SEBUAH KAMAR KOST
PENGARANG : DODI INDRA, S.S
GURU SMP NEGERI BERNAS
KABUPATEN PELALAWAN
“Ayo
Nak kita lihat dulu kondisi kamarnya. Siapa tahu tidak cocok dengan selera nak
Rudi” kata bu Ambar sambil berdiri dan berjalan menuju tangga. Walau kelehan menerpa tubuhku yang telah
seharian mencari kamar kost, tetap ku iringi juga wanita yang baru saja ku
kenal beberapa menit yang lalu itu menuju tangga.
“Kamarnya
dilantai dua Nak” ujarnya sambil menaiki anak tangga. Perlahan ku berjalan dibelakang bu Ambar.
Wanita bertubuh sedikit gemuk itu dengan lincahnya berjalan menaiki tangga
menuju lantai dua.
Betapa
malangnya nasipku. Sudah tiga hari berturut – turut memburu kamar kos sampai
detik ini belum juga ada yang pas dihati. Ada yang ibu kostnya cerewet. Rumah
kostnya di lingkungan prostitusi. Jauh sekali dari tempat kerja dan berbagai
alasan lainnya. Untunglah ibu yang baik hati ini mau memberikan sebuah kamar
untukku. Walau sesungguhnya ia tak menerima anak kost.
“Ini
lho Nak kamarnya” kata bu Ambar membuyarkan lamunanku.
“Lihat
dulu kedalam” sambungnya sembari membukakan pintu lebih lebar lagi. Perlahan ku
ayunkan langkah memasuki kamar yang cukup luas tersebut.
“Maaf
ya Nak. Kamarnya sedikit kotor. Maklumlah sudah lama tidak diperhatikan” jelas
bu Ambar seakan memahami apa yang sedang ku pikirkan.
“Ah...
Ini mah tidak sedikit kotor lagi tapi teramat kotor” umpatku dalam hati. Terbesit
keinginan untuk membatalkan niatku. Tapi sekoyong – koyong ada juga yang
menarikku untuk menempati kamar itu. Beberapa detik ku terdiam dan akhirnya ku
terima juga. Capek kalau mesti mencari – cari lagi. Ku sapukan pandangan
kesemua penjuru kamar. Disana - sini
terlihat jaring laba – laba. Beberapa tumpukan kertas tergeletak di sudut
ruangan dan tampaknya sudah mulai dimakan rayap. Sebuah ranjang tanpa kasur
terletak disudut sebelah kanan. Perlahan ku berjalan menuju kamar mandi di
sebelah kiri kamar.
“Astaga...”
Ucapku lirih. Ini lebih parah lagi. Lantainya yang keramik itu mulai berlumut.
Baunya sedikit apek dan disudut sana tergeletak beberapa celana dalam yang
sudah tak karuan lagi bentuknya.
“Oh...
inikah kamar yang akan ku tempati?” bathinku mulai menjerit. Tapi mengingat tak
satu pun lagi tempat untuk ku menginap nanti malam terpaksa ku terima kondisi
kamar ini apa adanya.
“Hm...
harus kerja keras membersihkan kamar ni”
tekadku dalam hati.
“Baikla
Bu, saya setuju. Tolong ada yang membantu saya membersihkan kamar ini” pintaku.
“Nak
Rudi tidak usah kwatir. Biar nanti ibu minta mbok Tinah membantu membersihkannya”
jawab Bu Ambar lembut.
“Kalau
begitu Ibu turun dulu ya. O ya barang – barangnya mana?”
“Nanti
Bu. Nanti saya jemput ke tempat kost yang lama setelah kamar ini bersih”
“O..
begitu. Kalau perlu apa – apa minta saja sama mbok Tinah ya. Ibu turun dulu.
Assalamualaikum” bu Ambar meninggalkanku dalam kamar sumpek itu sendirian.
“Waalaikum
salam” jawabku sambil melepas kepergian wanita itu. Segera, setelah bu Ambar
menghilang dari balik pintu, aku bergerak memulai kerja bakti seorang diri.
Bagai mendapat kekuatan tambahan dengan cepat ku susun kertas yang berserakan,
membuang barang bekas dalam lemari dan mmerapikan letak tempat tidur.
“Jadi
tinggal disini Nak?” sebuah suara mengejutkan keasyikanku.
“E...
jadi Bu” jawabku pendek.
“Jangan
panggil ibu, panggil mbok saja” katanya sambil meletakkan benda – benda yang
dibawanya.
“Ya
mbok” Kupandangi wanita yang mulai tua itu. Tiba – tiba ku teringat ibuku
diseberang sana. “Ibu tentu kau memikirkan nasipku yang sedang tak beruntung
ini” bisikku dalam hati.
“Biar
Mbok yang membersihkan ...”
“Rudi.
Nama saya Rudi Mbok” jawabku memotong kata – kata ibu tua yang ternyata
pembantu ibu Ambar itu.
“Iya
Nak. Biar ibu bersihkan. Silakan nak Rudi istrahat saja dibawah” katanya lagi.
Sementara itu tangannya dengan cekatan membersihkan sarang laba – laba di
langit - langit kamar, menyapu dan
mengepel lantai.
“Memang
Nak, semenjak den Surya, anak semata wayangnya bu Ambar itu pergi, kamar ini tak lagi dibuka
apalagi dibersihkan” jelas mbok Tinah disela – sela kerjanya.
“Pergi
kemana Mbok?”
“Ya...
pergi...”
“Maksud
Mbok meninggal dunia?”
“Ya.
Meninggal dunia. Den Surya tu anaknya nakal tidak ketulungan. Maunya
dituruti dan tak mau mengikuti nasehat orang tua. Suka ngebut dijalanan sama
motor kesayangannya. Ya ... akhirnya meninggal karena kecelakaan” tutur mbok
Tinah tanpa berhenti bekerja.
“Ei....
kamar mandi tu biar Mbok saja yang
bersihkan. Nak Rudi angkat saja sampah – sampah ni ke bawah!” larang mbok Tinah
begitu melihat ku mulai membersihkan lantai kamar mandi dengan bros yang tadi
dibawanya.
“Ah
Mbok Tinah... Betapa baiknya hatimu” bisikku.
“Makasih
Mbok” jawabku girang.
Tanpa
terasa akhirnya kamar itu selesai juga dibersihkan oleh mbok Tinah dan tentu
saja termasuk aku membantu sedikit. Tak rugi rasanya aku bersusah payah
membersihkan kamar ini. Rupanya setelah dibereskan kamar ini menjelma menjadi
kamar yang indah. Lantai keramiknya pun kembali bercahaya. Fantastis. Mbok Nah
berhasil menyulap kamar yang tadi berantakan menjadi kamar yang nyaman dan
wangi.
“Terima
kasih ya Mbok. Ternyata kamar ini bagus” ucapku penuh kegembiraan.
“Benar
nak. Dulu Mbok pengen bersihkan ini kamar setiap hari tapi dilarang bu Ambar.
O...ya Nak. Kasurnya di ambil di bawah ya. Juga meja sama kursi belajarnya.
Ayo, Mbok tunjukin tempatnya” terang mbok Tinah sebelum pergi.
“Tunggu Mbok”
kataku mengiringi mbok Tinah turun.
Ku buntuti mbok Tinah menuju gudang
di lantai bawah. Dengan susah payah aku mengangkat kasur yang lumayang berat ke
lantai atas. Mbok Tinah dengan sabarnya mengiringi ku dengan cerita –
ceritanya. Sesekali dia bertanya tentang aku.
“Nak Rudi sebelumnya tinggal
dimana?”
“ Ngekost juga Mbok. Di jalan
Kartini. Tapi kos – kosannya mau direnovasi. Jadi kami para penghuninya mencari
kosan yang baru”
“O....
begitu “
“Ok
Mbok. Bereskan. Kalo ngak da lagi saya mo balik ke kos yang lama” ucapku
setelah berbincang sejenak dengan mbok Tinah. Lebih baik aku menjemput barang –
barangku ditempat kost lama dan segera menatanya serapi mungkin disini. Sebuah
ide muncul dikepala ku.
“Yo
wes... Pergi sana. Hati – hati” ucap mbok Tinah melepas kepergianku.
Berselang
beberapa jam kemudian kamarku sudah tersusun rapi. “Bu Ambar... mengapa kau sia
– siakan kamar sebagus ini” sesalku bergumam. “Ah.. capeknya. Istirahat
dulu.... sambil menunggu adzan Maghrib” ide untuk beristirahat muncul
dipikiranku.
*****
Blarrrrrr......
“Ya
Allah!” jeritku begitu kilat yang segera di susul petir yang teramat dasyat
mengelegar. Hujan yang semula cuma rintik – rintik mulai menaikkan
kecepatannya. Hujan lebat mengguyur bumi. Petir susul menyusul. Sementara itu
sayup – sayup terdengar suara angin bertiup kencang melanda pepohonan.
“Ih...
dinginnya” bisikku. Segera ku tutup buku yang tengah ku baca. Hujan semakin
deras. Angin bertiup kencang membuat
suasana semakin mencekam.
“Mungkin
lebih enak kalau aku tiduran di ranjang” Pikirku. Lalu beranjak meninggalkan
meja belajar.
“Oeeee...”jeritku
tertahan begitu membalikkan badan. Entah dari mana datangnya seorang pemuda
yang teramat mengerikan telah berdiri menghadangku. Matanya lurus menatapku tak
berkedip.
“Ya
Allah. Tolonglah hambamu ini” bisikku dengan suara bergetar ketakutan. Makhluk
itu mendekatiku. Rambutnya acak – acakan, gigi nya hitam, matanya. Ya Allah
mata itu cuman satu sementara sebelahnya lagi sudah pecah. Lendir dan darah
menetes dimata tersebut. Bau menyengat yang teramat busuk menusuk hidungku.
Wajah berlumuran darah itu menyeringai kepada ku. Ia memperlihatkan lidahnya
yang panjang memerah.
Dia
semakin mendekatiku. Tangannya yang penuh luka menggapai - gapai kearahku. Oh tuhan.... kakinya yang kiri ternyata
terkulai dan tidak menginjak tanah sementara itu kaki kanannya hanya tulang
yang kehitam – hitaman.
“Ja...
Jangan.. jangannnnn” teriakku kencang.
Tapi
makhluk itu tak bergeming dan terus
mendekatiku.
“Oh
tuhan. Tolong aku”
“
Ini pasti mimpi?” ku coba untuk menyadari apa yang terjadi. Namun makhluk itu mulai menggapaiku. Ku coba
untuk menghindar namun aku tak kuasa untuk menjauhinya. Kakiku bagai diikat dan
dibebani berkilo – kilo besi. Mulutku seolah tak berfungsi. Aku hanya bisa
berteriak namun tak bersuara. Kemana suaraku?
“Tolong...
pergilah dari sini.!” Pintaku memelas.
“Mengapa
kau tempati kamarku?” Suara makhluk itu membuatku semakin ngeri.
“A...aku...aa...aa..ku..”
tak kuasa ku menjawab pertanyaan itu. Bibirku kelu dan seakan terkunci. Aku
takut. Teramat takut.
Tanpa
bisa ku cegah, tangan itu sudah
memengangi badanku. Lenganku diguncang – guncangnya.
“Jangan.....
jangaaaaannn..” teriakku sekuatnya. Tapi tangan yang menjijikkan itu terus
menguncang – guncang bahuku. Bahkan dia mulai meraih kepalaku. Aku tak berdaya
untuk menolak karena seluruh persendianku terasa begitu lemah. Aku lumpuh.
Ingin
rasanya ku berteriak sekencang – kencangnya. Memanggil bu Ambar dan mbok Tinah
yang berada di bawah. Namun kembali suaraku tercekat dikerongkongan.
“Jangan...
jangan ganggu aku” pintaku memelas dalam ketakutan.
Tapi makhluk itu
terus saja menguncang – guncangku. Oh tuhan. Dia menamparku. Dia menapar pipiku.
Makin lama tamparan itu makin kuat dan keras. Sakit.
“Jangan
sakiti aku... tolong...” air mataku mulai menetes.
“Jangannnnn... Tolonggggg“
“Eh..
nak Rudi. Bangun.. Bangun Nak” terdengar suara yang tak asing ditelingaku.
“Tolong...
Tolong mbok” tampa sadar ku pegang tanagn wanita tua itu.
”Nak
Rudi. Ngigaunya kebangetan. Ayo bangun!”
“Tolong
Mbok. Ada hantu. Saya takut....”
“Hantu?
Mana hantunya”
“Betul
Mbok... betulll.....”
“Sudahlah.
Ayo bangun. Mandi. Sholat dan makan. Mbok dah siapkan makanan enak untuk nak
Rudi” tutur mbok Tinah menuntun tanganku untuk berdiri.
“Tapi
mbok....”
“Sudah...
Maghrib dah hampir habis ni”
Cukup
lama aku terpaku. Terdiam diantara sadar dan tidak. Perlahan – lahan ingatanku
kembali pulih. Ku usap keringat yang membasahi wajahku dengan tangan yang masih
gemetar.
“Mbok
tahu. Pasti tadi mimpi dikejar hantu kan? Memang kalau terlalu capek dan
kelelahan akan terbawa kedalam mimpi. Dan mimpinya selalu tidak enak” ucap mbok
Tinah sambil tersenyum.
“I...iya
Mbok” jawabku polos.
“Sana... Mandi dan sholat. Mbok tunggu dibawah
ya” katanya lalu melangkah dan menutup pintu.
“Ya
Mbok. Makasih... Tapi Mbok... Mbok...Mbok Tinaaaahhh.. Kok semua jadi gelap”
teriakku
“Lampu
mati Nak” jawab mbok Tinah tertawa keras.
0 komentar:
Posting Komentar