MBAK LENA HAMIL...!
PENGARANG : DODI INDRA, S.S
GURU SMP NEGERI BERNAS
KABUPATEN PELALAWAN
“Apa...?”
“Mbak
Lena hamil? Jeritku begitu mendengar mbak Surti, teman akrab mbak Lena
mengatakan bahwasanya kakak tercintaku hamil.
“Betul
ni Mbak?” tanyaku tak percaya.
“Betul.
Masa Mbak bohong. Emangnya dik Dinda belum tahu?” katanya lagi.
Ku
tatap wanita berjilbab yang ada didepanku itu tanpa bergeming. Ku cari – cari
isyarat kebohongan dimatanya namun tak ku temukan. Matanya memancarkan kepolosan
dan kejujuran.
“Hm...
Beraninya dia mengatakan kakak ku hamil” Gumamku mulai kesal.
“Lho..
kok memandang Mbak kayak gitu?... Ada yang aneh ya?” ujarnya lagi. Kemudian dia
sibuk membetulkan jilbabnya yang kurasa sudah pas letaknya itu. Dari gerak – geriknya
ku melihat dia kebingungan. Kebingungan entah kerana apa.
“Mbak
dapat dari mana berita itu? Tanyaku meyelidik.
“Ya...
Tahu dari sikap mbak mu itu”
“Ah...
itu namanya bohong. Datanya ngak valid. Yang pastidonk” Ucapku tak terpengaruh
dengan katanya barusan.
“Betul.
Coba dek Dinda lihat pakaiannya, cara jalannya. Ya.. pokoknya apa saja deh. Nah
dari situkan kelihatan kalo kakakmu yang manis itu lagi hamil”
“Pakaiannya?.
Emang ada apa dengan pakaiannya Mbak?”
“Ya.
Kamu perhatikan saja”
“Mbak
jangan asal bicara. Bisa – bisa jatuh ke fitnah” Ucapku keras.
“Lah
kalau ngak percaya ya udah. Mbak Cuma ngasih tahu. Nanti kalo dah lahir keponakanmu,
kamu jangan kaget ya” katanya sambil berdiri.
“Eh...
Tunggu Mbak. Mbak seriuskan?”
“Ya. Serius. Dua rius malah”
“Ya. Serius. Dua rius malah”
“Lalu
Mbak... Siapa yang menghamilinya?”
Kembali
mbak Surti duduk ditempatnya semula. Dia seperti memikirkan sesuatu. Tiba –
tiba keraguanku muncul. Sebenarnya aku tak percaya dengan kata – katanya tadi.
Tapi entah mengapa aku manut saja dengan apa yang dia sampaikan.
“Mbak
pasti ngak tahu kan?” kataku memecah kesunyian.
“Bukan.
Mbak tahu. Tapi apa dik Dinda bisa menyimpan rahasia ini”
“Mengapa
mesti dirahasiakan Mbak? Kalau memang benar mbak Lena hamil, lalu siapa bapak
calon bayi itu” Tanyaku heran.
“Oke
deh. Bapaknya ... Tapi janji ya ngak akan bilang – bilang kalau Mbak yang
ngasih tahu”
“Ngak.
Cepat mbak. Siapa yang menghamili mbak Lena?” Kataku mendesak.
“Hm....
Syukri”
“Astagfirullah.
Mbak yang benar aja. Masak sih pemuda itu. Eh, Mbak tahukan kalau Syukri itu
orangnya baik. Anak Ustad Amri. Aktivis kampus lagi. Mana orangnya alim pula.
Ah... Dinda ngak percaya. Mbak pasti bohong. Fitnah. Mbak jahat...” cecarku
emosi.
“Eh...
Sabar dulu. Jangan keras – keras. Nanti tetangga pada tahu, kan bahaya. Mbak ngak
bohong. Jika dik Dinda tidak percaya ya terserah. Mbak hanya sekedar kasih
tahu. Ngak lebih” ucapnya pelan.
Kembali
pikiran ku kacau. Antara percaya dan tidak. Masak sih kakakku yang soleha akan
semudah itu berbuat hina. Apalagi Syukri.
“Ah
imposible” kataku sambil berdiri tapi sebentar kemudian aku duduk lagi di dekat
wanita itu.
“Mbak...
Mbak kan sahabatnya mbak Lena. Sama – sama aktivis kampus. Masak sih, Mbak tega
memfitnah sahabat Mbak sendiri sedemikian rupa?” kataku sambil terus
memandanginya tak percaya.
Ku
lihat kekikukan di tingkah mbak Surti. Dia seperti menyembunyikan sesuatu.
Wajahnya memerah sehingga aku semakin penasaran dengan perubahan itu.
“Oh...
Teganya dik Dinda berkata seperti itu. Mbak bermaksud baik. Mengasih tahu, tapi
malah Mbak dituduh memfitnah. Sudahlah lebih baik Mbak pergi” Ujarnya terbata –
bata seperti menahan tangis.
Ku
tatap lagi perempuan berjilbab itu. Bagaimanapun bathinku menolak, kakakku
dituduh melakukan hal yang bukan – bukan. Tapi siapa tahu perempuan muda ini benar.
“Mbak
maaf. Terima kasih atas kunjungannya” Kataku melepas kepergian nya.
*****
“Assalamualaikum”
“Waalaikum
salam” Jawabku dari dalam dan bergegas membukakan pintu.
“Oh
mbak Lena. Cepat pulangnya Mbak” tanyaku sambil terus memandangi kakak semata wayangku
itu. Terngiang kata – kata mbak Surti tadi pagi ditelingaku. Ku coba mencari –
cari kebenaran itu ditubuh kakakku. Ku pelototi wajahnya. Ku pandangi
penampilannya. Masya Allah wajah itu agak pucat. Mungkihkan mbak Surti benar?
“Lho
kok mandangin Mbak kayak gitu. Kangen ya?
“Hm.....”
“Kasih
jalan donk. Mbak kan mau masuk” kata mbak Lena mengejutkan ku.
“Eh...
Maaf Mbak” jawabku tersipu. Lalu bergeser kesamping memberi jalan mbak Lena
untuk masuk rumah.
“Mbak
capek ya? Mbak banyak kegiatan? Dinda pijitin ya?” ujarku lalu tanpa meminta
persetujuan nya ku pijit pundak mbak Lena yang masih sedang berjalan.
“Tumben
kamu baik sekali. Pasti ada maunya ya?”
“Enggak...”
“Mbak.
Dinda buatin Jus ya. Tadi Dinda beli Jeruk. Mbak suka jus jeruk kan?” kataku
lalu berdiri dan merangkul mbak Lena
menuju dapur. Sengaja ku lingkarkan tanganku dipinggangnya. Perlahan ku
raba perut mbak Lena. “Ah.. ngak ada apa – apa” bisik ku
“Eh..
ini apa – apan sih. Pake ngeraba – raba perut orang segala. Jahil kali”
“Segitu
aja kok marah. Dinda hanya pengen tahu Mbak tu lapar apa enggak” Jawabku
sedikit gugup.
“Tepat.
Mbak lapar ni dek. Ambilin nasi sekalian ya”
“Ambil
aja sendiri” kataku agak kesal. Habis biasanya mbak Lena mana mau nyuruh –
nyuruh begini.
“Tadi
ditanyain... Haus ya? lapar ya? Eh sekarang di jutekin. Gimana sih kamu dek?”
mbak Lena mulai heran dengan perubahan ku.
“Marah
nih ceritanya. Ok. Ntar ya. Hamba siapin tuan putri” kataku lembut lalu
beranjak menghidangkan makan yang ada dalam lemari ke atas meja makan.
Ku perhatikan
cara mbak Lena makan dengan seksama. Tak ada perubahan. Dia masih makan dengan
caranya yang dulu. Lambat dan mengunyah dengan pelan. Kembali keraguan
bergejolak di benakku. Tapi kata – kata mbak Surti tadi terus menggema. “Aku
tak percaya” kataku bergetar.
“Kamu
kok aneh sekali Dinda. Ngak percaya ama apa?”
“Ngak..
Ngak da Mbak”
“Dari
tadi Mbak perhatiin kamu aneh sekali. Memandang Mbak ngak berkedi. Perhatiin Mbak makan. Mbak jadi grogi ni”
“Cuman
senang aja melihat Mbak” jawabku asal.
“Ya..
Kalo gitu pandangin aja terus”
“Weee....”
“Katanya
senang melihat Mbak...?”
“Mbak..
Boleh ngak Dinda nanya?”
“Boleh.
Mo nanya apa?”
“Mbak
kenal ngak sama anaknya ustad Amri, itu lho Mas Syukri”
“Oh..
Syukri. Anak Teknik Kimia itu ya. Emangnya kenapa? Naksir ya...?”
“Enggak...
Ngak kok cuman pengen tahu aja”
“Jangan
bohong. Dosa”
“Betul.
Cuman pengen tahu aja. Lalu mbak... mbak akrab ya sama dia?”
“Ngak
tuh. Ketemu aja jarang gimana bisa akrab”
“Betul...
?”
“Betul”
“Serius....?”
“Apa
an sih. Ngak boleh lho dekat – dekat sama lawan jenis yang bukan muhrim. Bisa
bikin fitnah”
“Mbak..
Mas Syukri tu ganteng dan baik kan?”
“Eh..
Ngak boleh ngomongin orang”
“Ala...
belagu. Padahal dalam hatinya ...”
“Dalam
hatinya kenapa?”
“Ada....
Ada apa githu”
“Udah
deh. Mbak kekamar dulu. Makasih ya hidangan spesialnya nona manis” kata mbak
Lena lalu bergegas pergi. Cepat ku buntuti kakakku itu menuju kamarnya.
“Mbak..
Mbak kok suka sih pake baju kayak gini?”
“inikan
pakaian muslimah. Jangan salah”
“Ya.
Tapi kok kebesaran gitu kak?”
“Modelnya
tu yang kayak gini. Mbak suka dan yang penting nutup aurat” jawab mbak Lena.
“Kayak
baju orang hamil kok kak”
“Ya
biarin aja. Yang pentingkan manfaatnya. Makanya Mbak saranin kamu juga pake
baju yang kayak Mbak pakai ni ya. Jangan pakai jean melulu. Selain nampakin
lekuk tubuh juga ngak baik buat kesehatan”
“Tapi
jean tu kan ngak nampakin aurat kak?”
“Nampakin aurat secara jelas emang enggak. Namum nampakin lekuk tubuh kita kan?. Nah... yang itu juga berdosa. Baju seperti ini kan bagus. Ngak nampakin aurat. Ngak mengundang nafsu lawan jenis yang melihatnya”
“Nampakin aurat secara jelas emang enggak. Namum nampakin lekuk tubuh kita kan?. Nah... yang itu juga berdosa. Baju seperti ini kan bagus. Ngak nampakin aurat. Ngak mengundang nafsu lawan jenis yang melihatnya”
“Tapi
modelnya”
“Biarin
aja orang bilang ngak bermodel atau baju ibu hamil”
“Mbak
ngak malu dibilang orang hamil?”
“Malu?
Untuk apa malu kalau memang itu tidak benar. Cuek aja. Nanti orang itu akan
sadar sendiri. Oya. Untuk apa sih nanya – nanya seperti itu? Minat mo pake Hijab seperti Mbak ya?” kata mbak Lena
lalu memeluk ku bahagia.
“Tu...
Tunggu Mbak... Bukan begitu”
“Tunggu
apa lagi. Kalau sudah ada niat jangan ditunda – tunda”
“Mbak...
bukannya Dinda mau fitnah atau ngak percaya sama Mbak. Tapi...”
“Tapi
apa Dinda. Kalo kamu tidak mau sekarang ya ngak apa. Mbak tidak mau paksa kamu.
Semua Mbak serahin sama Dinda saja. Nanti kalo dipaksa – paksa hasilnya juga
ngak baik trus akan berakibat jelek juga”
“Bukan
itu Mbak”
“Lalu
apa? Ada yang lain ya atau Dinda punya masalah. Ayo cerita sama Mbak” Kata mbak
Lena lalu duduk di pinggir tempat tidur.
“Sini!
Duduk dekat Mbak!”
Perlahan
ku langkahkan kaki ku mendekati kakak tersayangku itu. Ku pegang tangannya dan
sekali lagi ku tatap wajahnya yang ayu.
“Ayo...”
“Mbak...
Tadi mbak Surti kemari”
“Lalu...
Dia cerita apa tentang Mbak?”
“Dia...
dia bilang bahwa... Bahwa mbak... Ha... Hamil”
“Astagfirullah.
Masak sih Surti tega bilang begitu sama Dinda?” ucap mbak Lena terkejut. Dia
gemetar dan wajahnya mulai memucat.
“Betul
ya Mbak? Cercaku. Mbak Lena hanya diam.
“Kok
Mbak sehina itu sih? Dinda ngak nyangka kakak Dinda mau berbuat seperti itu.
Dinda ngak nyangka mbak.. Dinda ..... Mbaaaakkk..” ceracauku penuh emosi.
“Dinda.
Dengarkan Mbak dulu. Mbak akan jelasin”
“Tidak.
Tidak ada yang harus dijelaskan. Mulai hari ini Dinda tidak mau lagi melihat
Mbak. Dinda benci Mbak...Dinda benci....”teriakku.
Tak
sanggup aku meneruskan kata – kata. Lidahku kelu. Tenggorokanku tiba tiba saja
tersekat dan dadaku sesak.
“Mbak...
Mengapa itu Mbak lakukan?”
“Dinda. Kamu jangan bodoh. Dengarkan Mbak dulu!”
“Dinda. Kamu jangan bodoh. Dengarkan Mbak dulu!”
“Tidak.
Dinda tak mau mendengar pembelaan dari mbak Lena. Biar ibu dan ayah yang
mendengarnya. Dinda ngak kuat” Ucapku lalu beranjak pergi.
“E.....
Tunggu dulu. Kamu mau kemana?”
“Mau
bilang sama ibu dan ayah”
“Tunggu
dulu Dinda... Dengarkan Mbak dulu” teriak mbak Lena sambil mengejarku. Diraihnya tanganku dan
diseretnya kembali ke kamar.
“Mbak.
Ibu dan ayah mesti tahu. Kalau Mbak tidak berani terus terang biar Dinda yang
bilangin”
“Eh...
Tunggu. Sabar. Istigfar”
“Ngak...”
“Sabar.
Istigfar donk. Jangan gegabah dan emosi. Mohon dengarkan dulu penjelasan Mbak”
Kata mbak Lena sambil terus memengangi pundakku. Tiba – tiba saja kebencian
muncul. Aku tak mau dibelai – belainya lagi. Aku jijik dengan kakak ku itu.
“Jangan
sentuh Dinda” aku berontak dan berdiri.
“Dinda..
ayo sini mbak jelasin. Ayo sini”
Lama
ku terdiam. Aku bingun. Perlahan ku turuti langkah mbak Lena. Ku kuatkan hati
untuk mendengar pengakuannya.
“Betul
tadi mbak Surti kesini?” tanyanya begitu aku duduk dan sedikit tenang.
“Betul”
“Lalu
Dinda percaya?” Tak sanggup ku jawab pertanyaan itu. Terus terang aku juga
masih sangsi dengan berita itu.
“Dinda
percaya sama Mbak atau sama mbak Surti?”
“Kalau
berita itu benar Dinda percaya sama mbak Surti la... ”
“Oke.
Apa dasar Dinda percaya sama mbak Surti?
“Mmmmm.....”
“Mmmmm.....”
“Dinda
tidak percaya lagi sama Mbak? Apa selama ini mbak Lena telah banyak berbuat
salah. Apa Dinda pernah lihat Mbak jalan dengan laki – laki. Apa ... apa Dinda
yakin 100 persen Mbak mau melakukan hal terkutuk itu?”
“Hm...
Ngak”
“Dinda,
jangan mudah percaya dengan sesuatu. Dinda kan sudah besar. Sudah kelas IX SMP.
Mbak yakin Dinda mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk” katanya
lembut.
“Dinda
tahu kok Mbak”
“Ya.
Mbak yakin Dinda tahu. Tapi peristiwa barusan menandakan Dinda belum bisa
membedakan mana yang baik dan yang buruk”
“Dinda
dapat beritanya dari sahabat baik kakak itu. Mbak Surti”
“Dari
mana pun sumbernya. Tidak boleh langsung di percaya donk”
“Ya
tapi... Mbak Surti menyampaikannya begitu meyakinkan sekali Mbak”
“Ok...
Apa Dinda sudah yakin dengan kebenaran berita tersebut?”
“Jadi....
Mbak tidak hamil.... Mbak tidak hamil kan?”
“Dinda.
Mbak bersumpah. Mbak tidak hamil. Masak Mbak bisa berbuat sehina itu. Begini –
begini Mbak masih punya iman yang kuat lho”
“Tapi...
mbak Surti bilang Mbak hamil?”
“Mbak juga ngak tahu, Kok mbak Surti bisa bilang begitu”
“Mbak juga ngak tahu, Kok mbak Surti bisa bilang begitu”
“Hm....”
“Trus
mbak surti bilang apa lagi sama Dinda?”
“Mbak
Surti bilang yang menghamili Mbak adalah mas Syukri. Anaknya ustad Amri”
“Masya
Allah...”
“Iya
Mbak”
“O....
pantasan tadi dinda nanya – nanya mas Syukri ya”
“Maafin
Dinda ya Mbak. Tapi kok teganya mbak Surti nyebar fitnah ni”
“Dinda...”
“Knapa
Mbak?”
“Begini.
Ada yang bilang. Sebenarnya mbak Surti itu suka sama mas Syukri. Namun, mas
Syukri tu ngak peduli. Kebetulan syukri sedikit dekat dengan mbak. Mas Syukri
dan mbak satu seksi di kepengurusan Senat dan sama – sama aktif dalam organisasi
kampus”
“jadi
mbak Surti cemburu?”
“Mungkin....”
“Trus
... Kok sampai bilang mbak hamil pula?”
“Akhir – akhir ini mbak kan pake baju gamis. Gamisnya sengaja Mbak pilih yang agak longgar pula. Jadi seperti orang hamil. Ditambah lagi badan Mbak yang lumayan berisi ni”
“Akhir – akhir ini mbak kan pake baju gamis. Gamisnya sengaja Mbak pilih yang agak longgar pula. Jadi seperti orang hamil. Ditambah lagi badan Mbak yang lumayan berisi ni”
“Oh...
Teganya mbak surti”
“Ya..
biarin aja. Semoga mbak Surti cepat sadar”
“Mbak...
Maafin Dinda ya. Tadi Dinda kebawa perasaan jadi sampe hilang logika gitu”
“Ngak
apa - apa. Mbak paham kok”
“Ya..
Maafin Dinda ya Mbak..... Habis mbak Surti kata – katanya meyakinkan sekali.
Makanya Dinda terpengaruh”
“Iya...
Mbak dah maafin”
“Makasih
Mbak”
“Ok...
Oya... Ambilin buah yang ada dalam kulkas donk. Mbak mo makan buah. Mungkin si
cabang bayi lapar nih” Kata mbak Lena sembari mengelus – ngelus perutnya”
“Mbak
Lena..... Mbak beneran hamil?”
“!!!!!.”
0 komentar:
Posting Komentar