CERPEN - AKU INGIN KEMBALI

On Senin, 04 Mei 2020 0 komentar








AKU INGIN KEMBALI

PENGARANG : DODI INDRA, S.S
GURU SMP NEGERI BERNAS KABUPATEN PELALAWAN

Hempasan gelombang tak henti – hentinya menerjang bebatuan yang tersusun rapi dipinggir pantai. Buih buih air laut hilang tenggelam. Riuh rendah suara pengunjung pantai yang sedang asyik berenang seakan – akan tidak mau kalah. Burung laut terbang tak henti kesana kemari. Sesekali burung – burung itu menikuk ke air laut lalu terbang dengan lincahnya ke angkasa. Pantai memang indah. Apalagi di sore hari di kala mentari hendak pulang ke peraduannya. Laut yang menyimpan beribu misteri mengulung - gulungkan ombaknya. Ditambah cahaya matahari yang merekah di ufuk barat. Sebentar lagi matahari itu akan tenggelam. Dia akan menyinari belahan bumi yang lain.  Dia akan menggantikan malam yang pekat nan dingin. Begitulah setiap hari. Tak pernah berubah. Siang berganti malam. Pagi berganti sore. Namun, bumi seakan sudah berhenti semenjak aku terhempas. Diterjang gelombang laut dan dihempaskan ke pinggir pantai. Aku tak lagi mampu berenang ketengah. Aku terkubur.
Terpaku ku tatap sang mentari sore. Indah. Tapi sayang, keindahan senja ini tak sedikit pun mampu menentramkan pikiran dan hatiku yang galuna. Kehidupan in telah membuatku pusing. Menjadikan otakku miring. Semuanya berlalu begitu cepat.  Perkembangan telah menggilas dan merenggut duniaku. Aku bingung. Aku tidak tahu harus berbuat apa ditengah – tengah keterpurukkanku. Krisis keuangan yang telah memporakporandakan seluruh sendi – sendi kehidupanku. Usaha yang ku bina bersusah payah hancur. Bangkrut. Bisnisku berantakan. Semua menderita kerugian bahkan menanggung beban utang yang tak sedikit.
Ku langkahkan kaki menelusuri bibir pantai. Sesekali ku sepak sampah botol minuman dihadapanku. Air laut mulai membasahi kakiku yang hanya mengenakan sandal jepit. Ya, sandal jepit. Hanya itulah yang bisa ku pakai untuk saat ini. Aku tak lagi punya sepatu bermerek atau sandal keluaran terakhir seperti dulu. Hm... Seulas senyum hambar tersungging menghiasi bibirku. Aku larut dengan nostalgia masa lalu. Aku laksana terbang dengan kejayaanku tapi tiba – tiba aku terjatuh. Terhempas ke bumi dan sadar dengan dunia ku kini.
Ya. Beberapa bulan yang lalu aku adalah seorang pengusaha muda yang berjaya dalam bisnis. Eksekutif muda. Bisnisku berkembang. Karirku menanjak. Kemana – mana berpakaian bagus, berdasi  serta sepatu mengkilat. Cowok metrosexual. Menggendarai mobil yang harganya ratusan juta rupiah. Tinggal di apartemen mewah. Belanja tidak lagi pakai uang tunai tapi pakai kartu. Entah itu kartu debet maupun kartu kredit. Terkadang belanja on line untuk barang – barang yang belum tentu dibutuhkan. Konsumtif. tak lupa hanphone dan android ditangan yang semakin membuatku pongah dengan kemegahanku. Semua orang kagum padaku. Tua muda memperhatikan gerak gerikku. Gadis – gadis memperebutkan aku. Ibu – ibu ingin mengambilku jadi mantu. Orang tak dikenal pun  ingin jadi saudaraku.
Ku hempaskan pantat tepos ku di balai – balai yang berada tak jauh dari bibir pantai. Di kejauhan terlihat banyak orang dengan berbagai aktivitasnya. Anak muda yang bergurau, becanda sesamanya. Berteriak, terkekeh – kekeh tanpa beban. Seakan – akan sedang mentertawakan kesepianku di tengah keramaian ini. Mereka tetap saja tertawa. Menjalani hidup dengan santainya. Tanpa beban. Ah.... Aku yang gila. Mengapa harus membandingkan mereka dengan kondisiku saat ini. Kembali seulas senyum tipis menghiasi bibir ku yang mulai kering.
“Maaf Bang. Mau pesan apa?” seorang gadis tiba – tiba mengejutkanku.
Aku ingat, dia kan gadis pelayan penjual rujak di sebelah mesjid sana. Dia sering melayani permintaanku dulu saat aku bersantai melepas penat di sela – sela kesibukanku. Menikmati hobiku. Melepas sang mentari yng sekan – akan tenggelam di tengah laut.
“Ngak... Tidak mau pesan apa – apa” jawabku sedikit grogi. Ku berharap gadis itu ingat dengan ku. Semoga dia mengenalku bahwa aku adalah satu pelanggannya dulu.
“Kalau begitu jangan duduk disini bang!”sambungnya berubah sinis. Kontan saja kata - kata itu menohok ku.
“Memangnya kalau duduk disini mesti pesan makanan atau minuman?” tanyaku tidak mau kalah.
“Tentu la. Inikan balai – balai kami. Kami sediakan untuk tamu – tamu kami. Jadi, kalau tidak mau pesan makanan jangan duduk disini!” jawabnya bertambah sinis.
Beberapa detik kemudian aku terdiam. Ku pandangi lagi wajah gadis itu. Aku berharap sekali lagi dia kembali mengenalku. Namun harapan ku sia – sia. Akhirnya ku putuskan untuk beranjak dari tempat duduk itu. Aku yakin gadis itu pura – pura tidak mengenalku lagi. “Dasar tak tahu diri” Rutukku dalam hati. Padahal dulu dia begitu ramahnya padaku. Melayani aku dengan sabar walau terkadang aku banyak tingkah . Namun semua itukan tidak percuma. Bukankah di setiap kunjungan aku selalu memberinya tips yang teramat memuaskan.
Perlahan ku telusuri bibir laut dengan perasaan tak menentu. Hati terluka. Ada sebersit dendam disana. Namun apalah dayaku saat ini. Aku tak mampu membalasnya. Aku hanya bisa meratapi nasip. Meratapi nasip seorang diri.  Disini. Ya. Di alam ini. Di tepi pantai ini. Kembali ku hempaskan pantat kemposku di bebatuan. Aku yakin tak akan ada lagi orang mengusikku. Aku yakin karena batu ini tak ada yang punya. Batuan ini bukan milik para pedagang itu atau milik orang lain. Sekarang batu ini milikku. Entah nanti atau besok aku tak tahu akan menjadi milik siapa lagi. Sesaat lamanya aku merenung, terdiam, menatap gemuruh ombak yang menghempas bibir pantai. Tiada bosan aku menghitung ombak yang menghempas bebatuan. Seiring waktu hari semakin sore. Langit kian temaram dengan sinar – sinar jingganya. Ditengah Luat sana matahari mulai terbenam. Perlahan namun pasti matahari itu tenggelam di telan lautan. Langit makin temaram.
“Allahu Akbar Allahu Akbar!”
Aku tersentak. Kurasakan hembusan angin dingin menerpaku. Hembusan itu menyelusup ke relung hati lalu seakan ada sesuatu yang mengetuk – ngetuk di sana.. Sejenak aku terpana bagaikan orang terbangun dari mimpi panjang. Aku semakin bingung harus melakukan apa dalam keadaan seperti ini. Kurasakan hembusan yang termat indah dan nyaman dirongga dadaku. Kesegaran itu mulai mengalir seiring dengan aliran darahku. Keajaibankan atau mukjizat kah ini? 
Terbuai aku menikmati kenyamanan yang terasa tidak asing ini. Ku coba membalik lembaran – lembaran lama yang mulai terlupa. Rasa ini dulu pernah ada. Rasa ini dulu pernah ada. Iya... perlahan ada bayangan. Bayangan itu makin dekat dan makin jelas. Seorang lelaki remaja tanggung berkopiah hitam. Baju putih berkain sarung. Remaja  itu melambaikan tangannya padaku. Dia memanggilku dan mengajakku untuk pergi. Bingung. Aku bingung antara mau ikut atau menjauh. Dalam keraguan ku iringi langkah remaja tanggung itu. Ku percepat langkah untuk mengejarnya. Aku ingin tahu siapa dia.
“Tunggu....!”
Sosok itu berhenti. Aku mendekat.  Wajah itu. Wajah itu lekat memandangku. Ku tatap dalam – dalam. Wajah itu tak asing lagi bagi ku. Bukankah remaja itu aku.
“Kamu?”
Tersekat suara dikerongkonganku. Sosok itu tiba – tiba mendadahkan tangannya padaku. Perlahan membayang dan menghilang. Aku tersentak. Tersadar dari mimpi yang terasa begitu nyata.
“Dimana aku?”
Tersadar. Aku sudah mendekat ke mesjid. Sosok itu menuntunku kesini. Dari dalam mesjid terdengar lantunan suara imam membaca surat Alfatihah. Sholat ....?. Entah sudah berapa lama kata itu tak lagi ku dengar. Kalau tak salah lima tahun yang lalu. Saat itu aku  terakhir kali sholat Idul Fitri di masjid di kampungku. Itulah sholatku yang terakhir kali. Tapi setelah aku berangkat ke kota ini. Awalnya betapa rajin aku menunaikan 5 waktuku. Namun setealh aku berjaya. Aku sibuk mengurus bisnisku. Aku lupa. Jangankan untyk sholat berdoa pun aku tak sempat.
Astagfirullah. Aku menyadari ke khilafanku. Selama itukah aku melupakan tuhanku. Sedangkan dia tak sedetikpun mau melupakan aku. Ternyata selama ini hatiku telah tertutup. Aku lupa kewajibanku sebagai hamba. Kekayaan dan kesuksesan telah membutakan hati nuraniku, memalingkan wajahku dari Rabb ku. Dia yang menciptakanku.
Bergegas segera ku berlari memasuki halaman  masjid, tergopoh – gopoh. Aku berwudhu dan sholat Maghrib berjamaah. Agak terlambat memang. Namun Alhamdulillah aku masih  dapat dua rakaat terakhir. Rakaat demi rakaat begitu nikmat kurasa. Lantunan ayat dari iman menentramkan ku. Tak pernah aku merasakan setentram ini. Tak ingin aku menyelesai tiga rakaatku. Aku ingin berlama – lama dikenyamanan ini. Tiga rakaatku akhirnya selesai. Kenyamanan itu makin terasa di jiwa. Ada damai di sana.  Aku merasakan ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang aneh yang meresap ke penjuru tubuhku. Menelusuri semua pembuluh darah. Masuk sampai ke relung – relung hatiku. Aku semakin terlena di dalam kebingunganku. Bagai dalam mimpi ku angkat tanganku.
“Ya Allah betapa hinanya aku. Telah sekian lama aku tidak mengingatmu. Ya Rabbi mengapa kau biarkan aku terbuai keindahan duniawi yang semu ini. Mengapa ya Allah... Ya Allah aku mohon ampunanmu atas segala dosa dan khilafku. Ku simpan angkuhku dalam kuasa mu. Ku tumpahkan air mataku dalam dekapanmu. Ya allah ku tundukkan muka  dan hatiku untuk memohon ridho serta hidayahmu. Tunjuki lah aku ya Allah.”   
Lama aku terpaku di dalam penyesalan. Sama - samar terbayang masa kecilku. Masa kanak – kanakku yang ceria di bawah tuntunan agama. Mengaji dan sholat berjamaah di mesjid bersama teman – teman. Aku terkenang Ustadz Kasim guru mengajiku yang baik hati. Ingin rasanya ku ulangi lagi masa – masa itu. Ya, aku ingin mengulanginya. Aku tak mau lagi jauh dariNYA. Aku ingin seperti dulu. Seorang remaja kampung yang rajin ke mesjid. Rajin mengaji dan tadarusan di rumah ustad Kasim. Aku rindu ustad yang penyayang itu. Aku rindu kampung halamanku. Aku rindu bundaku. Aku rindu semua. Aku ingin pulang. Aku ingin kembali merajut mimpi – mimpiku. Menyambung tali kasihku dengan tuhanku.

0 komentar:

Posting Komentar