Kembali aku merenung tentang sebuah perjuangan. Disaat para penikmat dunia tertawa mengenggam kekuasaan, disudut jalan terlihat beberapa orang dan mungkin di tempat lain, sedang berjuang dengan keras untuk bertahan hidup minimal tidak kelaparan. Tentu tak bisa ddipungkiri berapa banyak pecinta jalanan yang berumur 10 tahun kebawah oh Tuhan bahkan bayi-bayi itupun disertakan dalam penderitaan hidup. Siapa yang salah? Tentu bukan anak itu. Orang tua mereka? Mungkin karena mereka dengan tega menyertakan anaknya untuk mengais nafkah, tapi tentu mereka pun bukan tanpa alasan. Orang tua mana yang tega membuat anaknya menjadi anak jalanan, hanya orang tua yang biadap yang bisa melakukan itu.
Sungguh tragis melihat para ibu-ibu dengan menggendong anaknya ditengah hujan yang deras dengan tekun mengelilingi jajaran pengguna jalan yang menanti datangnya lampu hijau. Miris melihat hal itu ditengah gemerlapnya kehidupan disisi lain. Hem ironis memang ketika disamping kiri mereka memohon ku untuk memberikan uang sedangkan disisi kananku mobil BMW yang diisi dengan beberapa pemuda yang tertawa girang diselangi music keras. Mungkin inilah kehidupan, ada kana nada kiri ada hitam ada putih ada baik ada buruk ada cinta ada benci, ada tawa ada pula tangis. Dan inilah kehidupan yang nyata. Maka segeralah bangun jika ada yang belum menyadari kerasnya hidup.
Kembali tentang kehidupan jalan yang liar yang memaksa anak-anak itu pun menjadi liar dan tak terkendali. Sempat kutanya beberapa anak yang mampir disebelah motorku seraya mengelap em padahal mereka ngelapnya cumin gitu-gitu aja.
“Dek sekolah?”, salah satu pertanyaan singkat yang selalu ingin kutanyakan pada mereka, dan mereka hanya tersenyum entah apakah itu sebuah pernyataan atau sebuah pertanyaan akan kehidupan mereka, yang mereka sendiri pun tak tahu.
Pernahkah melihat kehidupan jalanan mereka. Bisa kusebut tragis. Anak –anak merokok bahkan ada yang mabuk. Dan tak sedikit pula yang bicara mereka sangat kasar. Miris melihatnya. Katanya anak-anak itu penerus bangsa, katanya anak-anak ini calon pemimpin, katanya anak-anak adalah asset terbesar bangsa. Tapi???. Apa seperti ini perlakuan terhadap harta terbesar Negara. Membiarkan mereka menangis dalam kesendirian, menjerit dalam ketidakberdayaan. Ada undang-undang ada HAM Anak, tapi itu sama sekali bukanlah pelindung mereka. Peraturan yang ditetapkan itu hanyalah sebuah topeng kesempurnaan yang ternyata didalamnya hanya sebagai dinding luar yang tak bermakna. Siapa yang harusnya bertanggung jawab atas semua ini. Bisa bayangkan jika saat ini ada 70% anak-anak yang hidup tak layak. Padahal bangsa ini butuh penerus banyak yang mampu membangunkan bangsa ini dari tidur panjangnya. Sungguh jangan sampai itu terjadi. Maka segerah bangun wahai pemegang kekuasaan. Lihatlah mereka, sayangi mereka dan lindungi mereka. Dan kau wahai penikmat surge dunia, segeralah bangun dari duniamu. Bukalah kaca matamu dan lihatlah ini kenyataan ini. Bantulah mereka, sayangi mereka.
Siapa yang mau melihat langkah kecil itu berlarian dengan tergesa-gesa di perempatan jalanan meminta seratus, lima ratus uang, yang seharusnya langkah itu membucah tawa di sebuah sekolah kecil dengan segala kebahagiaan mereka. Sekali lagi inilah pekerjaan rumah terbesar yang pperlu kita pikirkan dan segela laksanakan. Dan kepada engkau, maka sungguh beruntunglah dirimu yang tiap hari melewati perempatan menunggu lampu hijau yang hanya beberapa menit bukannya melewati perempatan yang menunggu tiap waktu meminta belas kasihan manusia-manusia yang bertopeng manis. Lihatlah mereka, saya yakin masih ada senyuman tulus dari bocah kecil itu. Dengan pun berikanlah senyuman tulusmu pada mereka, karena dnegan begitu mereka pun merasakan bahwa mereka tak sendiri.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar