“…bahwa kesalahan kita bukanlah urusan kita seorang diri, tapi juga menjadi urusan orang-orang terdekat yang kita cintai…”
Tahun baru sebentar lagi. Pasti ada banyak orang yang telah menyusun berupa-rupa rencana untuk menyambut momen spesial itu. Sementara aku, tak terlalu serius menanggapi kedatangan tahun baru itu, entah apa yang akan kulakukan ketika orang-orang tumpah ruah di jalan-jalan sambil tiup trompet ke sana ke mari. Malam tahun baru, sepertinya tak jauh berbeda dengan malam minggu kebanyakan, bahwa malam tersebut adalah sebuah malam dimana esoknya adalah hari libur, itu saja, tak lebih tak kurang, paling yang berbeda adalah keharusan menyusun rencana-rencana selanjutnya dan harus membiasakan tangan menulis urutan angka-angka berikut ; 2011, ah… masih kaku benar menuliskannya.
Apalagi akhir-akhir ini pikiranku ini selalu diganggu oleh sebuah masalah. Masalah yang kumaksud bukanlah masalahku, sama sekali tak terkait dengan ku, bahkan manusia-manusia yang berada di pusaran masalah mungkin tak punya namaku di dalam memori otak mereka. Anehnya, masalah itulah yang membuatku terlambat tidur, agak kurang selera makan nasi, agak membuatku sering bermenung, dan kadang-kadang membuat dadaku berdegup kencang. Jika kawan beranggapan bahwa itu adalah aneh, aku sepakat bahwa yang terjadi pada diriku memang aneh. Tapi kujamin bahwa sebentar lagi kawan akan memahami keanehan itu.
Tersebutlah seorang pakar bernama Edward Lorens. Bagiku, menyebut nama Edward Lorens berarti berbicara mengenai Butterfly Effect, yaitu sebuah analogi unik tentang penyebab sebuah kekacauan. Begini kurang lebih bunyi analogi Butterfly Effect itu ; kibasan sayap seekor kupu-kupu bisa jadi menjadi tornado di tempat lain yang berjauhan. Sesungguhnya Mr Lorenz menjelaskan kepada kita, sebuah kejadian besar -dilambangkan dengan tornado-, bisa saja disebabkan oleh hal-hal yang amat kecil –dilambangkan dengan kibasan saya kupu-kupu-.
Tak percaya ? Mari simak cerita ini…
Berbulan yang lampau, sebuah pembunuhan terjadi di sebuah kampung kecil. Baik si pembunuh maupun si terbunuh adalah tetangga yang berdekatan yang setiap hari duduk bersama. Tak seorangpun penduduk kampung yang menyangka akan terjadi kasus pembunuhan di kampung kecil mereka. Tapi faktanya adalah pembunuhan yang tak pernah terbayangkan itu benar-benar terjadi. Apakah gerangan penyebabnya?. Satu hal yang pasti, tidak ada faktor tunggal dari sebuah kejadian. Namun, satu hal kecil yang cukup menarik perhatianku dari segala faktor yang berkaitan dengan pembunuhan itu adalah sebuah seloroh senda gurau dari seseorang yang berbunyi begini ; jika ada yang berani cemeeh, tusuk saja pakai pisau… Ingat! Kalimat barusan hanya senda gurau, tak serius, bahkan si pembuat kalimatpun hampir saja lupa bahwa ia pernah berbicara seperti itu sambil ketawa-ketawa riang di sebuah pos ronda di tepi sungai beberapa hari sebelumnya. Tapi itulah rupanya kibasan sayap kupu-kupu kecil itu…
Tapi bukan masalah pembunuhan di atas yang membuatku terganggu…
Pada sebuah kampus dekat rumahku terdapat seorang doktor, paling umurnya belum sampai empat puluh, kira-kira kurang sedikit dari itu. Karir akademisnya cukup cemerlang, penguasaan bahasa asingnya jempolan, tak heran, dulu ia pernah sekolah jauh-jauh keluar negeri sana. Selain segala hal yang kusebut diatas, ia berkesampatan duduk menjabat sebagai pembantu rektor. Walau ada orang lain yang lebih istimewa dibandingkan dengan dirinya, cukuplah ia menjadi salah satu rule model bagi diriku yang diam-diam juga punya mimpi menjadi seorang doktor seperti dirinya.
Namun, akhir tahun 2010 bagi si doktor adalah akhir dari catatan cemerlang tentang dirinya. Baru saja ku dapat kabar bahwa si doktor tersangkut kasus yang membuat dirinya berada dalam situasi yang oleh orang Minang disebut dengan jatuah tapai –jatuh seperti tape singkong yang lunak-. Jatuah tapai, benar-benar malang orang yang berada dalam situasi demikian, bayangkan saja sebuah tape singkong yang lunak terjatuh ketanah, bagian manakah dari tape singkong itu yang masih layak dimakan, tak ada, bahkan seekor anak ayam pun enggan mematuknya. Bagaimanakah keadaan si doktor? Ia dipecat dari jabatan tingginya itu, lalu SK edukatifnya dicabut, tak boleh lagi mengajar, diharamkan ia berdiri di depan kelas, jadi staf kantoran biasa, tahun depan ia harus membiasakan diri menjalani perintah mantan anak buahnya. Benar-benar jatuah tapai bukan?
Nah pertanyaan inilah yang membuatku terganggu ; hal kecil apakah yang diabaikan oleh si doktor? Bukankah setiap kejatuhan diawali oleh sandungan batu-batu kecil, seperti Adam yang harus angkat kaki dari surga hanya gara-gara tak bisa menahan diri untuk tidak mendekati sebuah pohon atau seperti Jalut yang rontok gara-gara Thalut yang secara kasat mata sangat lebih inferior? Pertanyaan-pertanyaan diatas jika mengacu pada butterfly effect berbunyi begini ; kibasan sayap kupu-kupu manakah yang membuat si doktor terjungkang secara malang dari posisinya?
Jika melihat kronologis kejatuhan si doktor, bahwa sebelumnya ia adalah seorang yang punya karir akademis yang cemerlang, lalu menjabat posisi penting yang amat tinggi, lalu ia jatuh secara menyedihkan dari ketinggian itu, maka dapat disimpulkan bahwa si doktor tak kuat iman atas posisi barunya. Si doktor mengalami semacam kegamangan atas posisi penting yang sedang di embannya, ia mengalami sebuah keterlenaan atas jabatan tingginya. Ia salah langkah di ketinggian, lalu terjatuh. Jatuah tapai.
Artinya, si doktor tak memiliki semacam karakter diri untuk tidak terlena jika sedang berkuasa. Mungkinkah dulu ketika si doctor ketika masih kanak-kanak atau remaja, gurunya gagal menanamkan sebuah sikap untuk tidak terlena ketika sedang memangku sebuah jabatan? Kegagalan penanaman karakter dari sebuah sistem pendidikan semasa kecilkah yang menjadi kibasan sayap kupu-kupu itu? Walllahu A’lam, Tuhan yang lebih tahu.
Tornado yang menghantam diri si doktor tentu saja tak hanya berdampak pada dirinya. Ia punya anak dan istri, punya keluarga dan punya kawan. Sesak napas ku membayangkan bagaimana perasaan anak istrinya sekarang, pasti juga demikian dengan keluarga dan kawan-kawannya. Secara aneh ku sering membayangkan diriku berada pada posisi si doktor yang dulunya menjadi salah satu rule modelku, dan tahukah engkau kawan apa yang kurasakan? Seperti yang kubilang ; sesak benar napasku olehnya, jadi sulit tidur dan makan. Ketika kulihat anak istriku, kasihan sekali mereka harus menanggung malu jika si doktor itu adalah diriku, tak tahu lagi wajah mau di tempatkan dimana. Dari kasus si doktor ini, aku belajar satu hal penting, bahwa kesalahan kita bukanlah urusan kita seorang diri, tapi juga menjadi urusan orang-orang terdekat yang kita cintai, bahkan menjadi urusan seorang bocah yang sejatinya tak tahu apa-apa. Jika benar-benar mencintai keluarga, maka sebaiknya kita lebih berhati-hati terhadap langkah-langkah kita.
0 komentar:
Posting Komentar