SISI LAIN YANG TERLUPA
PENGARANG : DODI INDRA
GURU
SMPN BERNAS
Sesak dada Sita begitu
melihat anaknya pulang sekolah dengan pakaian kotor dan rambut yang acak –
acakan. Tiba – tiba saja darah janda itu mendidih.
“Berkelahi lagi kau haaa...?”
“Ngak Ma... Ade...”
“Sudah berulang kali
mama peringatkan. Tak juga kau mengerti. Dasar bebal. Tak tahu malu”
“Ma... “
“Apa? Mau membela diri?”
“Tidak. Tadi....”
“Stop. Sekali lagi
kau berkelahi. Pergi kau dari rumah ini” ancam Sita menahan amarahnya.
“Si Anton kok Ma yang
mulai” jawab Ade membela diri.
“Apa? Betulkan kau
berkelahi lagi?”
“Ma... Dengerin Ade dulu!”
“Ma.. Ade ngak salah. Si Anton yang mulai... lalu... lalu apa lagi? Lalu kalian berkelahi, dimana otak mu
hah...?” hardik Sita
tambah geram. Tak kuasa lagi Sita menahan amarahnya segera saja tangannya
melayang ke pipi bocah kelas dua SD itu.
“Ampun Ma…Ampun….” jerit Ade pilu.
“Ampun Ma... Ampun... “ ejek
Sita geram.
“Sakit Ma...Ampun”
“Hari ini tak sesuap
nasi pun boleh kau makan. Ngerti? Sekarang
cepat masuk!”
Terseok – seok Ade berlari
masuk rumah. Sementara itu air matanya terus bercucuran membasahi pipinya yang
merah bekas tamparan
barusan.
“Oh tuhan. Apa yang telah
kulakukan” sesal Sita. Lama ia termenung menyesali perbuatannya. Setetes air
mata keluar dari matanya yang dari tadi berkaca – kaca. Tak terbendung lagi
akhirnya Sita menangis terisak – isak.
“Tuhan apa yang tengah
terjadi pada diriku. Mengapa emosiku jadi tak terkendali begini. Haruskah anak
itu yang menjadi korban atas kekesalanku ini….. oh tuhan ampunilah aku. Ade
maafkan mama nak. Mama sayang kamu” ratap Sita. Lalu ia berlari menyusul
anaknya masuk rumah.
Bagai disayat sembilu
perihnya hati Sita begitu menemukan anaknya tertidur pulas diatas ranjang.
Kedua pipinya masih merah bekas tamparannya tadi. Ingin rasanya ia membangunkan
Ade dan menyuruhnya makan karena dia sadar Ade belum makan Siang. Masih terisak
– isak ia mengusap kepala anaknya. Hati – hati sekali ia menyelimuti bocah itu.
Setelah itu ia kecup keningnya dan perlahan beranjak meninggalkan kamar.
# # # # #
“Ade, kemari……”
“Ya ma... Ade...”
“Dasar anak kurang
ajar. Tak tahu malu. Kau apakan anak buk Marni ha?” teriak Sita histeris. Sita
tak bias membendung kekesalannya begitu selesai mendengar aduan bu Marni bahwa
anaknya dipukul Ade. Apalagi setelah melihat dengkul si Boni berdarah,
kemarahan sita semakin menjadi.
“Ade... Ade ngak apa – apain kok Ma. Dia jatuh sendiri” jawan Ade gemetar
menjelaskan hal yang sebenarnya terjadi.
“Ngak mungkin jatuh sendiri“ kata bu Marni mencemooh
“Ya Tante... Ade ngak apa – apa in kok... tanya aja Boni” bela Ade
ketakutan
“Maaf Bu. Anak saya memang sedikit nakal”
“Gimana sih Bu. Ibukan seorang guru.
Masak mendidik anaknya ngak becus gitu”
“Maaf Bu. Ini diluar pengawasan saya”
“Ala.... Alasan...” cibir bu Marni.
“Ma... Boni kok yang salah tadi. Ade ngak apa – apain Boni kok. Betul...””
“Apa...? Ngak Ade apa – apakan? Pandai kau berbohong ya?”
“Ampun Ma. Benar. Ade ngak apa – apakan kok”
“Tak kau apa – apakan? Lihat si Boni sampai berdarah begitu. Mau mungkir
lagi kau ya?” kata Sita sambil memukul Ade dengan tangan bergetar. Melihat
peristiwa yang mulai sadis itu perlahan bu Marni membawa anaknya Boni untuk
segera berlalu. Kabur.
“Ma... Kak Ade ngak salah kok Ma..” bela Dea yang mulai menangis melihat
kakaknya dipukuli sedemikian rupa. Dia tak tega kakaknya Ade dipukul mamanya
dengan keras.
“Sudah. Memang anak ini dari sononya nakal”
“Ma..Mama... Ade ngak salah” bantah Ade sekali lagi.
“Sudah. Diam. Sekali lagi kau menjawab, Mama kurung kau dalam kamar mandi”
“Betul Ma. Kak Ade ngak salah” ucap Dea ikut membela.
“Awas kau ulangi lagi. Dasar anak tak tahu diri. Akhir – akhir ini makin
menggila saja kelakuannya. Maaf Bu. Biar saya obati luka si Boni” kata Sita
mulai lunak. Tapi begitu ia membalikkan badan, bu Marni dan Boni sudah tidak
ada lagi disana. Sita terperangah. Terus mengomel lagi melampiaskan
kekesalannya. Cepat ia berjalan masuk rumah. Dea mengiringi dari belakang dan
sesekali terus menoleh kearah kakaknya yang tertunduk lesu ditengah halaman.
“Uuuu..... rasain..”cibir Boni yang tiba – tiba saja muncul di balik pagar.
“Pergi” hardik Ade pendek.
Sesaat Ade termenung. Rasa sakit disekujur tubuhnya membuat anak kecil itu
tak sanggup untuk berdiri.
“Begitu mudahnya mama menghukum. Padahal aku tak salah. Mama... Mama kini telah berubah. Mama tak sayang Ade
lagi... “ jeritnya pilu dalam hati.
“Mama kejam ya kak?” kata Dea yang telah berdiri di samping Ade tanpa
disadari oleh bocah malang itu.
“Tidak. Mama ngak kejam. Kak Ade aja yang nakal” tutur Ade menyembuyikan
kesedihannya.
“Ngak. Kak Ade ngak salah. Si Boni kan jatuh sendiri tadi saat dikejar kak
Ade. Jadi kak Ade ngak salah la...” bantah Dea.
“Ya. Tapi kak Ade tetap salah. Mengapa kak Ade ngejar dia”
“Dia yang salah la kak. Mainin Dea
dipatahinnya”
“Sudah...”
“Maafkan Mama ya kak...”
“Ya. Kak Ade pasti maafin mama”
“Kaaakkkk... Aduh sakit kak” jerit Dea keras tiba - tiba.
“Uuuu.... terima pembalasanku” ejek Boni dari jauh.
“Awas kamu ya. Kalau dapat ku makan kau” ancam Ade sambil berusaha mengejar
Boni. Namun bocah itu sudah keburu kabur. Dengan perasaan kesal Ade mendekati
adiknya yang menangis kesakitan.
“Ma.. Mama. Dea dilempar...” adu Dea sambil menunjuk kearah pagar.
“Sebentar ini anak buk Marni kau lukai. Sekarang adikmu sendiri yang kau
lempar. Kurang ajar.. betul – betul kurang ajar. Dasar tak tahu diuntung”
“Bu...bukan Ade Ma... ampun..”
“Ampun... Ampun... pergi kau dari sini. Akan kau bunuh anakku ha...?” umpat
Sita sambil memukuli Ade.
“Dasar anak setan. Bapaknya setan anaknya setan juga. Pergi kau dari rumah
ini” teriak Sita kemudian menyeret anak itu keluar pagar dan lalu menguncinya
rapat – rapat.
“Ma.. Kak Ade Ma...”
“Sudah sayang. Dia sudah mama usir. Coba mama lihat lukanya”
“Tapi Ma”
“Ayo kita obati lukanya” lanjut Sita tanpa mempedulikan Dea. Masih menangis
Dea mengikuti mamanya masuk rumah. Sementara itu Sita terus saja mengomel.
“Ma... Kak Ade kok di kurung diluar Ma?” tanya Dea dengan suara parau.
“Biar dia rasakan. Mengapa jahat ma Dea. Mengapa dia lempar Dea sampai
sebegini”
“Tapi Ma...”
“Sudah ah. Mama benci...”
“Ma.. Bukan kak Ade yang melempar Dea Ma. Tapi Boni...”
“Hah..... Apa...??”
“Benar Ma. Bukan kak Ade yang melempar Dea tadi. Bukan kak ade yang lukai
Dea Ma”
“Dea...”
“Mama.. Kak Ade Ngak salah”
“Maksud Dea apa nak...?”
“Betul ma. Bukan Kak Ade yang lukai Dea. Tapi Boni”
“Apa?”
“Yang melukai Boni juga bukan Kak Ade. Tapi tadi waktu Dea dan kak Ade lagi
main si Boni datang. Lalu dia pinjam boneka Dea.... tapi... tapi boneka Dea dia
rusakin. Kak Ade marah... lalu... lalu Boni lari. Kak Ade kejar. Boni jatuh...
Kakinya terluka kena batu...” tutur Dea menceritakan peristiwa yang sebenarnya
terjadi.
“Ade... Ade... “ teriak Sita berlari ke luar rumah. Namun Ade yang
dicarinya tak kelihatan. Cepat Sita membuka pintu pagar. Dia berharap menemukan
bocah lelaki itu duduk dipinggir pagar tapi harapannya sia – sia. Beberapa lama
Sita mondar mandir mencari Ade disekitar rumahnya. Bocah malang itu tak ada.
Akhirnya Sita beranjak masuk rumahnya.
“Ma... Mana kak ade Ma...?” sambut Dea dipintu depan.
“Nanti Dea. Sebentar lagi kak Ade pulang” jawab Sita pelan. Kemudian
menuntun Dea masuk rumah. Hatinya perih. Hatinya juga hancur. Dia menyesal tak
mendengar penjelasan anak – anaknya tadi.
“Tuhan... ampuni aku...” ucapnya lirih.
*****
Tiga hari sudah Sita menunggu kepulangan
Ade. Selama itu pula dia menanggung derita. Rasa bersalah dan berdosa
yang teramat besar menghantui kehidupannya. Dia mencari kemana – mana. Berita
telah disebar. Sanak saudara pun telah dihubungi. Namun ade tak juga ditemukan.
Bahkan Sita sudah lapor ke polisi. Tapi sampai detik ini belum juga ada kabar
dimana Ade sekarang.
Hari ini, kembali Sita berusaha mencari Ade. Walau dengan langkah gontai
kecapean ditelusurinya gang – gang sempit yang menebarkan bau tak sedap.
Pikirannya melayang mengenang masa bahagianya dulu bersama sang suami, Ade dan
Dea. Membina bahtera rumah tangga. Walau ditentang keluarga Sita tetap
bersikukuh menerima lamaran Bahri, duda beranak satu yang sangat mencintainya.
Mereka hidup bahagia. Tapi apa hendak dikata. Badai memporakporandakan bahtera rumah
tangganya. Bahri, suaminya terpikat wanita lain. Tak dapat dihindari akhirnya
lelaki itu meninggalkannya dan juga anak sambungnya, Ade. Sita tak tahu harus
menyerahkan Ade kemana. Dia tak tega melihat kesedihan terpendam bocah malang
itu. Apalagi cucuran airmata Ade saat anak itu hendak dititipkannya ke panti
asuhan. Sita membatalkan niatnya dan berusaha menyayangi Ade dan tak mau
berpisah dengan bocah itu lagi
Kembali ditebarkannya pandangan ke seluruh penjuru gang sempit itu. Hatinya
berdebar disaat matanya menangkap sesosok tubuh anak manusia di tumpukan
sampah. Pakainnya dekil dan sebuah keranjang menempel di punggungnya.
“Ade’” bisik sita perlahan. Nalurinya merasakan bahwa bocah itu adalah Ade.
Dia yakin sekali.
“Ade... “ tergopoh – gopoh wanita itu mendekati bocah yang sedang asyik
memungut botol plastik, kertas dan kardus bekas di tumpukan sampah.
“Ade... Ade...” teriak Sita memanggil bocah itu.
Tersentak bocah yang sedang mengumpulkan barang bekas tersebut. Dia tertegun.
Namun sebelum Sita sampai di dekatnya, bocah itu telah berlari meninggalkan
keranjang dan barang – barang yang tadi dikumpulkannya. Bocah itu pucat
ketakutan. Dia berlari menjauh. Sita terpana.
“Ade... ini mama nak... jangan pergi...” teriak Sita namun bocah itu tak
memperdulikannya.
“Ade.. tunggu mama sayang. Mama sayang Ade...” Sita berusaha mengejar tapi
baru beberapa langkah dia sudah terjatuh. Sita terjerembab diatas tumpukan
sampah.
“Ade... maafin mama sayang...” ucapnya lirih.
Akhirnya Sita pasrah dalam kelelahan dan kesedihan. Dia tetap meratap.
Dicobanya untuk berdiri namun kakinya goyah dan terjatuh lagi. Lama dia
terduduk diam diatas tumpukan sampah. Dia tak peduli dengan sampah kotor dan
bau busuk yang menusuk hidungnya. Dia tak peduli dengan tatapan orang yang
lewat. Dia tak peduli betul – betul tak peduli.
Setelah beberapa saat dicobanya lagi untuk berdiri. Di saat dia menatap
kedepan, bagai mendapat tambahan tenaga Sita berlari mengejar sosok yang tiba –
tiba sudah berdiri tak jauh darinya.
“Ade...” digapainya bocah itu.
“Ade... maafin mama nak...!” dipeluk dan diciuminya penuh haru.
“Mengapa mama kesini?”
“Mama mencari Ade”
“Mencari Ade...?”
“Ya... sayang”
“Untuk apa mama mencari Ade?”
“Karena... karena mama sayang kamu nak”
“Adekan nakal. Sudah buat mama malu... buat mama marah”
“Tidak... Tidak sayang”
“Mama kan sudah tak sayang Ade lagi?”
“Tidak Anakku... Mama sayang Ade.... Ma..Mama....”
“Tapi... tapi Adekan bukan anak kandung Mama?”
“Ade....” meledak tangis sita mendengar kata bocah didekapannya itu. Ada
perih yang teramat sakit menggoresnya. Sita tak menyangka lelaki kecil itu akan
berkata demikian. Tak pernah disangkanya.
“Ade... maafin Mama sayang.. mama sayang sama Ade. Maafin mama.. mama...
mamaa.... dah jahat sama Ade.. mama hik..hik...” airmata sita sudah tak
terbendung lagi. Dai menangis sesungukan. Dipeluknya anak kecil itu kuat –
kuat. Sita betul – betul tak peduli dengan siapa pun. Tak peduli orang – orang
yang kebingungan menyaksikan adengan pilu yang tengah dilakukannya. Tak peduli
rintik hujan yang mulai menetes. Tak peduli mendung yang mulai kelabu di ufuk
sore.
“Mama.. mama..ngak marah lagi sama Ade?” tanya bocah itu polos.
“Tidak sayang. Mama yang salah.. mama yang salah sayang”
“Tapi...”
“Maafin mama. Mama janji ngak marahin Ade lagi. Mama janji mau dengerin
penjelasan Ade.”
“Tapi Ma... Ade...”
“Ade... Ade masih sayang kan sama Mama?
Ade menatap wanita itu dalam – dalam. Perlahan dia mengangguk.
“Ade sayangkan sama adik Dea?”
“Iya. Ade sayang”
“Adik Dea menunggu mu dirumah sayang. Ade Pulang ya sama mama?”
“Ya... Ma. Ade sayang Adek Dea. Ade sayang mama juga”
“Makasih nak..”
Tampa banyak bertanya lagi Ade membiarkan Sita mengendong tubuh dekilnya.
Dia tak tahu harus berbuat apa. Ada kerinduan dihatinya. Ada harapan yang juga
mulai tumbuh disana. Ada secercah bahagia yang memancar dibinar matanya. Dan
ada satu rindu yang kini membuncahnya. Satu rindu. Satu rindu yaitu rindu suara
riang adiknya. Dea.
0 komentar:
Posting Komentar