AKU INGIN KEMBALI
PENGARANG
: DODI INDRA, S.S
GURU
SMP NEGERI BERNAS KABUPATEN PELALAWAN
Hempasan gelombang tak henti – hentinya
menerjang bebatuan yang tersusun rapi dipinggir pantai. Buih buih air laut
hilang tenggelam. Riuh rendah suara pengunjung pantai yang sedang asyik
berenang seakan – akan tidak mau kalah. Burung laut terbang tak henti kesana
kemari. Sesekali burung – burung itu menikuk ke air laut lalu terbang dengan
lincahnya ke angkasa. Pantai memang indah. Apalagi di sore hari di kala mentari
hendak pulang ke peraduannya. Laut yang menyimpan beribu misteri mengulung - gulungkan
ombaknya. Ditambah cahaya matahari yang merekah di ufuk barat. Sebentar lagi
matahari itu akan tenggelam. Dia akan menyinari belahan bumi yang lain. Dia akan menggantikan malam yang pekat nan
dingin. Begitulah setiap hari. Tak pernah berubah. Siang berganti malam. Pagi
berganti sore. Namun, bumi seakan sudah berhenti semenjak aku terhempas.
Diterjang gelombang laut dan dihempaskan ke pinggir pantai. Aku tak lagi mampu
berenang ketengah. Aku terkubur.
Terpaku ku tatap sang mentari sore.
Indah. Tapi sayang, keindahan senja ini tak sedikit pun mampu menentramkan
pikiran dan hatiku yang galuna. Kehidupan in telah membuatku pusing. Menjadikan
otakku miring. Semuanya berlalu begitu cepat. Perkembangan telah menggilas dan merenggut
duniaku. Aku bingung. Aku tidak tahu harus berbuat apa ditengah – tengah
keterpurukkanku. Krisis keuangan yang telah memporakporandakan seluruh sendi –
sendi kehidupanku. Usaha yang ku bina bersusah payah hancur. Bangkrut. Bisnisku
berantakan. Semua menderita kerugian bahkan menanggung beban utang yang tak
sedikit.
Ku langkahkan kaki menelusuri bibir
pantai. Sesekali ku sepak sampah botol minuman dihadapanku. Air laut mulai
membasahi kakiku yang hanya mengenakan sandal jepit. Ya, sandal jepit. Hanya
itulah yang bisa ku pakai untuk saat ini. Aku tak lagi punya sepatu bermerek
atau sandal keluaran terakhir seperti dulu. Hm... Seulas senyum hambar tersungging
menghiasi bibirku. Aku larut dengan nostalgia masa lalu. Aku laksana terbang
dengan kejayaanku tapi tiba – tiba aku terjatuh. Terhempas ke bumi dan sadar
dengan dunia ku kini.
Ya. Beberapa bulan yang lalu aku adalah
seorang pengusaha muda yang berjaya dalam bisnis. Eksekutif muda. Bisnisku
berkembang. Karirku menanjak. Kemana – mana berpakaian bagus, berdasi serta sepatu mengkilat. Cowok metrosexual. Menggendarai
mobil yang harganya ratusan juta rupiah. Tinggal di apartemen mewah. Belanja
tidak lagi pakai uang tunai tapi pakai kartu. Entah itu kartu debet maupun
kartu kredit. Terkadang belanja on line untuk barang – barang yang belum tentu
dibutuhkan. Konsumtif. tak lupa hanphone dan android ditangan yang semakin
membuatku pongah dengan kemegahanku. Semua orang kagum padaku. Tua muda
memperhatikan gerak gerikku. Gadis – gadis memperebutkan aku. Ibu – ibu ingin
mengambilku jadi mantu. Orang tak dikenal pun
ingin jadi saudaraku.
Ku hempaskan pantat tepos ku di balai –
balai yang berada tak jauh dari bibir pantai. Di kejauhan terlihat banyak orang
dengan berbagai aktivitasnya. Anak muda yang bergurau, becanda sesamanya.
Berteriak, terkekeh – kekeh tanpa beban. Seakan – akan sedang mentertawakan
kesepianku di tengah keramaian ini. Mereka tetap saja tertawa. Menjalani hidup
dengan santainya. Tanpa beban. Ah.... Aku yang gila. Mengapa harus
membandingkan mereka dengan kondisiku saat ini. Kembali seulas senyum tipis
menghiasi bibir ku yang mulai kering.
“Maaf Bang. Mau pesan apa?” seorang gadis
tiba – tiba mengejutkanku.
Aku
ingat, dia kan gadis pelayan penjual rujak di sebelah mesjid sana. Dia sering
melayani permintaanku dulu saat aku bersantai melepas penat di sela – sela
kesibukanku. Menikmati hobiku. Melepas sang mentari yng sekan – akan tenggelam
di tengah laut.
“Ngak... Tidak mau pesan apa – apa”
jawabku sedikit grogi. Ku berharap gadis itu ingat dengan ku. Semoga dia
mengenalku bahwa aku adalah satu pelanggannya dulu.
“Kalau begitu jangan duduk disini
bang!”sambungnya berubah sinis. Kontan saja kata - kata itu menohok ku.
“Memangnya kalau duduk disini mesti pesan
makanan atau minuman?” tanyaku tidak mau kalah.
“Tentu la. Inikan balai – balai kami.
Kami sediakan untuk tamu – tamu kami. Jadi, kalau tidak mau pesan makanan
jangan duduk disini!” jawabnya bertambah sinis.
Beberapa detik kemudian aku terdiam. Ku
pandangi lagi wajah gadis itu. Aku berharap sekali lagi dia kembali mengenalku.
Namun harapan ku sia – sia. Akhirnya ku putuskan untuk beranjak dari tempat
duduk itu. Aku yakin gadis itu pura – pura tidak mengenalku lagi. “Dasar tak
tahu diri” Rutukku dalam hati. Padahal dulu dia begitu ramahnya padaku.
Melayani aku dengan sabar walau terkadang aku banyak tingkah . Namun semua itukan
tidak percuma. Bukankah di setiap kunjungan aku selalu memberinya tips yang teramat
memuaskan.
Perlahan ku telusuri bibir laut dengan
perasaan tak menentu. Hati terluka. Ada sebersit dendam disana. Namun apalah
dayaku saat ini. Aku tak mampu membalasnya. Aku hanya bisa meratapi nasip.
Meratapi nasip seorang diri. Disini. Ya.
Di alam ini. Di tepi pantai ini. Kembali ku hempaskan pantat kemposku di
bebatuan. Aku yakin tak akan ada lagi orang mengusikku. Aku yakin karena batu
ini tak ada yang punya. Batuan ini bukan milik para pedagang itu atau milik
orang lain. Sekarang batu ini milikku. Entah nanti atau besok aku tak tahu akan
menjadi milik siapa lagi. Sesaat lamanya aku merenung, terdiam, menatap gemuruh
ombak yang menghempas bibir pantai. Tiada bosan aku menghitung ombak yang
menghempas bebatuan. Seiring waktu hari semakin sore. Langit kian temaram
dengan sinar – sinar jingganya. Ditengah Luat sana matahari mulai terbenam.
Perlahan namun pasti matahari itu tenggelam di telan lautan. Langit makin
temaram.
“Allahu Akbar Allahu Akbar!”
Aku tersentak. Kurasakan hembusan angin
dingin menerpaku. Hembusan itu menyelusup ke relung hati lalu seakan ada
sesuatu yang mengetuk – ngetuk di sana.. Sejenak aku terpana bagaikan orang
terbangun dari mimpi panjang. Aku semakin bingung harus melakukan apa dalam
keadaan seperti ini. Kurasakan hembusan yang termat indah dan nyaman dirongga
dadaku. Kesegaran itu mulai mengalir seiring dengan aliran darahku.
Keajaibankan atau mukjizat kah ini?
Terbuai aku menikmati kenyamanan yang
terasa tidak asing ini. Ku coba membalik lembaran – lembaran lama yang mulai
terlupa. Rasa ini dulu pernah ada. Rasa ini dulu pernah ada. Iya... perlahan
ada bayangan. Bayangan itu makin dekat dan makin jelas. Seorang lelaki remaja
tanggung berkopiah hitam. Baju putih berkain sarung. Remaja itu melambaikan tangannya padaku. Dia
memanggilku dan mengajakku untuk pergi. Bingung. Aku bingung antara mau ikut
atau menjauh. Dalam keraguan ku iringi langkah remaja tanggung itu. Ku percepat
langkah untuk mengejarnya. Aku ingin tahu siapa dia.
“Tunggu....!”
Sosok itu berhenti. Aku mendekat. Wajah itu. Wajah itu lekat memandangku. Ku
tatap dalam – dalam. Wajah itu tak asing lagi bagi ku. Bukankah remaja itu aku.
“Kamu?”
Tersekat suara dikerongkonganku. Sosok
itu tiba – tiba mendadahkan tangannya padaku. Perlahan membayang dan
menghilang. Aku tersentak. Tersadar dari mimpi yang terasa begitu nyata.
“Dimana aku?”
Tersadar. Aku sudah mendekat ke mesjid. Sosok
itu menuntunku kesini. Dari dalam mesjid terdengar lantunan suara imam membaca
surat Alfatihah. Sholat ....?. Entah sudah berapa lama kata itu tak lagi ku
dengar. Kalau tak salah lima tahun yang lalu. Saat itu aku terakhir kali sholat Idul Fitri di masjid di
kampungku. Itulah sholatku yang terakhir kali. Tapi setelah aku berangkat ke
kota ini. Awalnya betapa rajin aku menunaikan 5 waktuku. Namun setealh aku
berjaya. Aku sibuk mengurus bisnisku. Aku lupa. Jangankan untyk sholat berdoa
pun aku tak sempat.
Astagfirullah. Aku menyadari ke
khilafanku. Selama itukah aku melupakan tuhanku. Sedangkan dia tak sedetikpun
mau melupakan aku. Ternyata selama ini hatiku telah tertutup. Aku lupa
kewajibanku sebagai hamba. Kekayaan dan kesuksesan telah membutakan hati nuraniku,
memalingkan wajahku dari Rabb ku. Dia yang menciptakanku.
Bergegas segera ku berlari memasuki
halaman masjid, tergopoh – gopoh. Aku
berwudhu dan sholat Maghrib berjamaah. Agak terlambat memang. Namun
Alhamdulillah aku masih dapat dua rakaat
terakhir. Rakaat demi rakaat begitu nikmat kurasa. Lantunan ayat dari iman
menentramkan ku. Tak pernah aku merasakan setentram ini. Tak ingin aku menyelesai
tiga rakaatku. Aku ingin berlama – lama dikenyamanan ini. Tiga rakaatku
akhirnya selesai. Kenyamanan itu makin terasa di jiwa. Ada damai di sana. Aku merasakan ada sesuatu yang lain. Sesuatu
yang aneh yang meresap ke penjuru tubuhku. Menelusuri semua pembuluh darah.
Masuk sampai ke relung – relung hatiku. Aku semakin terlena di dalam kebingunganku.
Bagai dalam mimpi ku angkat tanganku.
“Ya Allah betapa hinanya aku. Telah
sekian lama aku tidak mengingatmu. Ya Rabbi mengapa kau biarkan aku terbuai
keindahan duniawi yang semu ini. Mengapa ya Allah... Ya Allah aku mohon
ampunanmu atas segala dosa dan khilafku. Ku simpan angkuhku dalam kuasa mu. Ku
tumpahkan air mataku dalam dekapanmu. Ya allah ku tundukkan muka dan hatiku untuk memohon ridho serta
hidayahmu. Tunjuki lah aku ya Allah.”
Lama aku terpaku di dalam penyesalan. Sama
- samar terbayang masa kecilku. Masa kanak – kanakku yang ceria di bawah
tuntunan agama. Mengaji dan sholat berjamaah di mesjid bersama teman – teman. Aku
terkenang Ustadz Kasim guru mengajiku yang baik hati. Ingin rasanya ku ulangi
lagi masa – masa itu. Ya, aku ingin mengulanginya. Aku tak mau lagi jauh
dariNYA. Aku ingin seperti dulu. Seorang remaja kampung yang rajin ke mesjid.
Rajin mengaji dan tadarusan di rumah ustad Kasim. Aku rindu ustad yang
penyayang itu. Aku rindu kampung halamanku. Aku rindu bundaku. Aku rindu semua.
Aku ingin pulang. Aku ingin kembali merajut mimpi – mimpiku. Menyambung tali
kasihku dengan tuhanku.
0 komentar:
Posting Komentar