HIKMAH IDUL FITRI

On Kamis, 16 Agustus 2012 0 komentar



MEMBERI NILAI PADA HIKMAH IDUL FITRI 

Dari : Wa Endut ( Devacrana )

Dalam suasana Idul Fitri kita dihadapkan pada fenomena berbagai perilaku sosial. Disadari sepenuhnya hal pokok yang menjadi akar Idul Fitri adalah karakter genuine manusia yang memberi dorongan untuk bersilaturrahim dan filantropis. Dalam upaya untuk lebih memaknai Idul Fitri sebagai bulan kembali kepada fitrah dan kemenangan (minal ‘aidien wa al faizien) maka Idul Fitri identik dengan budaya saling mengunjungi.
Dari filosofi silaturrahmi ini maka berkembang berbagai fenomena sosial untuk membangun suasana interaksi antar manusia melalui upacara bersalam-salaman yang diteruskan dengan pengiriman berbagai bentuk ucapan yang memanfaatkan berbagai media, termasuk media internet, baik dengan layanan pesan pendek (short message service), email dan sebagainya. Fenomena transisional yang melahirkan pola interaksi baru, antar individu di tengah masyarakat kita. Pemeranan media-media tersebut merambah batas-batas yang mungkin selama kurun dasa warsa terakhir tidak kita prediksikan.
Preposisi hubungan sosial yang diawali hiruk pikuk persiapab mudik, sampai pada pemenuhan hak-hak sosial, baik oleh otoritas pemerintahan maupun di kalangan dunia usaha, menjadikan suasana Idul fitri ini sedemikian khas. Unik dan khas ala Indonesia. Catatan pinggir kita dilengkapi pula dengan persoalan jaminan keamanan pasokan pangan dan sandang, semua di patok kewajiban menjaga stabilitas dan suplai yang melewati angka 300% dari rata-rata event lainnya, atau kebutuhan normal tiap-tiap bulannya. Selain dari perubahan tingkat kebutuhan masyarakat, perubahan lain adalah padatnya volume lalu lintas di jalan raya t yang disebut dengan tradisi mudik Lebaran. Aparat keamanan dipaksa menurunkan kekuatan terbesarnya guna menjaga kelancaran arus mudik ini. Tambahan keunikan yang tiada dimiliki negara lain, orang-orang rela mengantri dengan sabar, mengunakan berbagai moda angkutan yang bahkan dengan alat yang mengabaikan standar keselamatan.
Kebahagiaan ini mutlak milik semua orang, tiada berbatas, Para pemudik ini, uniknya, bukan hanya dari mereka yang menjalankan ibadah puasa akan tetapi juga mereka yang sekedar memanfaatkan libur Lebaran untuk ikut mudik ke kampung halamannya. Maka orang yang tidak berpuasa juga ikut mengambil keuntungan dari tradisi silaturrahim yaitu peningkatan belanja keluarga dan pergerakan manusia yang amat padat. Tingginya jumlah angka pemudik mengakibatkan sarana transportasi dan jalan raya seakan  tidak mampu menampung padatnya animo masyarakat yang pulang untuk bersilaturrahim kepada sanak saudaranya. Sesuai dengan pakem ilmu ekonomi, semakin tinggi permintaan (demand) sedang pasokan layanan (supply) lebih kecil dari permintaan maka satuan harga yang harus dibayar terhadap layanan menjadi semakin tinggi.
Oleh karena sulitnya memperoleh jasa layanan serta mahalnya biaya ongkos transportasi, mengakibatkan munculnya kreatifitas baru masyarakat yaitu mudik dengan menggunakan sepeda motor bersama isteri dan anaknya. Sekalipun cara yang demikian cukup banyak risikonya akan tetapi dengan didasarkan kepada niat yang tulus untuk bersilaturrahim, niat mudik terus dilanjutkan karena semuanya telah membekali diri dengan sikap pasrah kepada Yang Maha Kuasa.
Selanjutnya kampung yang semula lengang karena ditinggal sebagian warganya mengadu nasib di kota-kota besar tiba-tiba berubah menjadi terang benderang dihiasi dengan berbagai asesori model terakhir terutama di kalangan remaja. Rentetan silaturrahim tersebut terus berlanjut dengan berkaca kepada orang-orang desa yang sukses di kota menjadi daya magnit yang sangat kuat untuk menarik minat orang desa melakukan urbanisasi. Maka setiap habis Lebaran, penduduk perkotaan mengalami pertumbuhan yang tidak sebanding dengan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang tersedia.
Dari segi filantropi Islam, di akhir bulan Ramadan setiap umat Islam diharuskan untuk membayar zakat fitrah dan bagi yang telah sampai ukuran nisab dan haulnya diwajibkan pula untuk membayar zakat harta. Sekalipun pada mulanya zakat itu dibayarkan dengan barang yang dikonsumsi yang semula adalah gandum menurut tradisi orang arab, akan tetapi karena konsep dasarnya adalah makanan pokok, maka pada masa lalu zakat dibayar langsung dengan beras yang disisihkan dari sebagian yang dikonsumsinya.
Namun kemudian, seiring dengan cara pandang masyarakat yang semakin pragmatis, maka beras, jagung atau sagu sebagai makanan pokok tidak lagi praktis digunakan untuk membayar zakat akan tetapi sudah dialihbahasakan dengan sejumlah uang yang disetarakan dengan harga beras yang dikonsumsi. Panitia zakat di berbagai tempat telah mengasumsikan bahwa tingkat kehidupan ekonomi masyarakat berada pada tiga lapisan: rendah, menengah dan tinggi, maka dibuat tiga kriteria harga satuan zakat fitrah yang harus dibayarkan para muzakki. 
Apabila pada masa lalu kepedulian terhadap warga miskin hanya muncul pada menjelang Idul Fitri yang menyebabkan adanya kebijakan pada kelompok masyarakat praktisi zakat yang disebut amil untuk langsung menyerahkan dan membagikan zakat fitrah guna memenuhi kebutuhan konsumtif masyarakat. Oleh karena itu diutamakan penyalurannya kepada fakir dan miskin sesuai dengan ketentuan yang berhak menerima zakat (mustahiq zakat). Akan tetapi perkembangan terbaru dari filantrofi Islam ini adalah tumbuhnya berbagai lembaga swadaya masyarakat yang menghimpun dana-dana ibadah ini dan menyalurkannya kepada kelompok masyarakat yang sangat membutuhkan.
Semoga Idul Fitri tahun ini menyadarkan umat betapa berat beban sejarah yang harus dipikul  generasi masa kini untuk menjemput hari esok umat Islam yang lebih baik. Beban sejarah itu adalah mewujudkan silaturrahim sebagai semangat yang selalu menjadi cita-cita untuk memperkuat ukhuwah umat dan meningkatkan wawasan umat. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431 Hijriyah. Minal ‘aidien wa al faizien, wa kullu ‘amin antum fi khair, mohon maaf lahir dan batin

0 komentar:

Posting Komentar