Perhelatan UN akan segera dimulai, Semua sekolah sekarang telah mempersiapkan. Namun, buruknya kinerja para pengelola dan pelaksana kebijakan pendidikan terus terungkap ke permukaan secara sporadis. Hasil temuan dari studi awal (preliminary study) yang dilakukan Balitbang Kementerian Pendidikan Nasional pada sejumlah sekolah-sekolah RSBI di enam provinsi Agustus 2010 lalu menunjukkan potret kesuraman itu. Hasil studi itu belum mampu membangkitkan optimisme/harapan ke depan bahwa kualitas pendidikan kita akan semakin maju, rigor, dan kompetitif.
Beberapa parameter pendidikan yang digunakan Balitbang sebagai indikator dalam menilai kualitas sekolah RSBI, seperti guru dan kepala sekolah yang kompeten dan profesional, yang direpresentasikan dari hasil tes mata pelajaran (subject knowledge) yang diampu/diajar, hasil tes kemampuan pedagogis dan kemahiran berbahasa Inggris menunjukkan hasil yang belum memuaskan terutama bila dibandingkan dengan investasi/anggaran yang sudah dikeluarkan. Penguasaan materi pelajaran (content knowledge), pedagogis, dan bahasa Inggris guru dan kepala sekolah RSBI, yang berhasil direkam (captured) oleh instrumen tes yang dikembangkan Puspendik baru menunjukkan pada tingkatan medioker dan/atau lebih rendah. Sebagai contoh, skor rerata guru matematika kelas RSBI hanya mencapai angka 6,9, sedikit lebih tinggi daripada guru matematika kelas reguler yang memperoleh 6,3. Namun, pada biologi, rerata skor guru RSBI hanya memperoleh 4,6, sebaliknya guru kelas reguler memperoleh angka 6,0.
Hasil tes bahasa Inggris sebagian besar guru dan kepala sekolah RSBI yang disurvei menunjukkan kemampuan pada kategori novice, alias kemampuan para pemula yang baru mengenal/belajar bahasa Inggris. Rendahnya kemampuan bahasa Inggris kepala sekolah RSBI sebelumnya juga pernah diungkapkan oleh Surya Dharma, Direktur Peningkatan Mutu dan Tenaga Kependidikan. Pemetaan kemampuan dalam berbahasa Inggris pada 260 RSBI dengan menggunakan TOEIC (test of english for international communication) menunjukkan sekitar 50% nilainya di bawah 245, setara/atau di bawah tingkatan elementary. Hanya sekitar 10% dari yang diuji yang mampu berbahasa Inggris dengan baik. Itu pun karena kebanyakan mereka memang berlatar belakang sarjana pendidikan bahasa Inggris (Pena Pendidikan, 2008).
Temuan Balitbang di muka bagi penulis tidaklah terlalu mengejutkan. Hasil itu sebenarnya sangat koheren dengan hasil survei yang dilakukan Gerutas-ICMI (2008/09) terhadap guru dan siswa SMA/MA di Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Lahat, Sumatra Selatan. Gerutas-ICMI dengan didukung PT BA pada 2008/09 lalu melakukan pemetaan kebutuhan guna menyusun program peningkatan kualitas pengelolaan pendidikan di kedua daerah itu. Instrumen tes yang digunakan Grutas-ICMI sedikit lebih rigor. Desain tesnya sengaja dikembangkan untuk mengukur kemampuan higher order thinking skills (HOTS) guru-guru SMA/MA. Skor perolehan guru dan siswa pada tiap-tiap mata pelajaran dan pedagogis itu selanjutnya dikonversikan ke dalam band discriptors yang tingkatannya dibuat dari 1-6 (level 1 terendah, dan 6 tertinggi). Level 1 menggambarkan kemampuan recalling, dilanjutkan dengan kemampuan comprehension, application, analysis, synthesis, dan evaluation.
Hasil survei itu menunjukkan ternyata kemampuan guru dan siswa SMA/MA di kedua daerah itu sangat koheren, sama-sama rendah. Perolehan guru dan siswa SMA/MA pada hampir seluruh mata pelajaran hanya mampu mencapai level 3, atau bahkan lebih rendah lagi. Hasil itu menggambarkan begitu rendahnya kualitas pembelajaran yang berlangsung di balik ruang-ruang kelas selama ini. Sebagian besar guru kita hanya mengajar kemampuan rote-learning pada siswa. Potret dari hasil survei Gerutas-ICMI itu sebenarnya merupakan penegasan kembali dari gambaran yang sebelumnya diungkapkan oleh hasil penilaian TIMSS dan PISA terhadap siswa-siswa sekolah menengah kita selama ini. Laporan PISA (2009), misalnya, melaporkan 80% siswa-siswa sekolah menegah di Finlandia untuk sains dan matematika berhasil memperoleh skor/level 4 dan/atau lebih tinggi pada band descriptors (1-6) pada penilaian PISA, sedangkan anak-anak kita (sekitar 70%) baru bisa mencapai level 3 dan/atau lebih rendah lagi. Temuan TIMSS dan PISA sebenarnya sudah sangat sering diungkap oleh para pemerhati dan peneliti pendidikan. Namun, sayangnya belum mendapat perhatian yang serius dari pengelola dan penanggung jawab pendidikan di sekolah, dinas pendidikan kabupaten/kota, provinsi, dan direktorat pembina di pusat.
Penguatan kemampuan profesional guru
Pentingnya setiap lembaga pendidikan memiliki guru dan kepala sekolah yang berkualitas seharusnya sudah menjadi kesadaran kita bersama. Jika tujuan sistem pendidikan yang dirancang dan diarahkan untuk menciptakan siswa (lulusan) yang berkualitas dan berprestasi tinggi (higher student achievement), kita dengan dibantu data pendidikan di muka seharusnya sudah dapat mengidentifikasi unsur-unsur yang mampu mendukung/menopang pencapaian tujuan tersebut.
Perdebatan di kalangan masyarakat yang peduli pendidikan tentang pentingnya guru yang efektif dalam menopang pencapaian tujuan pendidikan sudah lama berlangsung, dan bahkan sejumlah penelitian juga sudah banyak yang mengungkapkan tentang pengaruh guru berkualitas terhadap keberhasilan pembelajaran siswa. Hanushek (1992), misalnya, menemukan, “That students whose teachers are at the top of the effectiveness range achieve as much as an additional year of growth in student learning over those with teachers near the bottom of the range – a gain of 1.5 years of academic growth as opposed to 0.5 years of growth in a single year.â€
Meskipun banyak hasil studi yang mengungkapkan peran sentral guru dalam menunjang pencapaian tujuan pendidikan (educational attainment), perhatian para petinggi/pengelola kebijakan pendidikan pada tingkat pusat dan daerah terhadap pembangunan kapasitas guru masih setengah hati. Anggaran RSBI sebagai misal, pemanfaatannya masih banyak pada pengadaan barang atau sarana sekolah, sedangkan penguatan kemampuan guru (teacher capacity building) masih menempati porsi yang sangat kecil sehingga perubahan kualitas guru dan siswa pada sekolah RSBI meskipun sudah berlangsung lima tahun masih belum terlihat secara signifikan. Apalagi bila kita menggunakan benchmarking dan model penilaian salah satu negara yang tergabung dalam OECD, seperti Cambridge A Level atau IBO. Hasilnya sudah dapat dipastikan akan lebih mengecewakan lagi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar