Kemiskinan dan Perasaan Kemanusiaan
Tulisan ini, yang penulis beri judul ”Kemiskinan dan Perasaan Kemanusian” ditulis dari suatu peristiwa kematian seorang ibu (45 tahun) yang meninggal dunia karena kemiskinannya. Ia memiliki jaminan kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan tidak jauh dari tempat kediamannya tetapi ia tetap tidak berdaya dengan kemiskinannya, orang-orang disekitarnya membantu apa adanya, namun akhirnya ia tetap juga meninggal dunia. Sementara itu perasaan kemanusian kepada mereka yang miskin kadang sangat sulit muncul meskipun orang miskin tersebut sudah ditemukan faktor-faktor resiko terjadinya petaka, Perasaan kemanusiaan hanya muncul ketika semua atribut yang melekat pada seseorang ditanggalkan atau perasaan kemanusiaan muncul ketika petaka telah terjadi. Untuk mengungkapkan ”mengapa hal ini bisa terjadi?” berikut penulis mencoba menyajikan satu peristiwa kematian dari suatu kesakitan yang dialami oleh keluarga miskin dan kemudian mencoba memicu perasaan kemanusiaan pada setiap orang ke orang lainya yang sama-sama adalah manusia.
Orang Miskin itu Akhirnya Meninggal Dunia
Mama Wati biasa dipanggilkan, Ia adalah seorang ibu yang usianya sekitar 45 tahun, telah dua kali menikah, suami pertama meninggal dunia dengan memberikan 4 orang anak, ia menikah kembali karena ia tidak mempunyai pekerjaan untuk menghidupi dirinya dan keempat anaknya, karena suami yang ditinggalkannya hanya seorang tukang batu. Ia kemudian menikah kembali dengan seorang pria yang pekerjaan sama dengan almarhum suaminya yaitu tukang batu, dari suami yang kedua ini ia mempunyai seorang anak. Keempat anaknya pada suami terdahulu telah menikah, semuanya masih tergolong keluarga miskin. Jadi otomotis keempat anaknya tidak dapat menanggung ibunya. Di Rumah gubuk yang tanahnya bukan milik mereka, siang harinya kadang penuh dengan depu, asap dari dapur yang menyatu dengan ruangan lain dan ketika malam udara dingin keluar masuk dengan bebasnya, dirumah yang tidak layak ini hanya tinggal mereka bertiga yaitu suami keduanya, dirinya dan seorang anaknya yang sudah berusia 17 tahun, anaknya ini sudah tidak sekolah lagi, ia hanya sempat Sekolah Dasar sampai kelas 2, ia hanya tahu membaca dan menghitung, itupun dengan kemampuan terbatas. Satu bulan yang lalu, setelah tulisan ini ditulis, ibu sang anak ibu menderita sakit, sulit untuk bernapas, oleh tetangganya disarankan untuk di bawah ke Rumah Sakit (RSUD Polewali), sebelum ke rumah sakit, suaminya membawahnya ke Puskesmas terdekat (Puskesmas Pekkabata Kec. Polewali). Oleh dokter Puskesmas mendiagnosanya menderita penyempitan saluran pernapasan (Asma) karena beberapa hari sebelumnya ia selalu berusaha sekuat tenaga supaya dapat bernafas, ia ke puskesmas karena ia benar-benar sudah tidak tahan lagi, oleh karenanya dokter puskesmas merekomendasikan untuk dirujukan ke rumah sakit untuk rawat inap. Dengan berbagai alasan ibu ini dan suaminya hanya meminta obat saja (rawat jalan Puskesmas). Rupanya mereka tidak ke Rumah Sakit dikarenakan ketiadaan biaya, memang semua ditanggung oleh pemerintah dalam program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), ketiadaan biaya disini adalah biaya-biaya lain diluar tanggungan Jamkesmas misalnya biaya pulang pergi kerumahnya, dan biaya-biaya lainnya untuk keperluan dirumah kelak bila mereka kembali dari rumah sakit, itu semua menjadi bahan pekiran keluarga ini, sehingga sang ibu tidak mau dirawat inap di rumah sakit. Setelah obat yang diberikan oleh dokter puskesmas habis, penyakit sang ibu agak berkurang, namun tiga minggu kemudian penyakitnya kambu kembali, suami yang tidak bekerja selama dua minggu sebagai tukang batu otomatis penghasilannya berhenti, sang suami tidak lagi membawah ke puskesmas, sang suami hanya mengatakan ” sabar bu, kalau bisa ditahan ditahan saja dulu” , badan sang ibu mulai bengkak, besoknya sang ibu menghembuskan napas terakhirnya. (sumber : diambil dari cerita sang anak)
Sulitnya Memicu Rasa KemanusiaanCerita yang sama terjadi ketika bulan lalu (mei 2009) penulis menjadi fasilitator dalam acara pertemuan meningkatkan peran perempuan dalam pemenuhan hak-hak hukum warga negara, penulis ditugaskan membawakan materi akses perempuan dalam pelayanan kesehatan, dalam sessi diskusi, seorang peserta mencoba bercerita tentang kejadian dilingkungannya, bahwa seorang ibu hamil yang akan siap untuk melahirkan walaupun akses semua pelayanan kesehatan telah ada, tetapi ia tetap mau melahirkan di rumah, persoalan hanya karena biaya dan fasilitas selain biaya dan fasilitas yang telah ditanggung pemerintah yang ia tidak miliki, misalnya seperti cerita pada bagian diatas, biaya tentang keperluan transport hari-hari bila ia harus rawat inap di rumah sakit dan kemudian juga rasa nyaman, ini yang sangat sulit sekali didapatkannya dan sangat menggangu sekali pemikirannya. Sehingga jangan heran, dalam suatu wilayah yang telah lengkap fasilitas dan tenaga kesehatannya serta sangat mudah diakses, tidak dimanfaatkan oleh mereka yang membutuhkan. Dalam diskusi tersebut yang pesertanya adalah perempuan di tingkat desa, solusi yang hanya bisa dikembangkan adalah kepedulian antar sesama, namun hal ini sangat sulit sekali terjadi karena ketiadaan pemicu kepedulian, masing-masing warga bekerja sesuai dengan aktifitasnya, kepedulian timbul ketika sudah terjadi petaka misalnya saja seorang ibu yang melahirkan dan kemudian bayinya meninggal, baru kemudian muncul kepedulian untuk saling membantu. Pemicu kepedulian misalnya saja seorang kader kesehatan atau seorang tokoh ditingkat desa ataupun aparat pemerintah pemberi pelayanan misalnya saja tenaga kesehatan, tidak mempunyai kemampuan untuk melihat berbagai faktor resiko yang harus dimunculkan untuk menimbulkan rasa kemanusian sebelum terjadi petaka. Perasaan kemanusiaan sangat sulit sekali terjadi ketika masih terjadi dikotomi kaya dan miskin, pejabat dan rakyat, pemberi pelayanan dan penerima pelayanan. Perasaan kemanusiaan muncul ketika semua atribut yang lekat pada seseorang ditanggalkan, sebagai contoh ketika penulis mencoba menfasilitasi kejadian gizi buruk di Kecamatan Tinambung Kabupaten Polewali Mandar, menurut aturan Depkes satu anak yang menderita gizi buruk saja sudah merupakan kejadian luar bisa, tetapi ketentuan ini tidak serta merta dimasyarakat langsung diterapkan, karena selalu saja menganggapnya hal yang biasa atau hal ini memang sudah sering terjadi, sehingga warga disekitar kejadian bahkan di dingkat desa dan kecamatan tidak muncul rasa peduli akan hal ini, kepedulian muncul ketiga penulis mengumpulkan semua komponen ditingkat desa, dan mencoba menjelaskan fakta (hasil pengamatan yang terukur) tentang gizi buruk dan mencoba menfasilitasi peserta pertemuan dengan sentuhan rasa kemanusiaannya (bukan atribut sosial yang selalu melekat pada peserta), alhasil kasus gizi buruk ini bisa terselamatkan, dan sang keluarga yang dikategorikan miskin tersebut muncul semangat baru untuk dapat merubah nasipnya dari miskin menjadi tidak miskin, suatu pelajaran yang dapat diambil untuk mereka yang masih miskin.
Pelajaran yang dapat diambil yang peristiwa diatasDari uraian diatas, mulai meninggalnya sang ibu keluarga miskin karena penyakit asmanya, dan beberapa diskusi-diskusi tentang kemiskinan dan perasaan kemanusian, penulis dapat mengambil suatu pelajaran yang dapat dijadikan bebarapa rekomendasi bagi mereka yang peduli terhadap kemiskinan dan perasaan kepedulian terhadap mereka yang meskin (belum beruntung) yaitu sebagai berikut :
- Ketika seseorang jatuh miskin, pada dasarnya ia benar-benar tidak berdaya, walaupun pemerintah telah memberikan beberapa jaminan sosial diantaranya jaminan kesehatan, mereka kadang tidak mampu mengaksesnya, bukan karena fasilitas pemerintah yang tidak ada, tetapi karena mereka benar-benar tidak berdaya.
- Perasaan kemanusiaan sangat sulit sekali terjadi ketika masih terjadi dikotomi kaya dan miskin, pejabat dan rakyat, pemberi pelayanan dan penerima pelayanan. Perasaan kemanusiaan muncul ketika semua atribut yang lekat pada seseorang ditanggalkan.
- Ketidak berdayaan orang miskin dan sulitnya muncul perasaan kemanusiaan hanya bisa diatasi bila diantara warga (masyarakat) dan pemerintah melepaskan semua atribut diantara mereka dan saling memandang sebagai sesama manusia yang saling memberi dan menerima, dan ini semua hanya bisa terjadi bila dipertemukan dan berbicara tampa atribut yang melekat pada mereka.
- Mempertemukan dan berbicara harus disertai dengan fakta (diamati dan diukur) tentang kejadian-kejadian kemanusiaan, hanya bisa dilakukan oleh mereka yang peduli dengan kemanusian.
- Pemerintah memang sangat penduli terhadap kemiskinan, tetapi dalam penerapannya, sepertinya sangat sulit sekali karena ketika mereka bekerja, mereka sangat sulit untuk melepas atribut pemerintahan yang melekat padanya. Sekali lagi mereka yang bisa memicu rasa kemanusian adalah mereka yang bekerja karena mereka merasa sama dengan orang-orang miskin itu.
0 komentar:
Posting Komentar