RAMADHAN
KESEMBILAN
DODI INDRA, S.S
GURU SMPN BERNAS
Andika. Pria ini sering dipanggil
Andi. Dia adalah seorang ayah dari empat orang anak yang kini mulai menginjak
remaja. Istrinya meninggal 13 tahun yang lalu sewaktu melahirkan dua anak
terakhir mereka. Setiap hari Andi dan keluarganya hidup dalam keprihatinan.
Andi tidak memiliki pekerjaan tetap.
Dulu ia bekerja di pabrik sepatu tapi sekarang tidak lagi. Dia juga pernah bekerja
serabutan. Dia jadi tukang bagunan. Kuli angkut di pasar. Pencuci motor dan
mobill di car wash. Yang penting dia
mendapat uang halal untuk menghidupi keluarganya.
Keempat anaknya tidak ada lagi yang
bersekolah. Mereka tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi bahkan ada
yang berhenti begitu saja dari sekolah.
Ketiadaan biayalah yang membuat
Andi terpaksa harus memupus cita-cita anaknya. Anak pertamanya perempuan dan
hanya lulusan SMP. Sekarang si sulung bekerja sebagai asisten rumah tangga di kota.
Anak keduanya laki-laki. Anak satu-satunya laki-laki ini tidak tamat SMP. Di
kelas IX dia memutuskan tidak sekolah lagi. Dia tergiur dengan bujukan temannya
untuk pergi merantau ke Jakarta. Sudah hampir dua tahun anak bujangnya itu
pergi. Sampai sekarang dia tak tahu nasip anaknya itu. Tiada kabar berita yang
dia terima sejak kepergiannya.
Dua anak terakhirnya kembar. Andana
dan Andini. Keduanya terpaksa berhenti sekolah. Mereka tamat SD tahun lalu.
Ketika hendak melanjutkan ke SMP tak satu pun sekolah negeri yang menerimanya.
Andi tidak tahu apa alasannya. Yang dia dengar kata- kata zonasi. Dan memang
tempat tinggal mereka cukup jauh dari semua SMP Negeri. Dia juga tak punya
kenalan untuk membantu memasukkan anaknya walaupun nilai rapor kedua buah
hatinya lumayan tinggi. Untuk melanjutkan ke sekolah swasta tentu Andi tidak
sanggup. Biayanya sangat mahal. Apalagi untuk membiayai kedua anak kembarnya
sekaligus.
Satu tahun terakhir ini Andi bekerja
sebagai tukang parkir di sebuah toko pakaian. Toko pakaian itu lumayan besar
dan banyak pembelinya. Namun satu bulan terakhir pembeli mulai berkurang. Bahkan sudah dua minggu toko pakaian ditutup paksa oleh aparat keamanan. Andi tidak mengerti
dengan jelas mengapa toko ditutup oleh aparat keamanan tersebut. Kabar yang dia
terima, toko di tutup karena adanya wabah penyakit bernama Covid -19.
Covid-19. Andi tak paham penyakit apa
itu. Sampai akhirnya teman satu profesinya memberi tahu. Covid-19 adalah
penyakit menular yang disebabkan oleh sejenis virus. Namanya virus corona. Penyakit
ini baru ditemukan. Ini merupakan virus
baru dan penyakit yang sebelumnya tidak dikenal sebelum terjadi wabah di Wuhan,
Tiongkok, bulan Desember 2019. Penyakit ini sudah menyerang seluruh dunia tidak
terkecuali Indonesia.
Semenjak ditutupnya toko, otomatis
mata pencaharian Andi berhenti. Uang simpanannya dikeruk tiap hari. Simpanan
yang tak seberapa itu pun akhirnya habis. Uang terakhirnya dipakai membeli 3 kilo beras dan lauk seadanya untuk
buka puasa hari pertama. Buka puasa hari kedua dan ketiga mereka hanya makan
nasi dengan cabe sisa belanja dua hari yang lalu. Tanpa sayur dan lauk. Apalagi
cendol dan serabi.
Rezeki memang tak berpintu. Buka hari
keempat tetangga sebelahnya datang membawakan lauk dan takjil. Untung masih ada
satu gelas beras terakhir yang mereka punya. Sehingga lauk tetangga dapat
mereka nikmati dengan nasi. Itu pun harus dibagi untuk makan sahur esok pagi.
Dua Ramadhan selanjutnya Andi dan dua
anak kembarnya sahur dengan air putih hangat kuku. Berbuka hanya dengan rebus
ubi yang dipanen dari sudut rumah kontrakannya. Ubi itu belum saatnya dipanen.
Terpaksa dicabutnya untuk menu buka puasa. Hasilnya pun juga dibagi dua, untuk
buka hari kelima dan hari keenam.
Hari ini sudah Ramadhan kesembilan. Andi
tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Ramadhan ketujuh dan kedelapan mereka
harus ikhlas berbuka dan sahur hanya
dengan air putih. Rasanya tak mungkin dia membiarkan perut kedua anak kembarnya
menjerit pilu kelaparan hari ini. Andi mondar-mandir. Nampak sekali laki–laki lima
puluh tahunan itu kebingungan. Sebentar lagi azan Magrib akan berkumandang.
Saatnya untuk berbuka. Namun tak ada secuil makanan pun yang tersedia. Hanya
air putih dalam cerek yang kini isinya sudah setengah.
“Ayah…!” Andini mendekati ayahnya.
“Dari tadi ayah bolak-balik saja.
Keluar masuk. Masuk keluar. Ada apa Ayah?”
Andi memandang kedua anaknya.
Perasaannya teriris. Hatinya merintih. Dua anak yang kini menginjak remaja itu
tampak kurus dan pucat.
“Ayah mikirin makanan buat buka kita
hari ini?” Andana menambahkan.
Andi tergagap. Mulutnya kaku untuk
berbicara. Haruskah ia jujur mengakui apa yang sedang dipikirkannya. Ataukah berbohong
hanya sekedar membesarkan hati kedua anaknya.
“Ayah… Ayah tak ada apa-apa!’ jawab Andi
sekenanya.
“Ayah jangan bohong!” kami…” Belum
selesai Andini berbicara terdengar pintu diketuk dari luar.
“Assalamulaikum”
Andi dan kedua gadis kecil itu saling
pandang. Terdengar suara wanita di depan rumah. Ada secuil harapan disana.
Bergegas anak beranak itu keluar
menuju teras rumah.
“Waalaikumsalam.” Jawab Andi setelah
membuka daun pintu rumahnya. Di sana berdiri buk Trisna.
“Pak. Saya datang meminta uang
kontrakan. Bapak sudah terlambat satu minggu.”
Laksana petir menyambar tubuhnya. Andi
terpaku tak berdaya. Semua persendiannya lemas. Pandangannya menghitam. Keringat
dingin mengucur deras. Kedua kakinya tak sanggup lagi berdiri sampai akhirnya
tubuh ringkih itu jatuh bebas ke lantai teras rumah.
“Ayah…!”
Pangkalan Kerinci 30 April 2020
0 komentar:
Posting Komentar