REZEKI
TAK BERPINTU
DODI INDRA.S.S
GURU SMP NEGERI BERNAS
Matahari sudah mulai condong kearah
barat. Azan Zuhur sebentar lagi akan berkumandang. Dari tadi pagi kami
sekeluarga mengemasi barang-barang bekas yang menumpuk di sudut dapur. Bukan
hanya sekedar merapikan dapur tapi barang–barang bekas ini dapat menghasilkan
uang dan aku yakin walau jumlahnya tidak seberapa akan dapat menyambung hidup
kami berempat beberapa hari ke depan.
Botol bekas, kardus dan karton, kertas
bekas, plastik, dan alat rumah yang sudah rusak diangkut keluar. Dua anak
laki-lakiku, Fahri dan Rival, bertugas membawa barang rongsokan itu ke halaman
samping rumah kami. Sementara itu Santi, anak perempuan yang kini sudah
menginjak masa remaja, memilih barang yang bisa dijual lagi dan mana yang
tidak. Raut sedih dan kecapekan tak bisa disembunyikan dari wajah–wajah lugu
mereka.
Kupandangi buah hatiku itu satu
persatu. Bulir-bulir keringat mengalir membasahi tubuh mereka. Santi dengan
cekatan memisahkan barang plastik dan kaleng yang dibawa kedua adiknya. Anak
gadisku itu tidak memperdulikan sinar matahari yang menyengat kulitnya. Dia
bekerja tanpa suara sedikitpun. Fahri dan Rival hilir mudik dari dapur ke
halaman samping. Mereka saling kejar-kejaran. Sesekali Fahri memotong jalan
adiknya Rival yang mulai lambat. Terimaksih ya Allah. Betapa beruntungya aku.
Punya 3 orang anak yang selalu mengerti dengan kondisi orang tuanya. Mereka
selalu menurut apa yang aku katakan. Membantu pekerjaan ku walau tanpa ku minta
sekalipun.
“Mak…! Adek lapar!” ucap lirih anakku
Rival. Sibungsu itu tiba – tiba sudah berada di sisiku tanpa kusadari. Aku
terhenyak. Ucapan Rival laksana sembilu mengiris jantungku. Perih merintih.
“Iya Nak. Sebentar ya!” bujukku sambil
mengusap kepalanya yang basah oleh keringat.
Santi menghentikan kerjanya. Dia
berjalan ke dalam rumah. Tidak berapa lama dia kembali. Wajahnya pucat. Pucat
bukan karena sakit ataupun ketakutan. Aku yakin pucat itu karena perutnya
lapar.
“Bu…? Kita tak ada beras lagi kah?” Si
sulung menghampiriku.
“Coba lihat di tempat biasa ibu
menyimpam beras!” jawabku. Aku tahu betul tak sebutir beras pun lagi tersisa
dalam ember cat bekas itu. Namun untuk sekedar menjawab pertanyaan Santi,
terpaksa kalimat itu aku ucapkan.
“Tadi sudah Santi lihat Bu! Tapi
kosong. Tak ada lagi berasnya!” jawab Santi
menyakinkanku.
Aku segera menghentikan kerjaku
mengikat kardus–kardus bekas yang dari tadi kukumpulkan. Aku tak tahu harus
berbuat apa. Percuma saja aku kedalam rumah berpura pura melihat ember beras.
Namun aku harus menenangkan ketiga anakku yang kini sedang kelaparan. Sudah
dari kemarin kami tidak makan nasi. Tadi malam pun sebelum tidur aku hanya bisa
membelikan mereka sepotong singkong goreng. Sekedar pengganjal perut. Tapi
rupanya sepotong goreng singkong tak mampu menunda rasa lapar terlalu lama.
Kembali rasa lapar itu datang. Apalagi anak-anakku yang dalam masa pertumbuhan.
Mereka membutuhkan asupan makanan yang cukup untuk perkembangan mereka. Tapi
bagaimana mungkin aku memenuhinya.
Aku hanya pedagang kecil di sebuah SD
di kampungku. Sudah satu bulan lebih aku tak jualan lagi. Sekolah diliburkan
karena wabah corona yang kini melanda. Otomatis mata pencarianku terhenti. Itu
artinya sudah sebulan juga tak ada lagi pemasukan. Tabungan yang kusimpan
sedikit demi sedikit dari sisa kebutuhan sehari-hari selama ini sudah tak ada
lagi. Tak ada lagi yang bisa dijadikan
uang untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari kami.
Untung saja aku sedikit rajin
mengumpulkan barang-barang bekas dari jualanku. Semuanya kutumpuk begitu saja
di sudut dapur. Pagi tadi muncul niatku untuk menjualnya. Kupandu ketiga anakku
untuk mengemasnya. Semoga saja dapat menghasilkan uang untuk membeli beras dan
lauk seadanya.
Ketiga anakku menatapku lekat. Mereka
berharap ada sedikit makanan untuk mengganjal perut mereka setelah sholat Zuhur
nanti. Hatiku terisris melihat tatapan mereka. Begitu dasyatnya virus corona
melanda kehidupan kami. Bukan virusnya yang menyerang tubuh kami tapi dampaknya
yang membuat kami porak poranda. Apa yang bisa kami lakukan. Satu-satunya
usahaku berhenti total seiring dengan kebijakan libur sekolah.
“Makan apa kita Mak?” Fahri bertanya
lembut. Bola matanya menuntutku untuk menjawab.
“Jangan bertanya lagi. Selesaikan saja
kerja kita ini. Jangan buat Emak kepikiran” jawab Santi menenangkan adiknya.
“Sabar ya Nak! Ayo kita selesaikan
mengemas barang – barang ini! Lalu kita panggil pak Ardi. Barang-barang ini
akan menghasilkan uang. Setelah itu baru kita beli makanan,” kataku.
Segera kuselesaikan kerja yang tadi
kutinggalkan. Tadi pagi pak Ardi sudah kuhubungi dan beliau bersedia membeli
barang bekas kami. Pak Ardi merupakan pengumpul barang bekas di kampungku.
Banyak pemulung yang menjual hasil pulungan mereka ke pak Ardi.
“Sudah Mak! Tak ada lagi! Sudah bersih
semua” kata Rival.
“Ya Mak. Dapur pun sudah kami rapikan.
Sudah lapang dapur kita sekarang” tambah Fahri.
“Terimakasih ya,” jawabku bahagia.
“Santi. Masukkan botol-botol ini kedalam karung ya!”
“Ya Mak.”
“Rival. Masukkan kertas dan koran
bekas ini ke dalam kardus besar itu ya! O..iya. kertas dan korannya jangan
dicampur ya!”
“Oke Mak!” jawan Rival sambil
mengajungkan jempolnya.
“Fahri bantu Emak angkat barang yang
sudah diikat ini ke situ” ucapku sambil menunjuk kearah dinding rumah.
“Iya Mak.”
Fahri segera membantuku menyusun barang-barang
yang sudah dipilah-pilah tersebut keteras rumah. Semuanya kami susun disana.
Sehingga pak Ardi akan mudah mengambilnya.
“Baik. Semua sudah beres. Kalian mandi
dulu sana ya. Sebentar lagi Azan Zuhur. Kalian Sholat ya Nak?” perintahku.
“Emak mau kemana?” tanya si sulung.
“Emak pergi kerumah pak Ardi. Tadi
beliau pesan akan mengambil barang ini sebelum Zuhur.”
“Mak. Rival ikut boleh?” pinta si
bungsu.
“O… Rival mau ikut? Boleh. Tapi jalan
sendiri ya! Mak tak kuat mengendong Rival” kataku memberi syarat.
“Asyik… Boleh ikut…!” teriak Rival
bahagia.
“Assalamualaikum.”
Terdengar suara salam dari depan.
Rival berlari kearah sumber suara tanpa dikomando. Tak berapa lama kemudian dia
muncul. Dibelakangnya dua orang lelaki mengikuti.
“Mak… Wak Ardi sudah datang…!” teriak
Rival mendekatiku.
“Waalaikumsalam. Pak Ardi?”
“Hm… Sudah dikemas rupanya.,” ucap pak
Ardi tersenyum.
“Kerjanya anak-anak Pak,” jawabku
sekenanya.
“Wah, kalau sudah disusun seperti ini
kita tinggak angkat nih” kata pak Ardi sambil menyikut lelaki muda
disampingnya.
“Iya Pak. Rapi kali kerjanya mak Siti
ni!” sambung si lelaki muda.
“Hm… Banyak juga ya Mak?”
“Lumayan Pak. Kami juga tak nyangka
sebanyak ini”
“Kalo begitu saya angkat dulu ya.
Nanti timbangnya di rumah saya saja. Tak cukup timbangan yang saya bawa,”
“O… Tidak apa-apa Pak,” jawabku pelan.
“Oke. Silakan diangkat ke mobil!”
perintah pak Ardi pada lelaki muda yang berdiri disampingnya itu.
Dibawa dulu. Itu artinya uang yang
kami rindukan tak akan langsung di dapat saat ini juga. Apa alas an yang akan
kukatakan pada anak-anakku nanti. Terbayang wajah kecewa anak-anakku di pelupuk
mata. Akan bertambah lama rasa lapar yang mereka tanggung untuk hari ini. Itu
pun kalau uang hasil barang bekas ini diantar langsung. Bagaimana kalau besok
atau besoknya lagi. Tak terperi sedih hatiku. Akankah kami perpanjang menahan
lapar ini. Kasihan anak-anakku. Mereka pasti tak kuat lagi.
“Ya Allah. Tolonglah hambamu ini!”
bisikku pilu.
“Oya… Mana anak – anak Mak tadi?”
suara pak Ardi membuyarkan pikiranku.
“O… O… mereka ada di dalam. Ada apa
Pak?” tanyaku penasaran. Ada apa gerangan. Mengapa pak Ardi menanyakan anak-anakku.
“Bisa dipanggilkan Mak?” pinta pak
Ardi.
“Bisa Pak.” Jawabku. Namun rasa
penasaran membuatku mengurungkan niat untuk memanggil ketiga anakku itu.
“Maaf Pak. Untuk apa Bapak panggil
mereka. Apa mereka ada salah dengan Bapak. Saya minta maaf Pak,” kataku. Aku
takut ketiga atau salah satu anakku telah berbuat salah pada pak Ardi.
“O… Tidak Mak. Anak Mak baik- baik
semua kok. Aku tahu betul anak-anak Mak itu. Mereka patuh dan sopan,” jelas pak
Ardi. Kata-kata pak Ardi membuat kekhawatiranku hilang seketika.
“Dulu sewaktu almarhum masih hidup.
Beliau sering mengajak bocah-bocah itu ke rumah. Suami Mak itu masih kerabat
saya. Akhir-akhir ini saja mereka tak ada lagi kesana.” tambah pak Ardi.
Memang benar, Suamiku dan pak Ardi
berteman akrab meskipun usia pak Ardi lebih muda dari usia suamiku. Apalagi
mereka berasal dari kampung yang sama. Namun semenjak suamiku meninggal dunia 8
bulan yang lalu, tak pernah lagi anak-anakku main ketempat mereka.
“Bisa panggil mereka Mak!” Kembali
suara pak Ardi mengejutkanku.
“Bisa… bisa Pak. Tunggu sebentar ya!,”
kataku sedikit terbata.
Aku segera beranjak ke dalam rumah.
Kudapati ketiga anakku sudah rapi. Mereka selesai mandi dan bersiap-siap
menjalankan sholat Zuhur. Tak berapa lama aku dan ketiga buah hatiku sudah
kembali ke halaman samping tempat pak Ardi menunggu.
“Santi, Fahri, dan Rival. Dua hari
lagi kita akan puasa Ramadhan bukan?” pak Ardi mulai membuka pembicaraan.
“Iya Wak.” Jawab ketiga anakku
serentak.
“Kalian puasa ya! Jangan ada yang
bolong!”
“Insya Allah Wak.” Kembali mereka
menjawab serempak.
“Nah. Ini ada sedikit dari Wak! Semoga bisa bermanfaat dan dapat
membantu kalian.” Ucap Pak Ardi.
“Terimalah!” sambung lelaki paruh baya
itu. Dia menyerahkan amplop putih ke tangan Santi.
“Apa ini Wak?” tanya Santi polos.
“Hm… Ini. Biasa tiap tahun sebelum
puasa Ramadhan, Wak mengeluarkan zakat dari rezeki yang Wak dapat. Nah ini ada
sedekit untuk kalian bertiga. Wak berharap kalian mau menerimanya!”
Santi memandangku. Dia ragu untuk
menerimanya. Fahri dan Rival ikut-ikutan memandangku. Terpampang raut wajah
bahagia dari wajah-wajah polos mereka. Aku mengangguk. Ada hembusan angin yang teramat segar
kurasakan. Kaki dan tanganku gemetar. Baru kali ini aku merasakan hal ini.
“Terima kasih Wak” ucap Santi.
Santi menyalami dan mengangkat tangan
pak Ardi ke keningnya. Perbuatan Santi diikuti kedua adiknya. Wajah mereka
berbinar bahagia. Belum selesai Fahri dan Rival menyalami pak Ardi sudah
terdengar kumandang azan Zuhur.
“Wak. Kami sholat dulu ya! Terima kasih
banyak.” Ketika anakku kembali masuk ke dalam rumah.
“Sama-sama.” Jawan pak Ardi. “Baiklah
Mak. Barang-barang ini saya bawa dulu ya! Saya akan timbang! Emak mau ikut
menimbangnya?”
“Tidak usah Pak. Saya percayakan saja
pada pak Ardi”
“Iyalah kalau begitu. Selesai saya
timbang, segera uangnya saya antar ke sini”
“Iya…” jawabku pendek.
“Baik Mak. Saya permisi.
Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam”
Aku tak bisa berkata apa. Ada secercah
harapan muncul. Hatiku diliputi kebahagian. Bergegas kumasuk ke dalam rumah.
Kulihat amplop putih dari pak Ardi tergeletak di atas meja. Amplop itu masih
utuh. Aku yakin anak-anakku pasti tak akan membukanya sebelum aku suruh. Memang
itulah yang telah aku dan almarhum suamiku ajarkan selama ini. Untuk selalu
meminta izin dalam melakukan sesuatu. Kuraih amplop itu. Perlahan kubuka.
Beberapa lembar uang berwarna merah terdapat di dalamnya. Alhamdulillah.
Terimakasih ya Allah. Air mataku menetes, aku tak tahu apakah air mata itu
pertanda aku bahagia atau sedih. Namun yang pasti beberapa hari kedepan anakku
tak akan kelaparan lagi.
Pangkalan Kerinci, 22 April 2020
REZEKI
VS COVID 19
DODI INDRA,S.S
GURU SMP NEGERI BERNAS
Rembulan sudah mulai merangkak naik. Kegelapan malam
makin kian pekat. Jalanan yang biasanya ramai kini terlihat sangat sepi. Hanya
beberapa kendaraan yang melintas. Tidak ada lagi anak–anak main di depan
rumahnya. Semua pintu sudah terkunci rapat. Yono tetap mengayuh sepeda
gerobaknya. Sesekali dia meneriakkan dagangannya.
“Sate… Sate… Sate daging. Sate ayam”
Penuh semangat dia mengenjot sepeda
gerobak. Dia masuk jalan – jalan ramai penduduk. Masuk area perumahan dan gang
– gang padat. Namun dari jam 4 sore tadi dia berangkat, belum seberapa pembeli
yang memanggilnya. Karta melihat daging sate yang telah ditusuk-tusuk masih menumpuk.
Kuah sate dalam periuk pun masih banyak.
Lontong bungkus daun kelapa pun masih menjuntai banyak di tiang gerobak.
“Sudah jam 10. Daganganku masih
banyak”
Yono bicara sendiri. Dia menghentikan
genjotannya. Yono memandang berkeliling. Tak satu pun manusia dia lihat di sana.
Perumahan ini biasanya ramai. Tapi hari ini seperti mati. Tak ada suara yang
terdengar. Dipandangnya rumah bercat biru dihadapannya. Rumah pak Iddadi.
Pelanggan tetapnya. Namun hari ini beliau tak nampak. Rumah beliau juga
tertutup rapat seperti rumah-rumah lainnya.
Yono memutuskan untuk kembali mengayuh
sepeda gerobaknya. Dia memutar arah menuju jalan pulang.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam. Sudah pulang Pak?”
“Sepi Buk.”
“Sepi?”
“Iya. Tak ada manusia di luar”
“Pada takut keluar rumah kali Pak.”
“Iya. Apalagi PSBB sudah mulai diberlakukan Buk. Tak ada
lagi orang keluar rumah.”
“Takut tertular corona Pak.”
“Hm... Kalau begini terus, dagangan
kita tak laku Buk.”
“Iya Pak.”
“Jangankan untung, malah rugi kita
Buk.”
“Bagaimana kalau bapak berhenti dulu
jualan sate kelilingnya?”
“Berhenti? Maksud Ibuk?”
“Ya. untuk sementara Bapak tak jualan
dulu.”
Yono menarik nafasnya dalam–dalam. Dia
memikirkan kata-kata istrinya barusan.
Untuk sementara dia berhenti jualan. Itu artinya tak ada pemasukan. Kalau tak
ada pemasukan dengan apa kebutuhan sehari – hari dia penuhi. Selama ini dia
menutupi kebutuhan rumah tangga dengan jualan sate keliling. Dari usahanya itu adalah untung
sedikit–sedikit untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari hari. Tapi sudah hampir
sebulan ini jualannnya tak lagi laris. Jangankan untung, modalpun tak balik.
Yono kembali menatap istrinya tajam.
Ada keyakinan terpancar dari kedua bola mata istrinya. Namun dia masih ragu
dengan anjuran itu.
“Trus. Kita makan apa Buk?”
“Sabar Pak!”
“Mana bisa kita makan sabar Buk!”
“Bapak!. Bukan itu maksud ibu?”
“Terus?”
“Kita harus sabar dan tawakal Pak!”
“Rezeki harus dikejar. Kalau kita
berdiam diri saja tak akanlah rezeki itu datang sendirinya.”
“Ibuk mengerti kok Pak. Bapak bisa
tetap jualan di rumah.”
“Jualan di rumah?”
“Iya” kata istrinya sambil menganggukan
kepala.
“Mana ada yang beli Buk. Bapak jualan
keliling saja tak ada yang beli, apa lagi hanya berdiam diri di rumah?”
“Ada, Ibuk yakin pasti ada yang beli.”
“Hm….”
“Rezeki tak akan kemana. Pasti ada
rezeki untuk kita. Biar pembeli saja yang datang kesini Pak!”
“Apa ada Buk?”
“Insya Allah ada Pak. Kita usaha dan
berdoa. Allah pasti mengabulkan doa kita Pak.”
“Hm…”
“Lagian Pak. Terlalu beresiko kalau
Bapak masih jualan keliling. Di luar sana wabah corona mengintai Pak. Kita tak bisa membedakan siapa yang sudah
kena dengan yang belum. Ibuk takut Bapak
kena penyakit corona itu Pak.”
Kembali Yono mencerna setiap kalimat
yang keluar dari mulut istrinya. Benar juga. Di luar sana dia menemui banyak
orang. Mereka saling bertegur sapa. Dia menerima uang dari orang orang yang
membeli satenya. Bukankah penularan corona bisa melalui uang yang dipegang oleh
orang yang terinfeksi corona. Keraguannya makin bertambah.
“Benar juga Buk. Mulai besok bapak jualan di depan rumah kita
saja.”
“Iya Pak.”
“Tapi Buk. Kalau memang sudah
takdirnya kena corona, bagaimanapun juga kita menghindar akan kena juga Buk.”
“Ya Allah Pak. Bapak kok berpikiran
begitu?”
“Hm….”
“Agama kita menganjurkan untuk
berserah diri. Tawakal. Namun kita juga harus berusaha Pak. Jangan tawakal saja
tanpa berusaha menghindarinya!”
“Iya.”
“Kita bisa menekan penularan corona
itu dengan menjaga diri kita Pak. Kita jaga jarak. Tidak keluar rumah. Pakai
masker jika keluar rumah. Tidak
bersentuhan dengan orang lain.”
“Bapak tahu itu Buk”
“Nah, kalau Bapak tahu, kok Bapak
masih ragu?”
“Bapak tak ragu… Cuma… Cuma khawatir
Buk.”
“Ibuk lebih khawatir lagi Pak?”
“Khawatir?”
“Iya. Khawatir Bapak ditangkap polisi
atau satpol PP.”
“Kok bisa ditangkap pula?”
“Bapak. Siapa yang masih keluar rumah
tanpa kepentingan yang jelas bakalan ditangkap. Apa lagi Bapak keluar jualan.
Ya pasti ditangkap la Pak?”
“Bapak jualan Buk!”
“Apapun itu. Bapak dilarang jualan
Pak.”
“Ya kalau tak jualan, mau makan apa
Buk?”
“Bapak mau kena corona?”
“Tidak lah.”
“Kalau tidak. Ikuti anjuran
pemerintah.”
“Wah. Rupanya Ibuk dah jadi corong pemerintah
pula.”
“Bapak!. Bukan corong pemerintah.
Corong kebaikan Bapak! Bapak pahamkan?”
“Ya.. Bapak paham! Bapak mau istrahat dulu”
“Terus… sate – sate ini bagaimana Pak?
Masih banyak”
“Ibuk bagi-bagi saja sama tetangga Buk. Allah sudah takdirkan sate–sate itu jadi
rezeki tetangga kita malam ini”
“Baiklah Pak. Ibuk bungkus dulu ya!
Nanti biar mudah membagikannya sama tetangga.”
“Ya Buk. Terserah Ibuk saja.”
Yono segera beranjak kedalam. Hatinya
plong meskipun kekwatiran masih menghantuinya.
“Oya Pak. Uang untuk belanja bahan
esok hari mana?” pinta istrinya. Dia biasanya pagi-pagi subuh sudah berangkat
ke pasar berbelanja semua bahan untuk jualan sate.
“Hanya segini Buk.” Yono menyerahkan
beberapa lembar lima ribuan ke tangan istrinya.
“Segini? Mana cukup Pak?”
“Hm…” Yono hanya bisa menarik nafas
dalam sambil mengangkat kedua bahunya.
Pangkalan Kerinci, 23 Maret 2020
Indonesia Milik Kita Bersama
Penyair : Dodi Indra
Kami teriris melihat Indonesia menangis
Kami merinding mendengar pejabat korupsi
Kami ketakutan menyaksikan tingkah para teroris
Kami ngeri memandang korban penganiayaan
pedofili
Kemana kami harus sembunyi?
Kemana arah untuk kami terus berlari?
Dimana lagi tempat sunyi nan sepi?
Dimana kah tempat aman tuk ditinggali?
Bukan kami menjauh melarikan diri
Negeri ini sudah tak aman lagi ditempati
Tuan....
Mengapa hanya derita yang menjelma
Mengapa hidup tak seindah telenovela
Kesenjangan nestapa rakyat jelata yang kini
menggema
Menjerit iba dilorong lorong kota hingga ke
desa
Tuan ...
Mengapa yang kaya semakin sejahtera
Yang berkuasa semakin berjaya
Mengapa kami ditindas dianiaya
Dikebiri pikiran asa dan karsa
Tuan....
Kami juga rakyat Indonesia
Kami punya tanggung jawab membangun membela negara
Kami juga punya hak dan berkesempatan hidup bahagia
Merasakan kemerdekaan dengan segala daya upaya
Walau kami bermimpi tapi tuan akan buatnya
jadi nyata
Seperti janji janji tuan saat kampanye pilkada
Tuan...
Izinkan kami mengecap indahnya hidup di
Indonesia
Negeri kami tumpah darah bumi persada
Karena kami tahu tuan
Indonesia milik kita bersama
MBAK LENA HAMIL...!
PENGARANG : DODI INDRA, S.S
GURU SMP NEGERI BERNAS
KABUPATEN PELALAWAN
“Apa...?”
“Mbak
Lena hamil? Jeritku begitu mendengar mbak Surti, teman akrab mbak Lena
mengatakan bahwasanya kakak tercintaku hamil.
“Betul
ni Mbak?” tanyaku tak percaya.
“Betul.
Masa Mbak bohong. Emangnya dik Dinda belum tahu?” katanya lagi.
Ku
tatap wanita berjilbab yang ada didepanku itu tanpa bergeming. Ku cari – cari
isyarat kebohongan dimatanya namun tak ku temukan. Matanya memancarkan kepolosan
dan kejujuran.
“Hm...
Beraninya dia mengatakan kakak ku hamil” Gumamku mulai kesal.
“Lho..
kok memandang Mbak kayak gitu?... Ada yang aneh ya?” ujarnya lagi. Kemudian dia
sibuk membetulkan jilbabnya yang kurasa sudah pas letaknya itu. Dari gerak – geriknya
ku melihat dia kebingungan. Kebingungan entah kerana apa.
“Mbak
dapat dari mana berita itu? Tanyaku meyelidik.
“Ya...
Tahu dari sikap mbak mu itu”
“Ah...
itu namanya bohong. Datanya ngak valid. Yang pastidonk” Ucapku tak terpengaruh
dengan katanya barusan.
“Betul.
Coba dek Dinda lihat pakaiannya, cara jalannya. Ya.. pokoknya apa saja deh. Nah
dari situkan kelihatan kalo kakakmu yang manis itu lagi hamil”
“Pakaiannya?.
Emang ada apa dengan pakaiannya Mbak?”
“Ya.
Kamu perhatikan saja”
“Mbak
jangan asal bicara. Bisa – bisa jatuh ke fitnah” Ucapku keras.
“Lah
kalau ngak percaya ya udah. Mbak Cuma ngasih tahu. Nanti kalo dah lahir keponakanmu,
kamu jangan kaget ya” katanya sambil berdiri.
“Eh...
Tunggu Mbak. Mbak seriuskan?”
“Ya. Serius. Dua rius malah”
“Ya. Serius. Dua rius malah”
“Lalu
Mbak... Siapa yang menghamilinya?”
Kembali
mbak Surti duduk ditempatnya semula. Dia seperti memikirkan sesuatu. Tiba –
tiba keraguanku muncul. Sebenarnya aku tak percaya dengan kata – katanya tadi.
Tapi entah mengapa aku manut saja dengan apa yang dia sampaikan.
“Mbak
pasti ngak tahu kan?” kataku memecah kesunyian.
“Bukan.
Mbak tahu. Tapi apa dik Dinda bisa menyimpan rahasia ini”
“Mengapa
mesti dirahasiakan Mbak? Kalau memang benar mbak Lena hamil, lalu siapa bapak
calon bayi itu” Tanyaku heran.
“Oke
deh. Bapaknya ... Tapi janji ya ngak akan bilang – bilang kalau Mbak yang
ngasih tahu”
“Ngak.
Cepat mbak. Siapa yang menghamili mbak Lena?” Kataku mendesak.
“Hm....
Syukri”
“Astagfirullah.
Mbak yang benar aja. Masak sih pemuda itu. Eh, Mbak tahukan kalau Syukri itu
orangnya baik. Anak Ustad Amri. Aktivis kampus lagi. Mana orangnya alim pula.
Ah... Dinda ngak percaya. Mbak pasti bohong. Fitnah. Mbak jahat...” cecarku
emosi.
“Eh...
Sabar dulu. Jangan keras – keras. Nanti tetangga pada tahu, kan bahaya. Mbak ngak
bohong. Jika dik Dinda tidak percaya ya terserah. Mbak hanya sekedar kasih
tahu. Ngak lebih” ucapnya pelan.
Kembali
pikiran ku kacau. Antara percaya dan tidak. Masak sih kakakku yang soleha akan
semudah itu berbuat hina. Apalagi Syukri.
“Ah
imposible” kataku sambil berdiri tapi sebentar kemudian aku duduk lagi di dekat
wanita itu.
“Mbak...
Mbak kan sahabatnya mbak Lena. Sama – sama aktivis kampus. Masak sih, Mbak tega
memfitnah sahabat Mbak sendiri sedemikian rupa?” kataku sambil terus
memandanginya tak percaya.
Ku
lihat kekikukan di tingkah mbak Surti. Dia seperti menyembunyikan sesuatu.
Wajahnya memerah sehingga aku semakin penasaran dengan perubahan itu.
“Oh...
Teganya dik Dinda berkata seperti itu. Mbak bermaksud baik. Mengasih tahu, tapi
malah Mbak dituduh memfitnah. Sudahlah lebih baik Mbak pergi” Ujarnya terbata –
bata seperti menahan tangis.
Ku
tatap lagi perempuan berjilbab itu. Bagaimanapun bathinku menolak, kakakku
dituduh melakukan hal yang bukan – bukan. Tapi siapa tahu perempuan muda ini benar.
“Mbak
maaf. Terima kasih atas kunjungannya” Kataku melepas kepergian nya.
*****
“Assalamualaikum”
“Waalaikum
salam” Jawabku dari dalam dan bergegas membukakan pintu.
“Oh
mbak Lena. Cepat pulangnya Mbak” tanyaku sambil terus memandangi kakak semata wayangku
itu. Terngiang kata – kata mbak Surti tadi pagi ditelingaku. Ku coba mencari –
cari kebenaran itu ditubuh kakakku. Ku pelototi wajahnya. Ku pandangi
penampilannya. Masya Allah wajah itu agak pucat. Mungkihkan mbak Surti benar?
“Lho
kok mandangin Mbak kayak gitu. Kangen ya?
“Hm.....”
“Kasih
jalan donk. Mbak kan mau masuk” kata mbak Lena mengejutkan ku.
“Eh...
Maaf Mbak” jawabku tersipu. Lalu bergeser kesamping memberi jalan mbak Lena
untuk masuk rumah.
“Mbak
capek ya? Mbak banyak kegiatan? Dinda pijitin ya?” ujarku lalu tanpa meminta
persetujuan nya ku pijit pundak mbak Lena yang masih sedang berjalan.
“Tumben
kamu baik sekali. Pasti ada maunya ya?”
“Enggak...”
“Mbak.
Dinda buatin Jus ya. Tadi Dinda beli Jeruk. Mbak suka jus jeruk kan?” kataku
lalu berdiri dan merangkul mbak Lena
menuju dapur. Sengaja ku lingkarkan tanganku dipinggangnya. Perlahan ku
raba perut mbak Lena. “Ah.. ngak ada apa – apa” bisik ku
“Eh..
ini apa – apan sih. Pake ngeraba – raba perut orang segala. Jahil kali”
“Segitu
aja kok marah. Dinda hanya pengen tahu Mbak tu lapar apa enggak” Jawabku
sedikit gugup.
“Tepat.
Mbak lapar ni dek. Ambilin nasi sekalian ya”
“Ambil
aja sendiri” kataku agak kesal. Habis biasanya mbak Lena mana mau nyuruh –
nyuruh begini.
“Tadi
ditanyain... Haus ya? lapar ya? Eh sekarang di jutekin. Gimana sih kamu dek?”
mbak Lena mulai heran dengan perubahan ku.
“Marah
nih ceritanya. Ok. Ntar ya. Hamba siapin tuan putri” kataku lembut lalu
beranjak menghidangkan makan yang ada dalam lemari ke atas meja makan.
Ku perhatikan
cara mbak Lena makan dengan seksama. Tak ada perubahan. Dia masih makan dengan
caranya yang dulu. Lambat dan mengunyah dengan pelan. Kembali keraguan
bergejolak di benakku. Tapi kata – kata mbak Surti tadi terus menggema. “Aku
tak percaya” kataku bergetar.
“Kamu
kok aneh sekali Dinda. Ngak percaya ama apa?”
“Ngak..
Ngak da Mbak”
“Dari
tadi Mbak perhatiin kamu aneh sekali. Memandang Mbak ngak berkedi. Perhatiin Mbak makan. Mbak jadi grogi ni”
“Cuman
senang aja melihat Mbak” jawabku asal.
“Ya..
Kalo gitu pandangin aja terus”
“Weee....”
“Katanya
senang melihat Mbak...?”
“Mbak..
Boleh ngak Dinda nanya?”
“Boleh.
Mo nanya apa?”
“Mbak
kenal ngak sama anaknya ustad Amri, itu lho Mas Syukri”
“Oh..
Syukri. Anak Teknik Kimia itu ya. Emangnya kenapa? Naksir ya...?”
“Enggak...
Ngak kok cuman pengen tahu aja”
“Jangan
bohong. Dosa”
“Betul.
Cuman pengen tahu aja. Lalu mbak... mbak akrab ya sama dia?”
“Ngak
tuh. Ketemu aja jarang gimana bisa akrab”
“Betul...
?”
“Betul”
“Serius....?”
“Apa
an sih. Ngak boleh lho dekat – dekat sama lawan jenis yang bukan muhrim. Bisa
bikin fitnah”
“Mbak..
Mas Syukri tu ganteng dan baik kan?”
“Eh..
Ngak boleh ngomongin orang”
“Ala...
belagu. Padahal dalam hatinya ...”
“Dalam
hatinya kenapa?”
“Ada....
Ada apa githu”
“Udah
deh. Mbak kekamar dulu. Makasih ya hidangan spesialnya nona manis” kata mbak
Lena lalu bergegas pergi. Cepat ku buntuti kakakku itu menuju kamarnya.
“Mbak..
Mbak kok suka sih pake baju kayak gini?”
“inikan
pakaian muslimah. Jangan salah”
“Ya.
Tapi kok kebesaran gitu kak?”
“Modelnya
tu yang kayak gini. Mbak suka dan yang penting nutup aurat” jawab mbak Lena.
“Kayak
baju orang hamil kok kak”
“Ya
biarin aja. Yang pentingkan manfaatnya. Makanya Mbak saranin kamu juga pake
baju yang kayak Mbak pakai ni ya. Jangan pakai jean melulu. Selain nampakin
lekuk tubuh juga ngak baik buat kesehatan”
“Tapi
jean tu kan ngak nampakin aurat kak?”
“Nampakin aurat secara jelas emang enggak. Namum nampakin lekuk tubuh kita kan?. Nah... yang itu juga berdosa. Baju seperti ini kan bagus. Ngak nampakin aurat. Ngak mengundang nafsu lawan jenis yang melihatnya”
“Nampakin aurat secara jelas emang enggak. Namum nampakin lekuk tubuh kita kan?. Nah... yang itu juga berdosa. Baju seperti ini kan bagus. Ngak nampakin aurat. Ngak mengundang nafsu lawan jenis yang melihatnya”
“Tapi
modelnya”
“Biarin
aja orang bilang ngak bermodel atau baju ibu hamil”
“Mbak
ngak malu dibilang orang hamil?”
“Malu?
Untuk apa malu kalau memang itu tidak benar. Cuek aja. Nanti orang itu akan
sadar sendiri. Oya. Untuk apa sih nanya – nanya seperti itu? Minat mo pake Hijab seperti Mbak ya?” kata mbak Lena
lalu memeluk ku bahagia.
“Tu...
Tunggu Mbak... Bukan begitu”
“Tunggu
apa lagi. Kalau sudah ada niat jangan ditunda – tunda”
“Mbak...
bukannya Dinda mau fitnah atau ngak percaya sama Mbak. Tapi...”
“Tapi
apa Dinda. Kalo kamu tidak mau sekarang ya ngak apa. Mbak tidak mau paksa kamu.
Semua Mbak serahin sama Dinda saja. Nanti kalo dipaksa – paksa hasilnya juga
ngak baik trus akan berakibat jelek juga”
“Bukan
itu Mbak”
“Lalu
apa? Ada yang lain ya atau Dinda punya masalah. Ayo cerita sama Mbak” Kata mbak
Lena lalu duduk di pinggir tempat tidur.
“Sini!
Duduk dekat Mbak!”
Perlahan
ku langkahkan kaki ku mendekati kakak tersayangku itu. Ku pegang tangannya dan
sekali lagi ku tatap wajahnya yang ayu.
“Ayo...”
“Mbak...
Tadi mbak Surti kemari”
“Lalu...
Dia cerita apa tentang Mbak?”
“Dia...
dia bilang bahwa... Bahwa mbak... Ha... Hamil”
“Astagfirullah.
Masak sih Surti tega bilang begitu sama Dinda?” ucap mbak Lena terkejut. Dia
gemetar dan wajahnya mulai memucat.
“Betul
ya Mbak? Cercaku. Mbak Lena hanya diam.
“Kok
Mbak sehina itu sih? Dinda ngak nyangka kakak Dinda mau berbuat seperti itu.
Dinda ngak nyangka mbak.. Dinda ..... Mbaaaakkk..” ceracauku penuh emosi.
“Dinda.
Dengarkan Mbak dulu. Mbak akan jelasin”
“Tidak.
Tidak ada yang harus dijelaskan. Mulai hari ini Dinda tidak mau lagi melihat
Mbak. Dinda benci Mbak...Dinda benci....”teriakku.
Tak
sanggup aku meneruskan kata – kata. Lidahku kelu. Tenggorokanku tiba tiba saja
tersekat dan dadaku sesak.
“Mbak...
Mengapa itu Mbak lakukan?”
“Dinda. Kamu jangan bodoh. Dengarkan Mbak dulu!”
“Dinda. Kamu jangan bodoh. Dengarkan Mbak dulu!”
“Tidak.
Dinda tak mau mendengar pembelaan dari mbak Lena. Biar ibu dan ayah yang
mendengarnya. Dinda ngak kuat” Ucapku lalu beranjak pergi.
“E.....
Tunggu dulu. Kamu mau kemana?”
“Mau
bilang sama ibu dan ayah”
“Tunggu
dulu Dinda... Dengarkan Mbak dulu” teriak mbak Lena sambil mengejarku. Diraihnya tanganku dan
diseretnya kembali ke kamar.
“Mbak.
Ibu dan ayah mesti tahu. Kalau Mbak tidak berani terus terang biar Dinda yang
bilangin”
“Eh...
Tunggu. Sabar. Istigfar”
“Ngak...”
“Sabar.
Istigfar donk. Jangan gegabah dan emosi. Mohon dengarkan dulu penjelasan Mbak”
Kata mbak Lena sambil terus memengangi pundakku. Tiba – tiba saja kebencian
muncul. Aku tak mau dibelai – belainya lagi. Aku jijik dengan kakak ku itu.
“Jangan
sentuh Dinda” aku berontak dan berdiri.
“Dinda..
ayo sini mbak jelasin. Ayo sini”
Lama
ku terdiam. Aku bingun. Perlahan ku turuti langkah mbak Lena. Ku kuatkan hati
untuk mendengar pengakuannya.
“Betul
tadi mbak Surti kesini?” tanyanya begitu aku duduk dan sedikit tenang.
“Betul”
“Lalu
Dinda percaya?” Tak sanggup ku jawab pertanyaan itu. Terus terang aku juga
masih sangsi dengan berita itu.
“Dinda
percaya sama Mbak atau sama mbak Surti?”
“Kalau
berita itu benar Dinda percaya sama mbak Surti la... ”
“Oke.
Apa dasar Dinda percaya sama mbak Surti?
“Mmmmm.....”
“Mmmmm.....”
“Dinda
tidak percaya lagi sama Mbak? Apa selama ini mbak Lena telah banyak berbuat
salah. Apa Dinda pernah lihat Mbak jalan dengan laki – laki. Apa ... apa Dinda
yakin 100 persen Mbak mau melakukan hal terkutuk itu?”
“Hm...
Ngak”
“Dinda,
jangan mudah percaya dengan sesuatu. Dinda kan sudah besar. Sudah kelas IX SMP.
Mbak yakin Dinda mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk” katanya
lembut.
“Dinda
tahu kok Mbak”
“Ya.
Mbak yakin Dinda tahu. Tapi peristiwa barusan menandakan Dinda belum bisa
membedakan mana yang baik dan yang buruk”
“Dinda
dapat beritanya dari sahabat baik kakak itu. Mbak Surti”
“Dari
mana pun sumbernya. Tidak boleh langsung di percaya donk”
“Ya
tapi... Mbak Surti menyampaikannya begitu meyakinkan sekali Mbak”
“Ok...
Apa Dinda sudah yakin dengan kebenaran berita tersebut?”
“Jadi....
Mbak tidak hamil.... Mbak tidak hamil kan?”
“Dinda.
Mbak bersumpah. Mbak tidak hamil. Masak Mbak bisa berbuat sehina itu. Begini –
begini Mbak masih punya iman yang kuat lho”
“Tapi...
mbak Surti bilang Mbak hamil?”
“Mbak juga ngak tahu, Kok mbak Surti bisa bilang begitu”
“Mbak juga ngak tahu, Kok mbak Surti bisa bilang begitu”
“Hm....”
“Trus
mbak surti bilang apa lagi sama Dinda?”
“Mbak
Surti bilang yang menghamili Mbak adalah mas Syukri. Anaknya ustad Amri”
“Masya
Allah...”
“Iya
Mbak”
“O....
pantasan tadi dinda nanya – nanya mas Syukri ya”
“Maafin
Dinda ya Mbak. Tapi kok teganya mbak Surti nyebar fitnah ni”
“Dinda...”
“Knapa
Mbak?”
“Begini.
Ada yang bilang. Sebenarnya mbak Surti itu suka sama mas Syukri. Namun, mas
Syukri tu ngak peduli. Kebetulan syukri sedikit dekat dengan mbak. Mas Syukri
dan mbak satu seksi di kepengurusan Senat dan sama – sama aktif dalam organisasi
kampus”
“jadi
mbak Surti cemburu?”
“Mungkin....”
“Trus
... Kok sampai bilang mbak hamil pula?”
“Akhir – akhir ini mbak kan pake baju gamis. Gamisnya sengaja Mbak pilih yang agak longgar pula. Jadi seperti orang hamil. Ditambah lagi badan Mbak yang lumayan berisi ni”
“Akhir – akhir ini mbak kan pake baju gamis. Gamisnya sengaja Mbak pilih yang agak longgar pula. Jadi seperti orang hamil. Ditambah lagi badan Mbak yang lumayan berisi ni”
“Oh...
Teganya mbak surti”
“Ya..
biarin aja. Semoga mbak Surti cepat sadar”
“Mbak...
Maafin Dinda ya. Tadi Dinda kebawa perasaan jadi sampe hilang logika gitu”
“Ngak
apa - apa. Mbak paham kok”
“Ya..
Maafin Dinda ya Mbak..... Habis mbak Surti kata – katanya meyakinkan sekali.
Makanya Dinda terpengaruh”
“Iya...
Mbak dah maafin”
“Makasih
Mbak”
“Ok...
Oya... Ambilin buah yang ada dalam kulkas donk. Mbak mo makan buah. Mungkin si
cabang bayi lapar nih” Kata mbak Lena sembari mengelus – ngelus perutnya”
“Mbak
Lena..... Mbak beneran hamil?”
“!!!!!.”
Langganan:
Postingan (Atom)