CERPEN - SISI LAIN YANG TERLUPA

On Senin, 04 Mei 2020 0 komentar













SISI LAIN YANG TERLUPA

PENGARANG : DODI INDRA
GURU SMPN BERNAS


Sesak dada Sita begitu melihat anaknya pulang sekolah dengan pakaian kotor dan rambut yang acak – acakan. Tiba – tiba saja darah janda itu mendidih.
“Berkelahi lagi kau haaa...?
“Ngak Ma... Ade...”
“Sudah berulang kali mama peringatkan. Tak juga kau mengerti. Dasar bebal. Tak tahu malu”
“Ma... “
“Apa? Mau membela diri?”
“Tidak. Tadi....”
“Stop. Sekali lagi kau berkelahi. Pergi kau dari rumah ini” ancam Sita menahan amarahnya.
“Si Anton kok Ma yang mulai” jawab Ade membela diri.
Apa? Betulkan kau berkelahi lagi?”
“Ma... Dengerin Ade dulu!”
“Ma.. Ade ngak salah. Si Anton yang mulai... lalu... lalu apa lagi? Lalu kalian berkelahi, dimana otak mu hah...?” hardik Sita tambah geram. Tak kuasa lagi Sita menahan amarahnya segera saja tangannya melayang ke pipi bocah kelas dua SD itu.
“Ampun Ma…Ampun….” jerit Ade pilu.
“Ampun Ma... Ampun... “ ejek Sita geram.
“Sakit Ma...Ampun”
Hari ini tak sesuap nasi pun boleh kau makan. Ngerti? Sekarang cepat masuk!”
Terseok – seok Ade berlari masuk rumah. Sementara itu air matanya terus bercucuran membasahi pipinya yang merah bekas tamparan barusan.
“Oh tuhan. Apa yang telah kulakukan” sesal Sita. Lama ia termenung menyesali perbuatannya. Setetes air mata keluar dari matanya yang dari tadi berkaca – kaca. Tak terbendung lagi akhirnya Sita menangis terisak – isak.
“Tuhan apa yang tengah terjadi pada diriku. Mengapa emosiku jadi tak terkendali begini. Haruskah anak itu yang menjadi korban atas kekesalanku ini….. oh tuhan ampunilah aku. Ade maafkan mama nak. Mama sayang kamu” ratap Sita. Lalu ia berlari menyusul anaknya masuk rumah.
Bagai disayat sembilu perihnya hati Sita begitu menemukan anaknya tertidur pulas diatas ranjang. Kedua pipinya masih merah bekas tamparannya tadi. Ingin rasanya ia membangunkan Ade dan menyuruhnya makan karena dia sadar Ade belum makan Siang. Masih terisak – isak ia mengusap kepala anaknya. Hati – hati sekali ia menyelimuti bocah itu. Setelah itu ia kecup keningnya dan perlahan beranjak meninggalkan kamar.

# # # # #

“Ade, kemari……”
“Ya ma... Ade...”
“Dasar anak kurang ajar. Tak tahu malu. Kau apakan anak buk Marni ha?” teriak Sita histeris. Sita tak bias membendung kekesalannya begitu selesai mendengar aduan bu Marni bahwa anaknya dipukul Ade. Apalagi setelah melihat dengkul si Boni berdarah, kemarahan sita semakin menjadi.
“Ade... Ade ngak apa – apain kok Ma. Dia jatuh sendiri” jawan Ade gemetar menjelaskan hal yang sebenarnya terjadi.
“Ngak mungkin jatuh sendiri“ kata bu Marni mencemooh
“Ya Tante... Ade ngak apa – apa in kok... tanya aja Boni” bela Ade ketakutan
“Maaf Bu. Anak saya memang sedikit nakal”
“Gimana sih Bu.  Ibukan seorang guru. Masak mendidik anaknya ngak becus gitu”
“Maaf Bu. Ini diluar pengawasan saya”
“Ala.... Alasan...” cibir bu Marni.
“Ma... Boni kok yang salah tadi. Ade ngak apa – apain Boni kok. Betul...””
“Apa...? Ngak Ade apa – apakan? Pandai kau berbohong ya?”
“Ampun Ma. Benar. Ade ngak apa – apakan kok”
“Tak kau apa – apakan? Lihat si Boni sampai berdarah begitu. Mau mungkir lagi kau ya?” kata Sita sambil memukul Ade dengan tangan bergetar. Melihat peristiwa yang mulai sadis itu perlahan bu Marni membawa anaknya Boni untuk segera berlalu. Kabur.
“Ma... Kak Ade ngak salah kok Ma..” bela Dea yang mulai menangis melihat kakaknya dipukuli sedemikian rupa. Dia tak tega kakaknya Ade dipukul mamanya dengan keras.
“Sudah. Memang anak ini dari sononya nakal”
“Ma..Mama... Ade ngak salah” bantah Ade sekali lagi.
“Sudah. Diam. Sekali lagi kau menjawab, Mama kurung kau dalam kamar mandi”
“Betul Ma. Kak Ade ngak salah” ucap Dea ikut membela.
“Awas kau ulangi lagi. Dasar anak tak tahu diri. Akhir – akhir ini makin menggila saja kelakuannya. Maaf Bu. Biar saya obati luka si Boni” kata Sita mulai lunak. Tapi begitu ia membalikkan badan, bu Marni dan Boni sudah tidak ada lagi disana. Sita terperangah. Terus mengomel lagi melampiaskan kekesalannya. Cepat ia berjalan masuk rumah. Dea mengiringi dari belakang dan sesekali terus menoleh kearah kakaknya yang tertunduk lesu ditengah halaman.
“Uuuu..... rasain..”cibir Boni yang tiba – tiba saja muncul di balik pagar.
“Pergi” hardik Ade pendek.
Sesaat Ade termenung. Rasa sakit disekujur tubuhnya membuat anak kecil itu tak sanggup untuk berdiri.
“Begitu mudahnya mama menghukum. Padahal aku tak salah. Mama... Mama  kini telah berubah. Mama tak sayang Ade lagi... “ jeritnya pilu dalam hati.
“Mama kejam ya kak?” kata Dea yang telah berdiri di samping Ade tanpa disadari oleh bocah malang itu.
“Tidak. Mama ngak kejam. Kak Ade aja yang nakal” tutur Ade menyembuyikan kesedihannya.
“Ngak. Kak Ade ngak salah. Si Boni kan jatuh sendiri tadi saat dikejar kak Ade. Jadi kak Ade ngak salah la...” bantah Dea.
“Ya. Tapi kak Ade tetap salah. Mengapa kak Ade ngejar dia”
“Dia yang salah  la kak. Mainin Dea dipatahinnya”
“Sudah...”
“Maafkan Mama ya kak...”
“Ya. Kak Ade pasti maafin mama”
“Kaaakkkk... Aduh sakit kak” jerit Dea keras tiba - tiba.
“Uuuu.... terima pembalasanku” ejek Boni dari jauh.
“Awas kamu ya. Kalau dapat ku makan kau” ancam Ade sambil berusaha mengejar Boni. Namun bocah itu sudah keburu kabur. Dengan perasaan kesal Ade mendekati adiknya yang menangis kesakitan.
“Ma.. Mama. Dea dilempar...” adu Dea sambil menunjuk kearah pagar.
“Sebentar ini anak buk Marni kau lukai. Sekarang adikmu sendiri yang kau lempar. Kurang ajar.. betul – betul kurang ajar. Dasar tak tahu diuntung”
“Bu...bukan Ade Ma... ampun..”
“Ampun... Ampun... pergi kau dari sini. Akan kau bunuh anakku ha...?” umpat Sita sambil memukuli Ade.
“Dasar anak setan. Bapaknya setan anaknya setan juga. Pergi kau dari rumah ini” teriak Sita kemudian menyeret anak itu keluar pagar dan lalu menguncinya rapat – rapat.
“Ma.. Kak Ade Ma...”
“Sudah sayang. Dia sudah mama usir. Coba mama lihat lukanya”
“Tapi Ma”
“Ayo kita obati lukanya” lanjut Sita tanpa mempedulikan Dea. Masih menangis Dea mengikuti mamanya masuk rumah. Sementara itu Sita terus saja mengomel.
“Ma... Kak Ade kok di kurung diluar Ma?” tanya Dea dengan suara parau.
“Biar dia rasakan. Mengapa jahat ma Dea. Mengapa dia lempar Dea sampai sebegini”
“Tapi Ma...”
“Sudah ah. Mama benci...”
“Ma.. Bukan kak Ade yang melempar Dea Ma. Tapi Boni...”
“Hah..... Apa...??”
“Benar Ma. Bukan kak Ade yang melempar Dea tadi. Bukan kak ade yang lukai Dea Ma”
“Dea...”
“Mama.. Kak Ade Ngak salah”
“Maksud Dea apa nak...?”
“Betul ma. Bukan Kak Ade yang lukai Dea. Tapi Boni”
“Apa?”
“Yang melukai Boni juga bukan Kak Ade. Tapi tadi waktu Dea dan kak Ade lagi main si Boni datang. Lalu dia pinjam boneka Dea.... tapi... tapi boneka Dea dia rusakin. Kak Ade marah... lalu... lalu Boni lari. Kak Ade kejar. Boni jatuh... Kakinya terluka kena batu...” tutur Dea menceritakan peristiwa yang sebenarnya terjadi.
“Ade... Ade... “ teriak Sita berlari ke luar rumah. Namun Ade yang dicarinya tak kelihatan. Cepat Sita membuka pintu pagar. Dia berharap menemukan bocah lelaki itu duduk dipinggir pagar tapi harapannya sia – sia. Beberapa lama Sita mondar mandir mencari Ade disekitar rumahnya. Bocah malang itu tak ada. Akhirnya Sita beranjak masuk rumahnya.
“Ma... Mana kak ade Ma...?” sambut Dea dipintu depan.
“Nanti Dea. Sebentar lagi kak Ade pulang” jawab Sita pelan. Kemudian menuntun Dea masuk rumah. Hatinya perih. Hatinya juga hancur. Dia menyesal tak mendengar penjelasan anak – anaknya tadi.
“Tuhan... ampuni aku...” ucapnya lirih.


*****

Tiga hari sudah Sita menunggu kepulangan  Ade. Selama itu pula dia menanggung derita. Rasa bersalah dan berdosa yang teramat besar menghantui kehidupannya. Dia mencari kemana – mana. Berita telah disebar. Sanak saudara pun telah dihubungi. Namun ade tak juga ditemukan. Bahkan Sita sudah lapor ke polisi. Tapi sampai detik ini belum juga ada kabar dimana Ade sekarang.
Hari ini, kembali Sita berusaha mencari Ade. Walau dengan langkah gontai kecapean ditelusurinya gang – gang sempit yang menebarkan bau tak sedap. Pikirannya melayang mengenang masa bahagianya dulu bersama sang suami, Ade dan Dea. Membina bahtera rumah tangga. Walau ditentang keluarga Sita tetap bersikukuh menerima lamaran Bahri, duda beranak satu yang sangat mencintainya. Mereka hidup bahagia. Tapi apa hendak dikata. Badai memporakporandakan bahtera rumah tangganya. Bahri, suaminya terpikat wanita lain. Tak dapat dihindari akhirnya lelaki itu meninggalkannya dan juga anak sambungnya, Ade. Sita tak tahu harus menyerahkan Ade kemana. Dia tak tega melihat kesedihan terpendam bocah malang itu. Apalagi cucuran airmata Ade saat anak itu hendak dititipkannya ke panti asuhan. Sita membatalkan niatnya dan berusaha menyayangi Ade dan tak mau berpisah dengan bocah itu lagi
Kembali ditebarkannya pandangan ke seluruh penjuru gang sempit itu. Hatinya berdebar disaat matanya menangkap sesosok tubuh anak manusia di tumpukan sampah. Pakainnya dekil dan sebuah keranjang menempel di punggungnya.
“Ade’” bisik sita perlahan. Nalurinya merasakan bahwa bocah itu adalah Ade. Dia yakin sekali.
“Ade... “ tergopoh – gopoh wanita itu mendekati bocah yang sedang asyik memungut botol plastik, kertas dan kardus bekas di tumpukan sampah.
“Ade... Ade...” teriak Sita memanggil bocah itu.
Tersentak bocah yang sedang mengumpulkan barang bekas tersebut. Dia tertegun. Namun sebelum Sita sampai di dekatnya, bocah itu telah berlari meninggalkan keranjang dan barang – barang yang tadi dikumpulkannya. Bocah itu pucat ketakutan. Dia berlari menjauh. Sita terpana.
“Ade... ini mama nak... jangan pergi...” teriak Sita namun bocah itu tak memperdulikannya.
“Ade.. tunggu mama sayang. Mama sayang Ade...” Sita berusaha mengejar tapi baru beberapa langkah dia sudah terjatuh. Sita terjerembab diatas tumpukan sampah.
“Ade... maafin mama sayang...” ucapnya lirih.  
Akhirnya Sita pasrah dalam kelelahan dan kesedihan. Dia tetap meratap. Dicobanya untuk berdiri namun kakinya goyah dan terjatuh lagi. Lama dia terduduk diam diatas tumpukan sampah. Dia tak peduli dengan sampah kotor dan bau busuk yang menusuk hidungnya. Dia tak peduli dengan tatapan orang yang lewat. Dia tak peduli betul – betul tak peduli.
Setelah beberapa saat dicobanya lagi untuk berdiri. Di saat dia menatap kedepan, bagai mendapat tambahan tenaga Sita berlari mengejar sosok yang tiba – tiba sudah berdiri tak jauh darinya.
“Ade...” digapainya bocah itu.
“Ade... maafin mama nak...!” dipeluk dan diciuminya penuh haru. 
“Mengapa mama kesini?”
“Mama mencari Ade”
“Mencari Ade...?”
“Ya... sayang”
“Untuk apa mama mencari Ade?”
“Karena... karena mama sayang kamu nak”
“Adekan nakal. Sudah buat mama malu... buat mama marah”
“Tidak... Tidak sayang”
“Mama kan sudah tak sayang Ade lagi?”
“Tidak Anakku... Mama sayang Ade.... Ma..Mama....”
“Tapi... tapi Adekan bukan anak kandung Mama?”
“Ade....” meledak tangis sita mendengar kata bocah didekapannya itu. Ada perih yang teramat sakit menggoresnya. Sita tak menyangka lelaki kecil itu akan berkata demikian. Tak pernah disangkanya.
“Ade... maafin Mama sayang.. mama sayang sama Ade. Maafin mama.. mama... mamaa.... dah jahat sama Ade.. mama hik..hik...” airmata sita sudah tak terbendung lagi. Dai menangis sesungukan. Dipeluknya anak kecil itu kuat – kuat. Sita betul – betul tak peduli dengan siapa pun. Tak peduli orang – orang yang kebingungan menyaksikan adengan pilu yang tengah dilakukannya. Tak peduli rintik hujan yang mulai menetes. Tak peduli mendung yang mulai kelabu di ufuk sore.
“Mama.. mama..ngak marah lagi sama Ade?” tanya bocah itu polos.
“Tidak sayang. Mama yang salah.. mama yang salah sayang”
“Tapi...”
“Maafin mama. Mama janji ngak marahin Ade lagi. Mama janji mau dengerin penjelasan Ade.”
“Tapi Ma... Ade...”
“Ade... Ade masih sayang kan sama Mama?
Ade menatap wanita itu dalam – dalam. Perlahan dia mengangguk.
“Ade sayangkan sama adik Dea?”
“Iya. Ade sayang”
“Adik Dea menunggu mu dirumah sayang. Ade Pulang ya sama mama?”
“Ya... Ma. Ade sayang Adek Dea. Ade sayang mama juga”
“Makasih nak..”
Tampa banyak bertanya lagi Ade membiarkan Sita mengendong tubuh dekilnya. Dia tak tahu harus berbuat apa. Ada kerinduan dihatinya. Ada harapan yang juga mulai tumbuh disana. Ada secercah bahagia yang memancar dibinar matanya. Dan ada satu rindu yang kini membuncahnya. Satu rindu. Satu rindu yaitu rindu suara riang adiknya. Dea.

0 komentar:

Posting Komentar