UJIAN NASIONAL!
PRESTASI ATAUKAH KONTROVERSI
Ujian Nasional atau yang sering disingkat UN, merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan proses pendidikan bagi siswa dan guru SD, SMP dan SMA. Namun UN setiap tahun selalu menjadi perdebatan dan topik yang hangat untuk didiskusikan. Perdebatan mengenai Ujian Nasional (UN) sebenarnya sudah terjadi saat kebijakan tersebut mulai digulirkan pada tahun ajaran 2002/2003. UN atau pada awalnya bernama Ujian Akhir Nasional (UAN) menjadi pengganti kebijakan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Dari hasil kajian Koalisi Pendidikan, setidaknya ada empat penyimpangan dengan digulirkannya UN.
Pertama, aspek pedagogis. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif). Sebelumnya tahun 2010 , yang dinilai dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif, sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan sebagai penentu kelulusan. Tapi setelah keluarnya permen diknas no 45 dan 46 tahun 2010 Un tidak lagi satu – satunya penentu kelulusan. Nilai rapor, nilai ujian praktek dan nilai Ujian Sekolah juga dijadikan penentu kelulusan dengan porsi 40% dan nilai Ujian Nasional 60%.
Kedua, aspek yuridis. Beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 telah dilanggar, misalnya pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa 8 standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Pasal 58 ayat 1 menyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Kenyataannya, selain merampas hak guru melakukan penilaian, UN mengabaikan unsur penilaian yang berupa proses. Selain itu, pada pasal 59 ayat 1 dinyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Tapi dalam UN pemerintah hanya melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang sebenarnya merupakan tugas pendidik sedangkan porsinya adalah 60%.
Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun 2004/2005.Pada tahun 2007/2008 menjadi 4.50, tahun 2008/2009 dan tahun 2009/2010 naik menjadi 5.00. Pada tahun 2010/2011 menjadi 5.50. Ini menimbulkan kecemasan psikologis bagi peserta didik dan orang tua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan dan mempelajari materi materi pelajaran yang akan di-UN-kan di sekolah ataupun di rumah.
Keempat, aspek ekonomi. Secara ekonomis, pelaksanaan UN memboroskan biaya. Tahun 2010, dana yang dikeluarkan dari APBN mencapai Rp 300 miliar, belum ditambah dana dari APBD dan masyarakat. Pada 2010 memang disebutkan pendanaan UN berasal dari pemerintah, tapi tidak jelas sumbernya, sehingga sangat memungkinkan masyarakat kembali akan dibebani biaya. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana UN.
Namun bagaimanapun, terima atau tidak terima, setuju atau tidak setuju, keberatan, tak sesuai azas pendidikan atau apapun namanya, UN adalah suatu kebijakan pemerintah untuk saat ini. Mau tidak mau, rela tidak rela wajib melaksanakan. Tugas berat ini tidak hanya beban bagi siswa yang bersangkutan tapi juga merupakan beban bagi segenap pendidik dan tenaga kependidikan. Terutama guru mata pelajaran UN dan Kepala Sekolah. Tentu segala cara telah dilakukan untuk meraih keberhasilan UN.
Akhirnya, semoga UN tahun 2011 ini berjalan mulus, lancar dan diakhiri dengan kepuasan. Kepuasan kelulusan, kepuasan nilai, kepuasan sistem dan kepuasaan lainnya. Amiiiiiin.( dindra, februari 2011)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar