ROHANA KUDUS
PIONIR EMANSIPASI PEREMPUAN DARI
RANAH MINANG
Di balik gelora perjuangan kemerdekaan Indonesia, terselip nama-nama perempuan tangguh yang berjuang bukan dengan senjata, tetapi dengan pena, pikiran, dan keteguhan hati. Salah satu di antaranya adalah Rohana Kudus, tokoh perempuan asal Minangkabau yang mencatatkan diri sebagai wartawati pertama di Indonesia, sekaligus pelopor pendidikan perempuan pada awal abad ke-20. Di masa ketika perempuan masih terkungkung dalam adat dan keterbatasan akses ilmu, Rohana hadir membawa obor perubahan.
Pada 20 Desember 1884 di Koto Gadang, Sumatera Barat,
Rohana tumbuh dalam keluarga terdidik. Sejak kecil ia telah menunjukkan
ketertarikan yang kuat pada dunia literasi dan keinginan besar untuk belajar,
meskipun akses pendidikan formal bagi perempuan saat itu sangat terbatas.
Menyadari bahwa ilmu adalah kunci pembebasan, ia menjadikan pendidikan
sebagai senjata utama dalam memperjuangkan derajat kaumnya. Pada tahun
1911, Rohana mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia di Koto Gadang.
Sekolah ini didirikan khusus untuk perempuan, dengan tujuan agar mereka tak
hanya bisa membaca dan menulis, tapi juga memiliki keterampilan seperti
menjahit, menyulam, dan kerajinan tangan, sebuah upaya konkret agar perempuan
bisa mandiri secara ekonomi.
Tak hanya lewat kelas-kelas, Rohana juga berjuang lewat
tulisan. Ia menjadi jurnalis perempuan pertama di Indonesia dan
mendirikan surat kabar Soenting Melajoe pada tahun 1912. Uniknya, surat
kabar ini ditulis oleh dan untuk perempuan, membahas isu-isu penting seputar
hak, peran, dan suara perempuan di masyarakat.
Tulisan-tulisan Rohana menggugat
norma sosial yang mengekang perempuan, membela hak mereka untuk mendapat
pendidikan, dan menyuarakan pentingnya keterlibatan perempuan dalam pembangunan
bangsa. Dalam satu masa, ia menjadi guru, jurnalis, dan aktivis sosial tiga
peran penting yang semuanya didedikasikan untuk mengangkat derajat perempuan
Indonesia.
Berbeda dari tokoh-tokoh emansipasi yang dikenal dari Jawa, Rohana mengangkat semangat pemberdayaan perempuan dari ranah Minangkabau, sebuah masyarakat yang menganut sistem matrilineal namun tetap patriarkal dalam praktiknya. Di tengah ketegangan antara adat dan modernitas, Rohana menjadi jembatan menghormati akar tradisi sambil membuka jalan menuju kemajuan. Rohana Kudus meninggal pada 17 Agustus 1972, Namun, baru pada tahun 2019, ia secara resmi dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Sebuah pengakuan yang datang terlambat, tetapi tidak mengurangi nilai perjuangannya.
0 komentar:
Posting Komentar