TERPAPAR COVID 19 - KISAH APD

On Senin, 11 Mei 2020 0 komentar








KISAH APD

DODI INDRA, S.S
GURU SMPN BERNAS


Perkenalkan namaku Arini. Aku seorang dokter umum yang bertugas di sebuah rumah sakit pemerintah di ibukota kabupaten. Sebagi pegawai pemerintah aku harus tunduk dan patuh dengan segala aturan  di tempat aku bekerja. Setiap hari aku melayani pasien di poli umum. Berbagai macam kharakter pasien harus aku hadapi. Mulai dari yang sangat sopan sampai ke yang emosional dan pemarah. Ada yang santun bertingkah laku, lemah lembut dalam berbicara namun ada juga yang suaranya keras, sombong dan angkuh. Dari rakyat miskin papa sampai orang kaya ternama. Namun, apa pun latar belakang mereka, mereka semua tetap pasien yang tentu saja menurutku harus mendapatkan pelayanan yang sama.
Hari ini seperti biasa jam 8 pagi aku harus sudah ada di ruanganku. Bergegas aku memacu kendaran  menuju rumah sakit. Jalanan sepi. Hanya satu dua kendaraan yang melintas. Sejak mewabahnya virus corona dan pemerintah kabupaten menghimbau untuk tidak keluar rumah jalanan menjadi sepi. Ditambah lagi semua kegiatan perkantoran dihentikan. Kerja dilaksanakan dari rumah. Begitu juga dengan sekolah. Semua kegiatan belajar mengajar dilaksanakan dirumah.
Sesampai di rumah sakit, seperti biasa aku parkir di parkiran khusus pegawai rumah sakit. Sudah banyak kendaraan rekan kerjaku berderet disana. Kulihat sebagian mereka antri mencuci tangan di kran air yang sekitar satu minggu ini dibuat. Mencuci tangan sebelum masuk rumah sakit menjadi kewajiban yang tak boleh dilanggar. Petugas  akan menegur siapa yang lupa atau bahkan tidak mau mencuci tangan disana. Baik itu pegawai, perawat, dokter maupun pasien yang datang berobat.
Sebelum turun sengaja kupasang masker di wajah.  Selepas mencuci tangan segera aku menuju pintu utama rumah sakit. Disana sudah ada dua orang petugas menanti. Salah satu dari mereka langsung menyambutku.
“Pagi bu Dokter!”
“Pagi pak.”
“Maaf buk,“ katanya sopan lalu mengarahkan thermometer tembak ke dahiku. Tidak berapa lama dia menunjukkan hasilnya.
“36 koma 2. Normal Buk. Silakan masuk!” lanjutnya.
Terima kasih ya Pak,” balasku.
“Alhamdulliah.” Bisikku dalam hati. Kulangkahkan kaki menuju dinding samping lobby  untuk absensi sidik jari. Perlahan kuarahkan ibu jari ke mesin sidik jari. Tiba-tiba sebuah suara bariton mengejutkanku.
“Maaf Buk dokter. Tak usah check clock. Dokter lupa ya!,” kata pak satpam mengingaktkanku.
“O. Iya. Maaf, lupa saya,” kataku sedikit malu. Biasanya sebelum wabah ini menyebar aku selalu absen sidik jari di mesin check clock itu.
“Makasih Pak,” lanjutku lalu meneruskan langkah menuju ruang poli umum di sayap kanan rumah sakit.
“Pagi Buk dokter!” sapa Santi dan Nurhayati serentak. Santi dan Nurhayati merupakan dua orang perawat  yang biasa membantuku melayani pasien yang datang.
“Selamat pagi!” jawabku tak kalah ramah.
Kupandangi kedua perawat muda itu. Ada yang aneh dengan mereka namun kutak tahu apa. Kutatap lekat keduanya.
“Kok Dokter menatap kami seperti itu?” tanya Nurhayati heran melihat tingkahku.
“Kalian kok belum memakai hazmat” tanyaku mengalihkan.
“Hm… sebentar lagi la Buk dokter.”
“Lho. Poli umum ini sebentar lagi bukakan? Pasien sudah menunggu di luar. Ayo pakai!” ajakku sambil menyerahkan seperangkat APD sederhana yang tergelak di meja.
“Gerah Buk. Tak nyaman,” gerutu Santi sambil mengambil ADP yang aku serahkan.
“Demi keselamatan diri kita dan diri orang lain, kita wajib pakai!” kataku menegaskan.
“Tapi kita kan hanya di poli umum Dokter!”
“Memangnya kalian tahu pasien yang datang tu bebas dari Covid-19? Bagaimanapun juga kita harus berhati-hati dan melakukan tindakan preventif. Salah satunya dengan memakai pakaian ini.”
“Apa tidak berlebihan Dokter?” kembali Santi bertanya.
“Tidak. Ini sesuai dengan standar,” jawabku tegas.
“Tapi…”
“Tak usah pakai tapi-tapian. Kalian mau mati konyol?” suaraku sedikit memaksa.
“Iya la Buk.” Akhirnya kedua perawat itu mengikuti apa yang aku katakan.
Segera kubuka seperangkat APD yang disediakan. Pakaian yang mirip pakian astronot ini disebut juga dengan nama “Hazardous Material Suit” atau Hazmat Suit. Pakaian yang termasuk ke dalam Alat Pelindung Diri ini  terdiri dari pelindung kepala hingga pelindung kaki. Bentuknya sudah dirancang sedemikian rupa. Perlengkapan tersebut mempunyai fungsi yang sangat krusial untuk melindungi dan mengurangi risiko tertular penyakit infeksius. Seperti Covid-19.
Perlahan kupakai baju pelindung diri yang terbuat dari serat polietilen tersebut. Kupasang dengan teliti supaya bisa terpasang dengan baik. Kuraih sarung tangan dari karet sintetis nitrile dan kusarungkan ke kedua belah tanganku. Terakhir kupasang masker N95 dengan teliti. Kupastikan mulut dan hidungku tertutup rapat dengan masker berwarna putih tersebut.
“Ok Buk dokter! Kami sudah siap untuk beraksi!” kata dua perawat itu serentak. Mereka menirukan gaya upin ipin.
“Hm… ada-ada ada saja kalian,” tukasku sambil mengajungkan jempul kearah mereka.
“Ayo. Kita laksanakan tugas melayani pasien – pasien yang datang untuk kontrol dan berobat,” kata Santi dan Nurhayati dari sampingku. Satu tangan mereka bersidekap di dada. Satu tangan lagi mengajung ke atas. Kembali kuajungkan jempol ke arah mereka. Lalu kuarahkan telunjuk ke jam dinding. Kedua perawat itu menganguk. Jam dinding itu  sudah  menunjukkan pukul 08.30. Saatnya poli dibuka.
Satu jam berlalu tanpa terasa. Gerah serta rasa tak nyaman  mulai menghantui. Pakaian ini sungguh menyiksa. Hawa panas yang dihasilkannya membuat keringat  mengalir deras. Dua buah AC 1 PK  di ruangan ini  ternyata tak bisa mengalahkan hawa panas yang dihasilkan tubuh kami. Satu demi satu pasien berdatangan. Kami harus mendengarkan keluhan mereka. Menanyakan gejala–gejala yang mereka rasakan. Sebagai  dokter umum aku berperan dalam memberikan pencegahan, diagnosis, dan penanganan awal, serta merujuk ke dokter spesialis jika pasien terseput memerlukan.
Kedua perawatku dengan cekatan membantu  mulai dari menyiapkan alat–alat,  memanggil pasien, mengukur tekanan darah, memeriksa suhu dan mencatatnya di buku kontrol sampai memberikan arahan apa yang harus dilakukan pasien selanjutnya. Untung saja hari ini tidak ada pasien yang bertingkah aneh. Semua baik dan menurut dengan apa yang kami anjurkan.
“Dokter. Pasien sudah tak ada lagi. Kami buka baju ini ya!” pinta Nurhayati.
“Pastikan dulu!”
Santi bergegas keluar. Dia melihat ke ruang tunggu. Tak berapa lama gadis itu sudah kembali.
“Tak ada lagi Buk dokter. Hanya ada beberapa pasien di depan poli gigi,” katanya meyakinkanku.
“Ya sudah. Bukalah APDnya!”
Sudah seminggu pasien di poli umum berkurang. Biasanya pasien banyak sehingga terjadi antrian panjang. Bahkan terkadang sampai jam 14. 30 baru pasien habis. Tapi hari ini hanya beberapa pasien dan itu pun kebanyakan yang kontrol. Pasien baru hanya ada 1 orang dengan keluhan sakit perut. 
“Alhamdulilah. Laksana terlepas dari bara api,” teriak Nurhayati lega.
“Hm… Segar!” lanjut Santi.
Kupandangi dua perawat cantik itu. Mereka kelihatan sangat bahagia. Terbebas dari APD yang sungguh tak yaman dipakai. Bajunya membuat gerah dan memproduksi keringat berlebih. Sarung tangan membuat jemari mengerut dan berbekas dipergelangan tangan. Sarung tangan karet itu harus digonta-ganti sebanyak pasien yang datang. Masker yang berfungsi untuk menangkis masuknya virus ternyata kalau kelamaan dipakai membuat dada sesak juga. Tiada yang seindah bernafas secara normal.
“Dokter. Sampai kapan kita seperti ini?” tanya Santi sambil menatapku meminta jawaban.
“Berdoa sajalah supaya pandemi ini segera hilang dan ada penemuan untuk melawannya.”
“Ya Dokter. Tersiksa sekali dengan ADP ini,” lanjut Nurhayati berkeluh kesah.
“Kita belum seberapa lho Santi. Lihat perawat dan dokter di ruang isolasi. Pakaian mereka 2 kali lipat pakaian kita. Mereka pakai baju dan celana pelindung, masker, sarung tangan, kacamata pengaman dan topi headgear. Belum lagi resiko tertular wabah itu lebih tinggi dari kita disini.” Jelasku membandingkan kondisi di ruang isolasi dengan ruangan tempat kami bekerja.
“Iya Dokter. Kemaren perawat disana pada ngeluh. Tersiksa sekali pakain pakaian ini. Namun untuk melindungi diri dari pasien, mereka harus keukeh memakainya,” sambung Santi.
“Saat menggunakan APD, baju  jubah harus dikencangkan pada bagian pergelangan tangan, pergelangan kaki, wajah, leher, dan pinggang. Itu yang menambah ngak nyaman Dokter,” Nurhayati ikut menambahkan.
“Tambah lagi Dokter. Melepas APDnya juga harus benar. Mereka harus melepas sarung tangan dan jubah tanpa menyentuh bagian luarnya. karena alat tersebut dianggap telah terkontaminasi. Setelah mereka melakukan kontak fisik dengan pasien yang terinfeksi. Ribet kan Dokter.” Santi menambahkan lagi.
“Nah… kalian tahu kegunaan APD. Mengapa kalian masih mengeluh dan berat memakainya?” tanyaku kepada mereka.
Kedua perawat itu saling pandang. Tampak mereka malu dengan apa yang telah mereka lakukan tadi.
“ APD yang mereka pakai pun  tak seperti yang kita pakai. APD mereka lebih tebal. Terus Cuma bisa sekali pakai.” 
“Iya Dokter.”
Santi dan Nurhayati tersipu.


Pangkalan Kerinci, 01  April 2020

0 komentar:

Posting Komentar