Lampu Merah

On Jumat, 15 April 2011 0 komentar

Amir ‘
Tak ada yang berubah dengan rutinitas ku pagi ini. Bangun cek laporan, mandi, sarapan dan kemudian berangkat bekerja. Jalanan yang sama pun harus ku tempuh, gang Palem, lalu keluar jalan raya. Ku tambah kecepatan menjadi 100 km/jam tak ada ampun untuk motor supra buntutku.
‘Cittt….’. lampu kuning yang berkedip menjadi merah membuatku mengerem tiba-tiba, nyaris mobil sedan putih keluaran terbaru tergores oleh ujung ban ku. Fuih…
“ Cinta satu malam oh indahnya cinta satu malam buatku melayang…misi Pak”
Anak ini lagi. Bocah belasan tahun yang rajin nongkrong di perempatan sini. Terkadang aku bosan dengan para pengamen jalanan ini, padahal ini, waktu mereka sekolah tapi malah asyik nyanyi dijalanan, lagu nya ga mutu lagi. Heran, padahal pemerintah itu gajinya bejibun malah ada yang bilang kurang, tapi kok disini ya masih ada yang ngais uang dijalanan, bocah lagi. Kemana orang tua mereka? Hah pasti lagi maen lotre atau kalau tidak mabok-mabok an ya seperti di sinetron yang aku lihat kemarin. Bocah itu menengadahkan tangannya, aku hanya diam saja.
“Misi Pak..”, ucapnya lagi
“Enggak dek”, sahut ku sedikit kasar, aku sudah gerah setiap hari begini terus. Apa mereka pikir aku orang kaya bisa ngasih uang, aku juga perlu uang. Dengan jabatan ku yang hanya sebagai pegawai swasta dengan penghasilan tak seberapa, para wanita pun tak ada yang sudi melirik ku, makanya di umur ku yang akan beranjak 30 tahun aku masih sendiri.
Aku melirik bocah itu kembali, dan dia masih bersemangat mengelilingi para penanti robot jalanan untuk mendapatkan recehan. 60 detik pun berlalu dan aku segera melaju dengan asap yang masih tertinggal di kulit using ku.

Bu Lidya
Sebagai anggota DPR penampilan ku harus perfect, seperti pagi aku pun tampil maksimal. Sanggul kecil, liptik merah marun dan baju dinas ku yang terlihat lebih hebat. Tak lupa BMW putih hasil kerja kerasku selama 3 tahun. Untung saja ada pembantu jadi aku tak perlu repot membuat sarapan untuk suami dan anakku. Di umurku yang 48 tahun tapi aku masih terlihat muda ha ha itu kata prang-orang sih, sifatku yang bijaksana membuat orang kagum padaku. Ya bijaksana ketika di luar rumah, imaje baik harus terus kujaga agar di pemilihan mendatang mereka pun melihku kembali. Harus ekstra berhati-hati.
“ Cinta satu malam oh indahnya cinta satu malam buatku melayang…”. Oh tersadar di sampingku terlihat bocah laki-laki yang dengan suara sumbang bernyanyi, hem pengamen. Kuturunkan kaca mobilku.
“Ini dek..”
“Terimakasih Buk..”
“Harusnya kamu itu sekolah…”, ucapku bijaksana, dan boca itu hanya tersenyum tipis
Uang seribuan. Ya aku selalu menyiapkan uang ribuan kalau ada yang meminta-minta. Setiap pagi minimal 10.000 yang harus ku keluarkan, hah tak apalah demi reputasiku. Bisa saja kan banyak yang melihat saat aku member bocah ini uang, dengan begitu mereka akan terkesan denganku.
Tapi terkadang sikap inipun membuatku tersiksa, hampir setiap hari aku harus berpura-pura ramah dengan orang, padahal aku yakin dibelakang banyak orang yang mencibirku karena iri pada kekayaanku.
Lampu hijau membuyarkan lamunanku, dan sederah kutancapkan gas menuju singgasana pemakai topeng terbanyak. Dan kupun kembali melebarkan senyum.



Asep
Tak ada yang berbda dengan pagi ini, bertemu kawan lama para asap yang senang melayang diperkotaan, pelanggan jalanan yang sering mengumpat ketika tepat dihadang oleh merahnya lampu yang berdiri tegap di samping perempatan. Bertemu dengan manusia yang bernasib sama dengan ku. Mencari alat yang bernama uang untuk sekedar bisa merasakan kenyang hari ini, oh bukan minimal makan agar masih bisa bernafas untuk hari esok. Sesungguhnya bukan itu alasan utamaku, toh lebih baik mati dari pada harus bekerja keras untuk hidup. Tapi mau bagaimana lagi aku harus mengobati bapak yang terkena kencing manis, kakinya kini sudah semakin membesar dan ‘mborok’. Ku bawa ke puskesmas tapi mereka bilang tak sanggup mengobati bapak, kerumah sakit? Ya ini aku sedang berusaha agar bisa mengumpulkan uang agar bapak bisa diobati disana.
Menjadi pengamen bukan pilihan tapi keharusan, hem sepertinya tidak tepat jika aku dibilang pengamen karena siang aku bekerja di tambal ban mang Dadang, malamnya menajdi tukang parkir di sebuah perbelanjaan besar, jadi bisa disebut aku adalah pekerja-pekerja apa saja-.
Siapa yang tak malu jika harus meminta belas kasihan, apa lagi hanya logam yang mungkin dengan umpatan dan rasa jijik mereka melemparkan uang itu padaku. Tapi sekali lagi ini bukan pilihan. Aku tak memaksa mereka meberi uang padaku, seperti bang Ucil yang jika tak diberi receh maka akan mengumpat abis-abis an pada sang pengguna jalan. Jika mereka mau ya terimakasih tapi jika tidak ya tak apa.
“Cinta satu malam…”
“Misi Pak..”
“Enggak dek”, jawab pemuda itu dengan ketus. Tak apa setiap hari aku sudah kebal dengan tatapan tajam mereka, pasti difikirannya terkumpul sejuta pernyataan tentang ku-tentang kami para pengamen-
“Cinta satu malam….”
“Ini dek..”
“Terimakasih Buk..”
“Harusnya kamu itu sekolah…”,
Sekolah? Hah uang siapa?. Harusnya kini aku sudah merasakan berpakaian putih biru tapi sayang selepas sd aku harus menghetikan harapan besarku, yang dulu pernah berniat ingin menjadi polisi. Omong kosong jika sekolah itu penting, kalau penting kenapa kami orang miskin tak bisa merasakannya apa hanya penting untuk prang kaya saja. Hah tak guna aku menyesali hidupku. Kini hidupku hanya tertuju pada bapak, demi kesembuhannya.
Lampu merah beralih dan aku pun segera minggir dan kembali menanti lampu hijau muncul, kukumpulkan hasil kencrenganku dan menghitungnya ‘hah ku harap terkumpul banyak’

0 komentar:

Posting Komentar