CERPEN - SEBUAH KAMAR KOST

On Senin, 04 Mei 2020 0 komentar










SEBUAH KAMAR KOST

PENGARANG : DODI INDRA, S.S
GURU SMP NEGERI BERNAS KABUPATEN PELALAWAN


“Ayo Nak kita lihat dulu kondisi kamarnya. Siapa tahu tidak cocok dengan selera nak Rudi” kata bu Ambar sambil berdiri dan berjalan menuju tangga.  Walau kelehan menerpa tubuhku yang telah seharian mencari kamar kost, tetap ku iringi juga wanita yang baru saja ku kenal beberapa menit yang lalu itu menuju tangga.
“Kamarnya dilantai dua Nak” ujarnya sambil menaiki anak tangga.  Perlahan ku berjalan dibelakang bu Ambar. Wanita bertubuh sedikit gemuk itu dengan lincahnya berjalan menaiki tangga menuju lantai dua.
Betapa malangnya nasipku. Sudah tiga hari berturut – turut memburu kamar kos sampai detik ini belum juga ada yang pas dihati. Ada yang ibu kostnya cerewet. Rumah kostnya di lingkungan prostitusi. Jauh sekali dari tempat kerja dan berbagai alasan lainnya. Untunglah ibu yang baik hati ini mau memberikan sebuah kamar untukku. Walau sesungguhnya ia tak menerima anak kost.
“Ini lho Nak kamarnya” kata bu Ambar membuyarkan lamunanku.
“Lihat dulu kedalam” sambungnya sembari membukakan pintu lebih lebar lagi. Perlahan ku ayunkan langkah memasuki kamar yang cukup luas tersebut.
“Maaf ya Nak. Kamarnya sedikit kotor. Maklumlah sudah lama tidak diperhatikan” jelas bu Ambar seakan memahami apa yang sedang ku pikirkan.
“Ah... Ini mah tidak sedikit kotor lagi tapi teramat kotor” umpatku dalam hati. Terbesit keinginan untuk membatalkan niatku. Tapi sekoyong – koyong ada juga yang menarikku untuk menempati kamar itu. Beberapa detik ku terdiam dan akhirnya ku terima juga. Capek kalau mesti mencari – cari lagi. Ku sapukan pandangan kesemua penjuru kamar. Disana  - sini terlihat jaring laba – laba. Beberapa tumpukan kertas tergeletak di sudut ruangan dan tampaknya sudah mulai dimakan rayap. Sebuah ranjang tanpa kasur terletak disudut sebelah kanan. Perlahan ku berjalan menuju kamar mandi di sebelah kiri kamar.
“Astaga...” Ucapku lirih. Ini lebih parah lagi. Lantainya yang keramik itu mulai berlumut. Baunya sedikit apek dan disudut sana tergeletak beberapa celana dalam yang sudah tak karuan lagi bentuknya.
“Oh... inikah kamar yang akan ku tempati?” bathinku mulai menjerit. Tapi mengingat tak satu pun lagi tempat untuk ku menginap nanti malam terpaksa ku terima kondisi kamar ini apa adanya.
“Hm... harus kerja keras membersihkan kamar ni”  tekadku dalam hati.
“Baikla Bu, saya setuju. Tolong ada yang membantu saya membersihkan kamar ini” pintaku.
“Nak Rudi tidak usah kwatir. Biar nanti ibu minta mbok Tinah membantu membersihkannya” jawab Bu Ambar lembut.
“Kalau begitu Ibu turun dulu ya. O ya barang – barangnya mana?”
“Nanti Bu. Nanti saya jemput ke tempat kost yang lama setelah kamar ini bersih”
“O.. begitu. Kalau perlu apa – apa minta saja sama mbok Tinah ya. Ibu turun dulu. Assalamualaikum” bu Ambar meninggalkanku dalam kamar sumpek itu sendirian.
“Waalaikum salam” jawabku sambil melepas kepergian wanita itu. Segera, setelah bu Ambar menghilang dari balik pintu, aku bergerak memulai kerja bakti seorang diri. Bagai mendapat kekuatan tambahan dengan cepat ku susun kertas yang berserakan, membuang barang bekas dalam lemari dan mmerapikan letak tempat tidur.
“Jadi tinggal disini Nak?” sebuah suara mengejutkan keasyikanku.
“E... jadi Bu” jawabku pendek.
“Jangan panggil ibu, panggil mbok saja” katanya sambil meletakkan benda – benda yang dibawanya.
“Ya mbok” Kupandangi wanita yang mulai tua itu. Tiba – tiba ku teringat ibuku diseberang sana. “Ibu tentu kau memikirkan nasipku yang sedang tak beruntung ini” bisikku dalam hati.
“Biar Mbok yang membersihkan ...”
“Rudi. Nama saya Rudi Mbok” jawabku memotong kata – kata ibu tua yang ternyata pembantu ibu Ambar itu.
“Iya Nak. Biar ibu bersihkan. Silakan nak Rudi istrahat saja dibawah” katanya lagi. Sementara itu tangannya dengan cekatan membersihkan sarang laba – laba di langit -  langit kamar, menyapu dan mengepel lantai.
“Memang Nak, semenjak den Surya, anak semata wayangnya  bu Ambar itu pergi, kamar ini tak lagi dibuka apalagi dibersihkan” jelas mbok Tinah disela – sela kerjanya.
“Pergi kemana Mbok?”
“Ya... pergi...”
“Maksud Mbok meninggal dunia?”
“Ya. Meninggal dunia.   Den Surya tu anaknya nakal tidak ketulungan. Maunya dituruti dan tak mau mengikuti nasehat orang tua. Suka ngebut dijalanan sama motor kesayangannya. Ya ... akhirnya meninggal karena kecelakaan” tutur mbok Tinah tanpa berhenti bekerja.
“Ei.... kamar mandi tu  biar Mbok saja yang bersihkan. Nak Rudi angkat saja sampah – sampah ni ke bawah!” larang mbok Tinah begitu melihat ku mulai membersihkan lantai kamar mandi dengan bros yang tadi dibawanya.
“Ah Mbok Tinah... Betapa baiknya hatimu” bisikku.
“Makasih Mbok” jawabku girang.
Tanpa terasa akhirnya kamar itu selesai juga dibersihkan oleh mbok Tinah dan tentu saja termasuk aku membantu sedikit. Tak rugi rasanya aku bersusah payah membersihkan kamar ini. Rupanya setelah dibereskan kamar ini menjelma menjadi kamar yang indah. Lantai keramiknya pun kembali bercahaya. Fantastis. Mbok Nah berhasil menyulap kamar yang tadi berantakan menjadi kamar yang nyaman dan wangi.
“Terima kasih ya Mbok. Ternyata kamar ini bagus” ucapku penuh kegembiraan.
“Benar nak. Dulu Mbok pengen bersihkan ini kamar setiap hari tapi dilarang bu Ambar. O...ya Nak. Kasurnya di ambil di bawah ya. Juga meja sama kursi belajarnya. Ayo, Mbok tunjukin tempatnya” terang mbok Tinah sebelum pergi.
“Tunggu Mbok” kataku mengiringi mbok Tinah turun.
            Ku buntuti mbok Tinah menuju gudang di lantai bawah. Dengan susah payah aku mengangkat kasur yang lumayang berat ke lantai atas. Mbok Tinah dengan sabarnya mengiringi ku dengan cerita – ceritanya. Sesekali dia bertanya tentang aku. 
            “Nak Rudi sebelumnya tinggal dimana?”
            “ Ngekost juga Mbok. Di jalan Kartini. Tapi kos – kosannya mau direnovasi. Jadi kami para penghuninya mencari kosan yang baru”
“O.... begitu “
“Ok Mbok. Bereskan. Kalo ngak da lagi saya mo balik ke kos yang lama” ucapku setelah berbincang sejenak dengan mbok Tinah. Lebih baik aku menjemput barang – barangku ditempat kost lama dan segera menatanya serapi mungkin disini. Sebuah ide muncul dikepala ku.
“Yo wes... Pergi sana. Hati – hati” ucap mbok Tinah melepas kepergianku.
Berselang beberapa jam kemudian kamarku sudah tersusun rapi. “Bu Ambar... mengapa kau sia – siakan kamar sebagus ini” sesalku bergumam. “Ah.. capeknya. Istirahat dulu.... sambil menunggu adzan Maghrib” ide untuk beristirahat muncul dipikiranku.

*****
Blarrrrrr......
“Ya Allah!” jeritku begitu kilat yang segera di susul petir yang teramat dasyat mengelegar. Hujan yang semula cuma rintik – rintik mulai menaikkan kecepatannya. Hujan lebat mengguyur bumi. Petir susul menyusul. Sementara itu sayup – sayup terdengar suara angin bertiup kencang melanda pepohonan.
“Ih... dinginnya” bisikku. Segera ku tutup buku yang tengah ku baca. Hujan semakin deras. Angin  bertiup kencang membuat suasana semakin mencekam.
“Mungkin lebih enak kalau aku tiduran di ranjang” Pikirku. Lalu beranjak meninggalkan meja belajar.
“Oeeee...”jeritku tertahan begitu membalikkan badan. Entah dari mana datangnya seorang pemuda yang teramat mengerikan telah berdiri menghadangku. Matanya lurus menatapku tak berkedip.
“Ya Allah. Tolonglah hambamu ini” bisikku dengan suara bergetar ketakutan. Makhluk itu mendekatiku. Rambutnya acak – acakan, gigi nya hitam, matanya. Ya Allah mata itu cuman satu sementara sebelahnya lagi sudah pecah. Lendir dan darah menetes dimata tersebut. Bau menyengat yang teramat busuk menusuk hidungku. Wajah berlumuran darah itu menyeringai kepada ku. Ia memperlihatkan lidahnya yang panjang memerah.
Dia semakin mendekatiku. Tangannya yang penuh luka menggapai - gapai kearahku.  Oh tuhan.... kakinya yang kiri ternyata terkulai dan tidak menginjak tanah sementara itu kaki kanannya hanya tulang yang  kehitam – hitaman.
“Ja... Jangan.. jangannnnn” teriakku kencang.
Tapi makhluk itu tak bergeming dan terus mendekatiku.
“Oh tuhan. Tolong aku”
“ Ini pasti mimpi?” ku coba untuk menyadari apa yang terjadi.  Namun makhluk itu mulai menggapaiku. Ku coba untuk menghindar namun aku tak kuasa untuk menjauhinya. Kakiku bagai diikat dan dibebani berkilo – kilo besi. Mulutku seolah tak berfungsi. Aku hanya bisa berteriak namun tak bersuara. Kemana suaraku?
“Tolong... pergilah dari sini.!” Pintaku memelas.
“Mengapa kau tempati kamarku?” Suara makhluk itu membuatku semakin ngeri.
“A...aku...aa...aa..ku..” tak kuasa ku menjawab pertanyaan itu. Bibirku kelu dan seakan terkunci. Aku takut. Teramat takut.
Tanpa bisa ku cegah, tangan itu sudah  memengangi badanku. Lenganku diguncang – guncangnya.
“Jangan..... jangaaaaannn..” teriakku sekuatnya. Tapi tangan yang menjijikkan itu terus menguncang – guncang bahuku. Bahkan dia mulai meraih kepalaku. Aku tak berdaya untuk menolak karena seluruh persendianku terasa begitu lemah. Aku lumpuh.
Ingin rasanya ku berteriak sekencang – kencangnya. Memanggil bu Ambar dan mbok Tinah yang berada di bawah. Namun kembali suaraku tercekat dikerongkongan.
“Jangan... jangan ganggu aku” pintaku memelas dalam ketakutan.
Tapi makhluk itu terus saja menguncang – guncangku. Oh tuhan. Dia menamparku. Dia menapar pipiku. Makin lama tamparan itu makin kuat dan keras. Sakit.
“Jangan sakiti aku... tolong...” air mataku mulai menetes.
“Jangannnnn...  Tolonggggg“
“Eh.. nak Rudi. Bangun.. Bangun Nak” terdengar suara yang tak asing ditelingaku.
“Tolong... Tolong mbok” tampa sadar ku pegang tanagn wanita tua itu.
”Nak Rudi. Ngigaunya kebangetan. Ayo bangun!”
“Tolong Mbok. Ada hantu. Saya takut....”
“Hantu? Mana hantunya”
“Betul Mbok... betulll.....”
“Sudahlah. Ayo bangun. Mandi. Sholat dan makan. Mbok dah siapkan makanan enak untuk nak Rudi” tutur mbok Tinah menuntun tanganku untuk berdiri.
“Tapi mbok....”
“Sudah... Maghrib dah hampir habis ni”
Cukup lama aku terpaku. Terdiam diantara sadar dan tidak. Perlahan – lahan ingatanku kembali pulih. Ku usap keringat yang membasahi wajahku dengan tangan yang masih gemetar.
“Mbok tahu. Pasti tadi mimpi dikejar hantu kan? Memang kalau terlalu capek dan kelelahan akan terbawa kedalam mimpi. Dan mimpinya selalu tidak enak” ucap mbok Tinah sambil tersenyum.
“I...iya Mbok” jawabku polos.
 “Sana... Mandi dan sholat. Mbok tunggu dibawah ya” katanya lalu melangkah dan menutup pintu.
“Ya Mbok. Makasih... Tapi Mbok... Mbok...Mbok Tinaaaahhh.. Kok semua jadi gelap” teriakku
“Lampu mati Nak” jawab mbok Tinah tertawa keras.





0 komentar:

Posting Komentar