CERPEN - MBAK LENA HAMIL...!

On Senin, 11 Mei 2020 0 komentar









MBAK LENA HAMIL...!

PENGARANG : DODI INDRA, S.S
GURU SMP NEGERI BERNAS KABUPATEN PELALAWAN


“Apa...?”
“Mbak Lena hamil? Jeritku begitu mendengar mbak Surti, teman akrab mbak Lena mengatakan bahwasanya kakak tercintaku hamil.
“Betul ni Mbak?” tanyaku tak percaya.
“Betul. Masa Mbak bohong. Emangnya dik Dinda belum tahu?” katanya lagi.
Ku tatap wanita berjilbab yang ada didepanku itu tanpa bergeming. Ku cari – cari isyarat kebohongan dimatanya namun tak ku temukan. Matanya memancarkan kepolosan dan kejujuran.
“Hm... Beraninya dia mengatakan kakak ku hamil” Gumamku mulai kesal.
“Lho.. kok memandang Mbak kayak gitu?... Ada yang aneh ya?” ujarnya lagi. Kemudian dia sibuk membetulkan jilbabnya yang kurasa sudah pas letaknya itu. Dari gerak – geriknya ku melihat dia kebingungan. Kebingungan entah kerana apa.
“Mbak dapat dari mana berita itu? Tanyaku meyelidik.
“Ya... Tahu dari sikap mbak mu itu”
“Ah... itu namanya bohong. Datanya ngak valid. Yang pastidonk” Ucapku tak terpengaruh dengan katanya barusan.
“Betul. Coba dek Dinda lihat pakaiannya, cara jalannya. Ya.. pokoknya apa saja deh. Nah dari situkan kelihatan kalo kakakmu yang manis itu lagi hamil”
“Pakaiannya?. Emang ada apa dengan pakaiannya Mbak?”
“Ya. Kamu perhatikan saja”
“Mbak jangan asal bicara. Bisa – bisa jatuh ke fitnah” Ucapku keras.
“Lah kalau ngak percaya ya udah. Mbak Cuma ngasih tahu. Nanti kalo dah lahir keponakanmu, kamu jangan kaget ya” katanya sambil berdiri.
“Eh... Tunggu Mbak. Mbak seriuskan?”
“Ya. Serius. Dua rius malah”
“Lalu Mbak... Siapa yang menghamilinya?”
Kembali mbak Surti duduk ditempatnya semula. Dia seperti memikirkan sesuatu. Tiba – tiba keraguanku muncul. Sebenarnya aku tak percaya dengan kata – katanya tadi. Tapi entah mengapa aku manut saja dengan apa yang dia sampaikan.
“Mbak pasti ngak tahu kan?” kataku memecah kesunyian.
“Bukan. Mbak tahu. Tapi apa dik Dinda bisa menyimpan rahasia ini”
“Mengapa mesti dirahasiakan Mbak? Kalau memang benar mbak Lena hamil, lalu siapa bapak calon bayi itu” Tanyaku heran.
“Oke deh. Bapaknya ... Tapi janji ya ngak akan bilang – bilang kalau Mbak yang ngasih tahu”
“Ngak. Cepat mbak. Siapa yang menghamili mbak Lena?” Kataku mendesak.
“Hm.... Syukri”
“Astagfirullah. Mbak yang benar aja. Masak sih pemuda itu. Eh, Mbak tahukan kalau Syukri itu orangnya baik. Anak Ustad Amri. Aktivis kampus lagi. Mana orangnya alim pula. Ah... Dinda ngak percaya. Mbak pasti bohong. Fitnah. Mbak jahat...” cecarku emosi.
“Eh... Sabar dulu. Jangan keras – keras. Nanti tetangga pada tahu, kan bahaya. Mbak ngak bohong. Jika dik Dinda tidak percaya ya terserah. Mbak hanya sekedar kasih tahu. Ngak lebih” ucapnya pelan.
Kembali pikiran ku kacau. Antara percaya dan tidak. Masak sih kakakku yang soleha akan semudah itu berbuat hina. Apalagi Syukri.
“Ah imposible” kataku sambil berdiri tapi sebentar kemudian aku duduk lagi di dekat wanita itu.
“Mbak... Mbak kan sahabatnya mbak Lena. Sama – sama aktivis kampus. Masak sih, Mbak tega memfitnah sahabat Mbak sendiri sedemikian rupa?” kataku sambil terus memandanginya tak percaya.
Ku lihat kekikukan di tingkah mbak Surti. Dia seperti menyembunyikan sesuatu. Wajahnya memerah sehingga aku semakin penasaran dengan perubahan itu.
“Oh... Teganya dik Dinda berkata seperti itu. Mbak bermaksud baik. Mengasih tahu, tapi malah Mbak dituduh memfitnah. Sudahlah lebih baik Mbak pergi” Ujarnya terbata – bata seperti menahan tangis.
Ku tatap lagi perempuan berjilbab itu. Bagaimanapun bathinku menolak, kakakku dituduh melakukan hal yang bukan – bukan. Tapi siapa tahu perempuan muda ini benar.
“Mbak maaf. Terima kasih atas kunjungannya” Kataku melepas kepergian nya.

*****

“Assalamualaikum”
“Waalaikum salam” Jawabku dari dalam dan bergegas membukakan pintu.
“Oh mbak Lena. Cepat pulangnya Mbak” tanyaku sambil terus memandangi kakak semata wayangku itu. Terngiang kata – kata mbak Surti tadi pagi ditelingaku. Ku coba mencari – cari kebenaran itu ditubuh kakakku. Ku pelototi wajahnya. Ku pandangi penampilannya. Masya Allah wajah itu agak pucat. Mungkihkan mbak Surti benar?
“Lho kok mandangin Mbak kayak gitu. Kangen ya?
“Hm.....”
“Kasih jalan donk. Mbak kan mau masuk” kata mbak Lena mengejutkan ku.
“Eh... Maaf Mbak” jawabku tersipu. Lalu bergeser kesamping memberi jalan mbak Lena untuk masuk rumah.
“Mbak capek ya? Mbak banyak kegiatan? Dinda pijitin ya?” ujarku lalu tanpa meminta persetujuan nya ku pijit pundak mbak Lena yang masih sedang berjalan.
“Tumben kamu baik sekali. Pasti ada maunya ya?”
“Enggak...”
“Mbak. Dinda buatin Jus ya. Tadi Dinda beli Jeruk. Mbak suka jus jeruk kan?” kataku lalu berdiri dan merangkul mbak Lena  menuju dapur. Sengaja ku lingkarkan tanganku dipinggangnya. Perlahan ku raba perut mbak Lena. “Ah.. ngak ada apa – apa” bisik ku
“Eh.. ini apa – apan sih. Pake ngeraba – raba perut orang segala. Jahil kali”
“Segitu aja kok marah. Dinda hanya pengen tahu Mbak tu lapar apa enggak” Jawabku sedikit gugup.
“Tepat. Mbak lapar ni dek. Ambilin nasi sekalian ya”
“Ambil aja sendiri” kataku agak kesal. Habis biasanya mbak Lena mana mau nyuruh – nyuruh begini.
“Tadi ditanyain... Haus ya? lapar ya? Eh sekarang di jutekin. Gimana sih kamu dek?” mbak Lena mulai heran dengan perubahan ku.
“Marah nih ceritanya. Ok. Ntar ya. Hamba siapin tuan putri” kataku lembut lalu beranjak menghidangkan makan yang ada dalam lemari ke atas meja makan.
Ku perhatikan cara mbak Lena makan dengan seksama. Tak ada perubahan. Dia masih makan dengan caranya yang dulu. Lambat dan mengunyah dengan pelan. Kembali keraguan bergejolak di benakku. Tapi kata – kata mbak Surti tadi terus menggema. “Aku tak percaya” kataku bergetar.
“Kamu kok aneh sekali Dinda. Ngak percaya ama apa?”
“Ngak.. Ngak da Mbak”
“Dari tadi Mbak perhatiin kamu aneh sekali. Memandang Mbak ngak berkedi.  Perhatiin Mbak makan. Mbak jadi grogi ni”
“Cuman senang aja melihat Mbak” jawabku asal.
“Ya.. Kalo gitu pandangin aja terus”
“Weee....”
“Katanya senang melihat Mbak...?”
“Mbak.. Boleh ngak Dinda nanya?”
“Boleh. Mo nanya apa?”
“Mbak kenal ngak sama anaknya ustad Amri, itu lho Mas Syukri”
“Oh.. Syukri. Anak Teknik Kimia itu ya. Emangnya kenapa? Naksir ya...?”
“Enggak... Ngak kok cuman pengen tahu aja”
“Jangan bohong. Dosa”
“Betul. Cuman pengen tahu aja. Lalu mbak... mbak akrab ya sama dia?”
“Ngak tuh. Ketemu aja jarang gimana bisa akrab”
“Betul... ?”
“Betul”
“Serius....?”
“Apa an sih. Ngak boleh lho dekat – dekat sama lawan jenis yang bukan muhrim. Bisa bikin fitnah”
“Mbak.. Mas Syukri tu ganteng  dan baik kan?”
“Eh.. Ngak boleh ngomongin orang”
“Ala... belagu. Padahal dalam hatinya ...”
“Dalam hatinya kenapa?”
“Ada.... Ada apa githu”
“Udah deh. Mbak kekamar dulu. Makasih ya hidangan spesialnya nona manis” kata mbak Lena lalu bergegas pergi. Cepat ku buntuti kakakku itu menuju kamarnya.
“Mbak.. Mbak kok suka sih pake baju kayak gini?”
“inikan pakaian muslimah. Jangan salah”
“Ya. Tapi kok kebesaran gitu kak?”
“Modelnya tu yang kayak gini. Mbak suka dan yang penting nutup aurat” jawab mbak Lena.
“Kayak baju orang hamil kok kak”
“Ya biarin aja. Yang pentingkan manfaatnya. Makanya Mbak saranin kamu juga pake baju yang kayak Mbak pakai ni ya. Jangan pakai jean melulu. Selain nampakin lekuk tubuh juga ngak baik buat kesehatan”
“Tapi jean tu kan ngak nampakin aurat kak?”
“Nampakin aurat secara jelas emang enggak. Namum nampakin lekuk tubuh kita kan?. Nah... yang itu juga berdosa. Baju seperti ini kan bagus. Ngak nampakin aurat. Ngak mengundang nafsu lawan jenis yang melihatnya”
“Tapi modelnya”
“Biarin aja orang bilang ngak bermodel atau baju ibu hamil”
“Mbak ngak malu dibilang orang hamil?”
“Malu? Untuk apa malu kalau memang itu tidak benar. Cuek aja. Nanti orang itu akan sadar sendiri. Oya. Untuk apa sih nanya – nanya seperti itu? Minat mo  pake Hijab seperti Mbak ya?” kata mbak Lena lalu memeluk ku bahagia.
“Tu... Tunggu Mbak... Bukan begitu”
“Tunggu apa lagi. Kalau sudah ada niat jangan ditunda – tunda”
“Mbak... bukannya Dinda mau fitnah atau ngak percaya sama Mbak. Tapi...”
“Tapi apa Dinda. Kalo kamu tidak mau sekarang ya ngak apa. Mbak tidak mau paksa kamu. Semua Mbak serahin sama Dinda saja. Nanti kalo dipaksa – paksa hasilnya juga ngak baik trus akan berakibat jelek juga”
“Bukan itu Mbak”
“Lalu apa? Ada yang lain ya atau Dinda punya masalah. Ayo cerita sama Mbak” Kata mbak Lena lalu duduk di pinggir tempat tidur.
“Sini! Duduk dekat Mbak!”
Perlahan ku langkahkan kaki ku mendekati kakak tersayangku itu. Ku pegang tangannya dan sekali lagi ku tatap wajahnya yang ayu.
“Ayo...”
“Mbak... Tadi mbak Surti kemari”
“Lalu... Dia cerita apa tentang Mbak?”
“Dia... dia bilang bahwa... Bahwa mbak... Ha... Hamil”
“Astagfirullah. Masak sih Surti tega bilang begitu sama Dinda?” ucap mbak Lena terkejut. Dia gemetar dan wajahnya mulai memucat.
“Betul ya Mbak? Cercaku. Mbak Lena hanya diam.
“Kok Mbak sehina itu sih? Dinda ngak nyangka kakak Dinda mau berbuat seperti itu. Dinda ngak nyangka mbak.. Dinda ..... Mbaaaakkk..” ceracauku penuh emosi.
“Dinda. Dengarkan Mbak dulu. Mbak akan jelasin”
“Tidak. Tidak ada yang harus dijelaskan. Mulai hari ini Dinda tidak mau lagi melihat Mbak. Dinda benci Mbak...Dinda benci....”teriakku.
Tak sanggup aku meneruskan kata – kata. Lidahku kelu. Tenggorokanku tiba tiba saja tersekat dan dadaku sesak.
“Mbak... Mengapa itu Mbak lakukan?”
“Dinda. Kamu jangan bodoh. Dengarkan Mbak dulu!”
“Tidak. Dinda tak mau mendengar pembelaan dari mbak Lena. Biar ibu dan ayah yang mendengarnya. Dinda ngak kuat” Ucapku lalu beranjak pergi.
“E..... Tunggu dulu. Kamu mau kemana?”
“Mau bilang sama ibu dan ayah”
“Tunggu dulu Dinda... Dengarkan Mbak dulu” teriak mbak Lena  sambil mengejarku. Diraihnya tanganku dan diseretnya kembali ke kamar.
“Mbak. Ibu dan ayah mesti tahu. Kalau Mbak tidak berani terus terang biar Dinda yang bilangin”
“Eh... Tunggu. Sabar. Istigfar”
“Ngak...”
“Sabar. Istigfar donk. Jangan gegabah dan emosi. Mohon dengarkan dulu penjelasan Mbak” Kata mbak Lena sambil terus memengangi pundakku. Tiba – tiba saja kebencian muncul. Aku tak mau dibelai – belainya lagi. Aku jijik dengan kakak ku itu.
“Jangan sentuh Dinda” aku berontak dan berdiri.
“Dinda.. ayo sini mbak jelasin. Ayo sini”
Lama ku terdiam. Aku bingun. Perlahan ku turuti langkah mbak Lena. Ku kuatkan hati untuk mendengar pengakuannya.
“Betul tadi mbak Surti kesini?” tanyanya begitu aku duduk dan sedikit tenang.
“Betul”
“Lalu Dinda percaya?” Tak sanggup ku jawab pertanyaan itu. Terus terang aku juga masih sangsi dengan berita itu.
“Dinda percaya sama Mbak atau sama mbak Surti?”
“Kalau berita itu benar Dinda percaya sama mbak Surti la... ”
“Oke. Apa dasar Dinda percaya sama mbak Surti?
“Mmmmm.....”
“Dinda tidak percaya lagi sama Mbak? Apa selama ini mbak Lena telah banyak berbuat salah. Apa Dinda pernah lihat Mbak jalan dengan laki – laki. Apa ... apa Dinda yakin 100 persen Mbak mau melakukan hal terkutuk itu?”
“Hm... Ngak”
“Dinda, jangan mudah percaya dengan sesuatu. Dinda kan sudah besar. Sudah kelas IX SMP. Mbak yakin Dinda mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk” katanya lembut.
“Dinda tahu kok Mbak”
“Ya. Mbak yakin Dinda tahu. Tapi peristiwa barusan menandakan Dinda belum bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk”
“Dinda dapat beritanya dari sahabat baik kakak itu. Mbak Surti”
“Dari mana pun sumbernya. Tidak boleh langsung di percaya donk”
“Ya tapi... Mbak Surti menyampaikannya begitu meyakinkan sekali Mbak”
“Ok... Apa Dinda sudah yakin dengan kebenaran berita tersebut?”
“Jadi.... Mbak tidak hamil.... Mbak tidak hamil kan?”
“Dinda. Mbak bersumpah. Mbak tidak hamil. Masak Mbak bisa berbuat sehina itu. Begini – begini Mbak masih punya iman yang kuat lho”
“Tapi... mbak Surti bilang Mbak hamil?”
“Mbak juga ngak tahu, Kok mbak Surti bisa bilang begitu”
“Hm....”
“Trus mbak surti bilang apa lagi sama Dinda?”
“Mbak Surti bilang yang menghamili Mbak adalah mas Syukri. Anaknya ustad Amri”
“Masya Allah...”
“Iya Mbak”
“O.... pantasan tadi dinda nanya – nanya mas Syukri ya”
“Maafin Dinda ya Mbak. Tapi kok teganya mbak Surti nyebar fitnah ni”
“Dinda...”
“Knapa Mbak?”
“Begini. Ada yang bilang. Sebenarnya mbak Surti itu suka sama mas Syukri. Namun, mas Syukri tu ngak peduli. Kebetulan syukri sedikit dekat dengan mbak. Mas Syukri dan mbak satu seksi di kepengurusan Senat dan sama – sama aktif dalam organisasi kampus”
“jadi mbak Surti cemburu?”
“Mungkin....”
“Trus ... Kok sampai bilang mbak hamil pula?”
“Akhir – akhir ini mbak kan pake baju gamis. Gamisnya sengaja Mbak pilih yang agak longgar pula. Jadi seperti orang hamil. Ditambah lagi badan Mbak yang lumayan berisi ni”
“Oh... Teganya mbak surti”
“Ya.. biarin aja. Semoga mbak Surti cepat sadar”
“Mbak... Maafin Dinda ya. Tadi Dinda kebawa perasaan jadi sampe hilang logika gitu”
“Ngak apa - apa. Mbak paham kok”
“Ya.. Maafin Dinda ya Mbak..... Habis mbak Surti kata – katanya meyakinkan sekali. Makanya Dinda terpengaruh”
“Iya... Mbak dah maafin”
“Makasih Mbak”
“Ok... Oya... Ambilin buah yang ada dalam kulkas donk. Mbak mo makan buah. Mungkin si cabang bayi lapar nih” Kata mbak Lena sembari mengelus – ngelus perutnya”
“Mbak Lena.....  Mbak beneran hamil?”
“!!!!!.”

0 komentar:

Posting Komentar