REZEKI
TAK BERPINTU
DODI INDRA.S.S
GURU SMP NEGERI BERNAS
Matahari sudah mulai condong kearah
barat. Azan Zuhur sebentar lagi akan berkumandang. Dari tadi pagi kami
sekeluarga mengemasi barang-barang bekas yang menumpuk di sudut dapur. Bukan
hanya sekedar merapikan dapur tapi barang–barang bekas ini dapat menghasilkan
uang dan aku yakin walau jumlahnya tidak seberapa akan dapat menyambung hidup
kami berempat beberapa hari ke depan.
Botol bekas, kardus dan karton, kertas
bekas, plastik, dan alat rumah yang sudah rusak diangkut keluar. Dua anak
laki-lakiku, Fahri dan Rival, bertugas membawa barang rongsokan itu ke halaman
samping rumah kami. Sementara itu Santi, anak perempuan yang kini sudah
menginjak masa remaja, memilih barang yang bisa dijual lagi dan mana yang
tidak. Raut sedih dan kecapekan tak bisa disembunyikan dari wajah–wajah lugu
mereka.
Kupandangi buah hatiku itu satu
persatu. Bulir-bulir keringat mengalir membasahi tubuh mereka. Santi dengan
cekatan memisahkan barang plastik dan kaleng yang dibawa kedua adiknya. Anak
gadisku itu tidak memperdulikan sinar matahari yang menyengat kulitnya. Dia
bekerja tanpa suara sedikitpun. Fahri dan Rival hilir mudik dari dapur ke
halaman samping. Mereka saling kejar-kejaran. Sesekali Fahri memotong jalan
adiknya Rival yang mulai lambat. Terimaksih ya Allah. Betapa beruntungya aku.
Punya 3 orang anak yang selalu mengerti dengan kondisi orang tuanya. Mereka
selalu menurut apa yang aku katakan. Membantu pekerjaan ku walau tanpa ku minta
sekalipun.
“Mak…! Adek lapar!” ucap lirih anakku
Rival. Sibungsu itu tiba – tiba sudah berada di sisiku tanpa kusadari. Aku
terhenyak. Ucapan Rival laksana sembilu mengiris jantungku. Perih merintih.
“Iya Nak. Sebentar ya!” bujukku sambil
mengusap kepalanya yang basah oleh keringat.
Santi menghentikan kerjanya. Dia
berjalan ke dalam rumah. Tidak berapa lama dia kembali. Wajahnya pucat. Pucat
bukan karena sakit ataupun ketakutan. Aku yakin pucat itu karena perutnya
lapar.
“Bu…? Kita tak ada beras lagi kah?” Si
sulung menghampiriku.
“Coba lihat di tempat biasa ibu
menyimpam beras!” jawabku. Aku tahu betul tak sebutir beras pun lagi tersisa
dalam ember cat bekas itu. Namun untuk sekedar menjawab pertanyaan Santi,
terpaksa kalimat itu aku ucapkan.
“Tadi sudah Santi lihat Bu! Tapi
kosong. Tak ada lagi berasnya!” jawab Santi
menyakinkanku.
Aku segera menghentikan kerjaku
mengikat kardus–kardus bekas yang dari tadi kukumpulkan. Aku tak tahu harus
berbuat apa. Percuma saja aku kedalam rumah berpura pura melihat ember beras.
Namun aku harus menenangkan ketiga anakku yang kini sedang kelaparan. Sudah
dari kemarin kami tidak makan nasi. Tadi malam pun sebelum tidur aku hanya bisa
membelikan mereka sepotong singkong goreng. Sekedar pengganjal perut. Tapi
rupanya sepotong goreng singkong tak mampu menunda rasa lapar terlalu lama.
Kembali rasa lapar itu datang. Apalagi anak-anakku yang dalam masa pertumbuhan.
Mereka membutuhkan asupan makanan yang cukup untuk perkembangan mereka. Tapi
bagaimana mungkin aku memenuhinya.
Aku hanya pedagang kecil di sebuah SD
di kampungku. Sudah satu bulan lebih aku tak jualan lagi. Sekolah diliburkan
karena wabah corona yang kini melanda. Otomatis mata pencarianku terhenti. Itu
artinya sudah sebulan juga tak ada lagi pemasukan. Tabungan yang kusimpan
sedikit demi sedikit dari sisa kebutuhan sehari-hari selama ini sudah tak ada
lagi. Tak ada lagi yang bisa dijadikan
uang untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari kami.
Untung saja aku sedikit rajin
mengumpulkan barang-barang bekas dari jualanku. Semuanya kutumpuk begitu saja
di sudut dapur. Pagi tadi muncul niatku untuk menjualnya. Kupandu ketiga anakku
untuk mengemasnya. Semoga saja dapat menghasilkan uang untuk membeli beras dan
lauk seadanya.
Ketiga anakku menatapku lekat. Mereka
berharap ada sedikit makanan untuk mengganjal perut mereka setelah sholat Zuhur
nanti. Hatiku terisris melihat tatapan mereka. Begitu dasyatnya virus corona
melanda kehidupan kami. Bukan virusnya yang menyerang tubuh kami tapi dampaknya
yang membuat kami porak poranda. Apa yang bisa kami lakukan. Satu-satunya
usahaku berhenti total seiring dengan kebijakan libur sekolah.
“Makan apa kita Mak?” Fahri bertanya
lembut. Bola matanya menuntutku untuk menjawab.
“Jangan bertanya lagi. Selesaikan saja
kerja kita ini. Jangan buat Emak kepikiran” jawab Santi menenangkan adiknya.
“Sabar ya Nak! Ayo kita selesaikan
mengemas barang – barang ini! Lalu kita panggil pak Ardi. Barang-barang ini
akan menghasilkan uang. Setelah itu baru kita beli makanan,” kataku.
Segera kuselesaikan kerja yang tadi
kutinggalkan. Tadi pagi pak Ardi sudah kuhubungi dan beliau bersedia membeli
barang bekas kami. Pak Ardi merupakan pengumpul barang bekas di kampungku.
Banyak pemulung yang menjual hasil pulungan mereka ke pak Ardi.
“Sudah Mak! Tak ada lagi! Sudah bersih
semua” kata Rival.
“Ya Mak. Dapur pun sudah kami rapikan.
Sudah lapang dapur kita sekarang” tambah Fahri.
“Terimakasih ya,” jawabku bahagia.
“Santi. Masukkan botol-botol ini kedalam karung ya!”
“Ya Mak.”
“Rival. Masukkan kertas dan koran
bekas ini ke dalam kardus besar itu ya! O..iya. kertas dan korannya jangan
dicampur ya!”
“Oke Mak!” jawan Rival sambil
mengajungkan jempolnya.
“Fahri bantu Emak angkat barang yang
sudah diikat ini ke situ” ucapku sambil menunjuk kearah dinding rumah.
“Iya Mak.”
Fahri segera membantuku menyusun barang-barang
yang sudah dipilah-pilah tersebut keteras rumah. Semuanya kami susun disana.
Sehingga pak Ardi akan mudah mengambilnya.
“Baik. Semua sudah beres. Kalian mandi
dulu sana ya. Sebentar lagi Azan Zuhur. Kalian Sholat ya Nak?” perintahku.
“Emak mau kemana?” tanya si sulung.
“Emak pergi kerumah pak Ardi. Tadi
beliau pesan akan mengambil barang ini sebelum Zuhur.”
“Mak. Rival ikut boleh?” pinta si
bungsu.
“O… Rival mau ikut? Boleh. Tapi jalan
sendiri ya! Mak tak kuat mengendong Rival” kataku memberi syarat.
“Asyik… Boleh ikut…!” teriak Rival
bahagia.
“Assalamualaikum.”
Terdengar suara salam dari depan.
Rival berlari kearah sumber suara tanpa dikomando. Tak berapa lama kemudian dia
muncul. Dibelakangnya dua orang lelaki mengikuti.
“Mak… Wak Ardi sudah datang…!” teriak
Rival mendekatiku.
“Waalaikumsalam. Pak Ardi?”
“Hm… Sudah dikemas rupanya.,” ucap pak
Ardi tersenyum.
“Kerjanya anak-anak Pak,” jawabku
sekenanya.
“Wah, kalau sudah disusun seperti ini
kita tinggak angkat nih” kata pak Ardi sambil menyikut lelaki muda
disampingnya.
“Iya Pak. Rapi kali kerjanya mak Siti
ni!” sambung si lelaki muda.
“Hm… Banyak juga ya Mak?”
“Lumayan Pak. Kami juga tak nyangka
sebanyak ini”
“Kalo begitu saya angkat dulu ya.
Nanti timbangnya di rumah saya saja. Tak cukup timbangan yang saya bawa,”
“O… Tidak apa-apa Pak,” jawabku pelan.
“Oke. Silakan diangkat ke mobil!”
perintah pak Ardi pada lelaki muda yang berdiri disampingnya itu.
Dibawa dulu. Itu artinya uang yang
kami rindukan tak akan langsung di dapat saat ini juga. Apa alas an yang akan
kukatakan pada anak-anakku nanti. Terbayang wajah kecewa anak-anakku di pelupuk
mata. Akan bertambah lama rasa lapar yang mereka tanggung untuk hari ini. Itu
pun kalau uang hasil barang bekas ini diantar langsung. Bagaimana kalau besok
atau besoknya lagi. Tak terperi sedih hatiku. Akankah kami perpanjang menahan
lapar ini. Kasihan anak-anakku. Mereka pasti tak kuat lagi.
“Ya Allah. Tolonglah hambamu ini!”
bisikku pilu.
“Oya… Mana anak – anak Mak tadi?”
suara pak Ardi membuyarkan pikiranku.
“O… O… mereka ada di dalam. Ada apa
Pak?” tanyaku penasaran. Ada apa gerangan. Mengapa pak Ardi menanyakan anak-anakku.
“Bisa dipanggilkan Mak?” pinta pak
Ardi.
“Bisa Pak.” Jawabku. Namun rasa
penasaran membuatku mengurungkan niat untuk memanggil ketiga anakku itu.
“Maaf Pak. Untuk apa Bapak panggil
mereka. Apa mereka ada salah dengan Bapak. Saya minta maaf Pak,” kataku. Aku
takut ketiga atau salah satu anakku telah berbuat salah pada pak Ardi.
“O… Tidak Mak. Anak Mak baik- baik
semua kok. Aku tahu betul anak-anak Mak itu. Mereka patuh dan sopan,” jelas pak
Ardi. Kata-kata pak Ardi membuat kekhawatiranku hilang seketika.
“Dulu sewaktu almarhum masih hidup.
Beliau sering mengajak bocah-bocah itu ke rumah. Suami Mak itu masih kerabat
saya. Akhir-akhir ini saja mereka tak ada lagi kesana.” tambah pak Ardi.
Memang benar, Suamiku dan pak Ardi
berteman akrab meskipun usia pak Ardi lebih muda dari usia suamiku. Apalagi
mereka berasal dari kampung yang sama. Namun semenjak suamiku meninggal dunia 8
bulan yang lalu, tak pernah lagi anak-anakku main ketempat mereka.
“Bisa panggil mereka Mak!” Kembali
suara pak Ardi mengejutkanku.
“Bisa… bisa Pak. Tunggu sebentar ya!,”
kataku sedikit terbata.
Aku segera beranjak ke dalam rumah.
Kudapati ketiga anakku sudah rapi. Mereka selesai mandi dan bersiap-siap
menjalankan sholat Zuhur. Tak berapa lama aku dan ketiga buah hatiku sudah
kembali ke halaman samping tempat pak Ardi menunggu.
“Santi, Fahri, dan Rival. Dua hari
lagi kita akan puasa Ramadhan bukan?” pak Ardi mulai membuka pembicaraan.
“Iya Wak.” Jawab ketiga anakku
serentak.
“Kalian puasa ya! Jangan ada yang
bolong!”
“Insya Allah Wak.” Kembali mereka
menjawab serempak.
“Nah. Ini ada sedikit dari Wak! Semoga bisa bermanfaat dan dapat
membantu kalian.” Ucap Pak Ardi.
“Terimalah!” sambung lelaki paruh baya
itu. Dia menyerahkan amplop putih ke tangan Santi.
“Apa ini Wak?” tanya Santi polos.
“Hm… Ini. Biasa tiap tahun sebelum
puasa Ramadhan, Wak mengeluarkan zakat dari rezeki yang Wak dapat. Nah ini ada
sedekit untuk kalian bertiga. Wak berharap kalian mau menerimanya!”
Santi memandangku. Dia ragu untuk
menerimanya. Fahri dan Rival ikut-ikutan memandangku. Terpampang raut wajah
bahagia dari wajah-wajah polos mereka. Aku mengangguk. Ada hembusan angin yang teramat segar
kurasakan. Kaki dan tanganku gemetar. Baru kali ini aku merasakan hal ini.
“Terima kasih Wak” ucap Santi.
Santi menyalami dan mengangkat tangan
pak Ardi ke keningnya. Perbuatan Santi diikuti kedua adiknya. Wajah mereka
berbinar bahagia. Belum selesai Fahri dan Rival menyalami pak Ardi sudah
terdengar kumandang azan Zuhur.
“Wak. Kami sholat dulu ya! Terima kasih
banyak.” Ketika anakku kembali masuk ke dalam rumah.
“Sama-sama.” Jawan pak Ardi. “Baiklah
Mak. Barang-barang ini saya bawa dulu ya! Saya akan timbang! Emak mau ikut
menimbangnya?”
“Tidak usah Pak. Saya percayakan saja
pada pak Ardi”
“Iyalah kalau begitu. Selesai saya
timbang, segera uangnya saya antar ke sini”
“Iya…” jawabku pendek.
“Baik Mak. Saya permisi.
Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam”
Aku tak bisa berkata apa. Ada secercah
harapan muncul. Hatiku diliputi kebahagian. Bergegas kumasuk ke dalam rumah.
Kulihat amplop putih dari pak Ardi tergeletak di atas meja. Amplop itu masih
utuh. Aku yakin anak-anakku pasti tak akan membukanya sebelum aku suruh. Memang
itulah yang telah aku dan almarhum suamiku ajarkan selama ini. Untuk selalu
meminta izin dalam melakukan sesuatu. Kuraih amplop itu. Perlahan kubuka.
Beberapa lembar uang berwarna merah terdapat di dalamnya. Alhamdulillah.
Terimakasih ya Allah. Air mataku menetes, aku tak tahu apakah air mata itu
pertanda aku bahagia atau sedih. Namun yang pasti beberapa hari kedepan anakku
tak akan kelaparan lagi.
Pangkalan Kerinci, 22 April 2020
1 komentar:
Izin promo ya Admin^^
bosan tidak ada yang mau di kerjakan, mau di rumah saja suntuk,
mau keluar tidak tahu mesti kemana, dari pada bingung
mari bergabung dengan kami di ionqq^^com, permainan yang menarik dan menguras emosi
ayo ditunggu apa lagi.. segera bergabung ya dengan kami...
add Whatshapp : +85515373217 ^_~ :))
Posting Komentar