KISAH
APD
DODI INDRA, S.S
GURU SMPN BERNAS
Perkenalkan namaku Arini. Aku seorang
dokter umum yang bertugas di sebuah rumah sakit pemerintah di ibukota
kabupaten. Sebagi pegawai pemerintah aku harus tunduk dan patuh dengan segala
aturan di tempat aku bekerja. Setiap
hari aku melayani pasien di poli umum. Berbagai macam kharakter pasien harus
aku hadapi. Mulai dari yang sangat sopan sampai ke yang emosional dan pemarah.
Ada yang santun bertingkah laku, lemah lembut dalam berbicara namun ada juga
yang suaranya keras, sombong dan angkuh. Dari rakyat miskin papa sampai orang
kaya ternama. Namun, apa pun latar belakang mereka, mereka semua tetap pasien
yang tentu saja menurutku harus mendapatkan pelayanan yang sama.
Hari ini seperti biasa jam 8 pagi aku
harus sudah ada di ruanganku. Bergegas aku memacu kendaran menuju rumah sakit. Jalanan sepi. Hanya satu
dua kendaraan yang melintas. Sejak mewabahnya virus corona dan pemerintah
kabupaten menghimbau untuk tidak keluar rumah jalanan menjadi sepi. Ditambah
lagi semua kegiatan perkantoran dihentikan. Kerja dilaksanakan dari rumah.
Begitu juga dengan sekolah. Semua kegiatan belajar mengajar dilaksanakan
dirumah.
Sesampai di rumah sakit, seperti biasa
aku parkir di parkiran khusus pegawai rumah sakit. Sudah banyak kendaraan rekan
kerjaku berderet disana. Kulihat sebagian mereka antri mencuci tangan di kran
air yang sekitar satu minggu ini dibuat. Mencuci tangan sebelum masuk rumah
sakit menjadi kewajiban yang tak boleh dilanggar. Petugas akan menegur siapa yang lupa atau bahkan
tidak mau mencuci tangan disana. Baik itu pegawai, perawat, dokter maupun
pasien yang datang berobat.
Sebelum turun sengaja kupasang masker
di wajah. Selepas mencuci tangan segera
aku menuju pintu utama rumah sakit. Disana sudah ada dua orang petugas menanti.
Salah satu dari mereka langsung menyambutku.
“Pagi bu Dokter!”
“Pagi pak.”
“Maaf buk,“ katanya sopan lalu
mengarahkan thermometer tembak ke dahiku. Tidak berapa lama dia menunjukkan
hasilnya.
“36 koma 2. Normal Buk. Silakan
masuk!” lanjutnya.
Terima kasih ya Pak,” balasku.
“Alhamdulliah.” Bisikku dalam hati.
Kulangkahkan kaki menuju dinding samping lobby
untuk absensi sidik jari. Perlahan kuarahkan ibu jari ke mesin sidik
jari. Tiba-tiba sebuah suara bariton mengejutkanku.
“Maaf Buk dokter. Tak usah check clock. Dokter lupa ya!,” kata pak
satpam mengingaktkanku.
“O. Iya. Maaf, lupa saya,” kataku
sedikit malu. Biasanya sebelum wabah ini menyebar aku selalu absen sidik jari
di mesin check clock itu.
“Makasih Pak,” lanjutku lalu
meneruskan langkah menuju ruang poli umum di sayap kanan rumah sakit.
“Pagi Buk dokter!” sapa Santi dan
Nurhayati serentak. Santi dan Nurhayati merupakan dua orang perawat yang biasa membantuku melayani pasien yang
datang.
“Selamat pagi!” jawabku tak kalah
ramah.
Kupandangi kedua perawat muda itu. Ada
yang aneh dengan mereka namun kutak tahu apa. Kutatap lekat keduanya.
“Kok Dokter menatap kami seperti itu?”
tanya Nurhayati heran melihat tingkahku.
“Kalian kok belum memakai hazmat” tanyaku mengalihkan.
“Hm… sebentar lagi la Buk dokter.”
“Lho. Poli umum ini sebentar lagi
bukakan? Pasien sudah menunggu di luar. Ayo pakai!” ajakku sambil menyerahkan
seperangkat APD sederhana yang tergelak di meja.
“Gerah Buk. Tak nyaman,” gerutu Santi
sambil mengambil ADP yang aku serahkan.
“Demi keselamatan diri kita dan diri
orang lain, kita wajib pakai!” kataku menegaskan.
“Tapi kita kan hanya di poli umum
Dokter!”
“Memangnya kalian tahu pasien yang
datang tu bebas dari Covid-19? Bagaimanapun juga kita harus berhati-hati dan
melakukan tindakan preventif. Salah satunya dengan memakai pakaian ini.”
“Apa tidak berlebihan Dokter?” kembali
Santi bertanya.
“Tidak. Ini sesuai dengan standar,”
jawabku tegas.
“Tapi…”
“Tak usah pakai tapi-tapian. Kalian
mau mati konyol?” suaraku sedikit memaksa.
“Iya la Buk.” Akhirnya kedua perawat
itu mengikuti apa yang aku katakan.
Segera kubuka seperangkat APD yang
disediakan. Pakaian yang mirip pakian astronot ini disebut juga dengan nama “Hazardous Material Suit” atau Hazmat Suit. Pakaian yang termasuk ke
dalam Alat Pelindung Diri ini terdiri
dari pelindung kepala hingga pelindung kaki. Bentuknya sudah dirancang
sedemikian rupa. Perlengkapan tersebut mempunyai fungsi yang sangat krusial untuk
melindungi dan mengurangi risiko tertular penyakit infeksius. Seperti Covid-19.
Perlahan kupakai baju pelindung diri
yang terbuat dari serat polietilen
tersebut. Kupasang dengan teliti supaya bisa terpasang dengan baik. Kuraih
sarung tangan dari karet sintetis nitrile
dan kusarungkan ke kedua belah tanganku. Terakhir kupasang masker N95 dengan
teliti. Kupastikan mulut dan hidungku tertutup rapat dengan masker berwarna
putih tersebut.
“Ok Buk dokter! Kami sudah siap untuk
beraksi!” kata dua perawat itu serentak. Mereka menirukan gaya upin ipin.
“Hm… ada-ada ada saja kalian,” tukasku
sambil mengajungkan jempul kearah mereka.
“Ayo. Kita laksanakan tugas melayani
pasien – pasien yang datang untuk kontrol dan berobat,” kata Santi dan
Nurhayati dari sampingku. Satu tangan mereka bersidekap di dada. Satu tangan
lagi mengajung ke atas. Kembali kuajungkan jempol ke arah mereka. Lalu kuarahkan
telunjuk ke jam dinding. Kedua perawat itu menganguk. Jam dinding itu sudah
menunjukkan pukul 08.30. Saatnya poli dibuka.
Satu jam berlalu tanpa terasa. Gerah
serta rasa tak nyaman mulai menghantui.
Pakaian ini sungguh menyiksa. Hawa panas yang dihasilkannya membuat
keringat mengalir deras. Dua buah AC 1
PK di ruangan ini ternyata tak bisa mengalahkan hawa panas yang
dihasilkan tubuh kami. Satu demi satu pasien berdatangan. Kami harus
mendengarkan keluhan mereka. Menanyakan gejala–gejala yang mereka rasakan.
Sebagai dokter umum aku berperan dalam
memberikan pencegahan, diagnosis, dan penanganan awal, serta merujuk ke dokter
spesialis jika pasien terseput memerlukan.
Kedua perawatku dengan cekatan
membantu mulai dari menyiapkan
alat–alat, memanggil pasien, mengukur
tekanan darah, memeriksa suhu dan mencatatnya di buku kontrol sampai memberikan
arahan apa yang harus dilakukan pasien selanjutnya. Untung saja hari ini tidak
ada pasien yang bertingkah aneh. Semua baik dan menurut dengan apa yang kami
anjurkan.
“Dokter. Pasien sudah tak ada lagi.
Kami buka baju ini ya!” pinta Nurhayati.
“Pastikan dulu!”
Santi bergegas keluar. Dia melihat ke
ruang tunggu. Tak berapa lama gadis itu sudah kembali.
“Tak ada lagi Buk dokter. Hanya ada
beberapa pasien di depan poli gigi,” katanya meyakinkanku.
“Ya sudah. Bukalah APDnya!”
Sudah seminggu pasien di poli umum
berkurang. Biasanya pasien banyak sehingga terjadi antrian panjang. Bahkan
terkadang sampai jam 14. 30 baru pasien habis. Tapi hari ini hanya beberapa
pasien dan itu pun kebanyakan yang kontrol. Pasien baru hanya ada 1 orang
dengan keluhan sakit perut.
“Alhamdulilah. Laksana terlepas dari
bara api,” teriak Nurhayati lega.
“Hm… Segar!” lanjut Santi.
Kupandangi dua perawat cantik itu.
Mereka kelihatan sangat bahagia. Terbebas dari APD yang sungguh tak yaman
dipakai. Bajunya membuat gerah dan memproduksi keringat berlebih. Sarung tangan
membuat jemari mengerut dan berbekas dipergelangan tangan. Sarung tangan karet
itu harus digonta-ganti sebanyak pasien yang datang. Masker yang berfungsi
untuk menangkis masuknya virus ternyata kalau kelamaan dipakai membuat dada
sesak juga. Tiada yang seindah bernafas secara normal.
“Dokter. Sampai kapan kita seperti
ini?” tanya Santi sambil menatapku meminta jawaban.
“Berdoa sajalah supaya pandemi ini
segera hilang dan ada penemuan untuk melawannya.”
“Ya Dokter. Tersiksa sekali dengan ADP
ini,” lanjut Nurhayati berkeluh kesah.
“Kita
belum seberapa lho Santi. Lihat perawat dan dokter di ruang isolasi. Pakaian
mereka 2 kali lipat pakaian kita. Mereka pakai baju dan celana pelindung,
masker, sarung tangan, kacamata pengaman dan topi headgear. Belum lagi resiko tertular wabah itu lebih tinggi dari
kita disini.” Jelasku membandingkan kondisi di ruang isolasi dengan ruangan
tempat kami bekerja.
“Iya Dokter. Kemaren perawat disana
pada ngeluh. Tersiksa sekali pakain pakaian ini. Namun untuk melindungi diri
dari pasien, mereka harus keukeh
memakainya,” sambung Santi.
“Saat menggunakan APD, baju jubah harus dikencangkan pada bagian
pergelangan tangan, pergelangan kaki, wajah, leher, dan pinggang. Itu yang
menambah ngak nyaman Dokter,” Nurhayati ikut menambahkan.
“Tambah lagi Dokter. Melepas APDnya
juga harus benar. Mereka harus melepas sarung tangan dan jubah tanpa menyentuh
bagian luarnya. karena alat tersebut dianggap telah terkontaminasi. Setelah
mereka melakukan kontak fisik dengan pasien yang terinfeksi. Ribet kan Dokter.”
Santi menambahkan lagi.
“Nah… kalian tahu kegunaan APD.
Mengapa kalian masih mengeluh dan berat memakainya?” tanyaku kepada mereka.
Kedua perawat itu saling pandang.
Tampak mereka malu dengan apa yang telah mereka lakukan tadi.
“ APD yang mereka pakai pun tak seperti yang kita pakai. APD mereka lebih
tebal. Terus Cuma bisa sekali pakai.”
“Iya Dokter.”
Santi dan Nurhayati tersipu.
0 komentar:
Posting Komentar