur. Dan
orang yang bapak bilang tadi tidak ada di sekolah ini. Dia bukan guru di sekolah
ini” kembali pak Darma memberi penjelasan.
“Hm... Kkami
laporkan ke polisi kalian. Kalian telah menipu kami”
“Iya. Kalian tak
kenal siapa kami rupanya. Kami bisa tutup atau bahkan hancurkan sekolah ini”
ancam lelaki berkemeja hijau sambil menatap kedua guru itu tajam.
“Silakan saja Pak.
Silakan Bapak lapor ke dinas pendidikan. Lapor ke polisi. Atau kemana saja
Bapak suka. Kami siap”
Ah... banyak cakap
kalian. Berani kalian mempermainkan kami. Kami bakar sekolah ini baru tahu
kalian”
“Terserah Bapak”
pak Mudra menjawab enteng.
“Kurang ajar”
lelaki berkemeja hijau itu menendang kembali dinding ruang guru.
Oya. Bapak kenal
dengan orang tu kapan?” pak Mudra bertanya ingin tahu.
“ Kemaren. Waktu
kami mendaftarkan anak kami ke sekolah ini”
“O... begitu”
“Sebelumnya sudah
pernah kenal Pak?” pak Darma ikut bertanya.
“Tidak” jawabnya pendek.
“Katanya Bapak
berdua orang terkenal disini. Kok tak kenal dengan orang itu?” pak Mudra
bertanya heran.
“Ah. Banyak cakap
kalian”
“Dia mengaku guru
disini. Bahkan sudah menjabat wakil kepala sekolah. Dia janji akan bantu anak
saya masuk sekolah disini. Makanya kami berani bayar 3 juta” terang lelaki
berkaos hitam.
“Untuk apa saja tu
Pak uang 3 juta” Pak Mudra penasaran.
“Untuk formulir. Untuk
kepala sekolah. Untuk panitia” jawabnya keras.
“Oya. Coba saja Bapak
hubungi orang itu. Minta penjelasan. Bapak punya no WA nya bukan?” pak Mudra
memberi usul.
“WA nya sudah tak
aktif dari kemaren. HPnya juga tak aktif. Makanya kami cari kesini
“Nah lho....”
“???...”
0 komentar:
Posting Komentar