BUYA HAMKA ULAMA, PEJUANG DAN SASTRAWAN UNGGUL INDONESIA

On Minggu, 23 Februari 2025 0 komentar

 






BUYA HAMKA

ULAMA, PEJUANG DAN SASTRAWAN UNGGUL INDONESIA

 

Hamka, nama lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah lahir 17 Februari 1908 di Sungai Batang Maninjau Sumatera Barat. Sejak masa kecil dalam diri Hamka telah tampak tanda-tanda akan menjadi orang besar. Hamka menempuh pendidikan formal Diniyah School, Sumatera Thawalib Padang Panjang dan menuntut ilmu secara autodidak (belajar mandiri).

Semenjak zaman pra-kemerdekaan nama Hamka telah dikenal sebagai mubaligh dan pengarang. Ia memimpin majalah Pedoman Masyarakat di Medan sampai Jepang masuk. Dalam masa revolusi kemerdekaan (1948 – 1949) Hamka ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan RI. Saat itu ia Ketua Front Pertahanan Nasional (FPN) Sumatera Barat dan Kepala Penerangan Markas Pertahanan Rakyat Daerah (MPRD).

Hamka hijrah ke Jakarta setelah penyerahan kedaulatan sekitar tahun 1950. Ia pernah menjadi pegawai tinggi Kementerian Agama di masa Menteri Agama K.H.A. Wahid Hasjim tahun 1950-an. Setelah Pemilu 1955 terpilih sebagai anggota Konstituante dari Fraksi Masyumi. Perjuangan di bidang pers dilanjutkannya dengan menerbitkan Panji Masyarakat.

Pada tahun 1955 Hamka diangkat sebagai Guru Besar Pusroh Islam Angkatan Darat. Guru Besar Pusroh Islam Angkatan Darat berjumlah 7 orang yaitu: Dr. Hamka, Dr. Kaharuddin Yunus, K.H. Syukri Ghozali, K.H. Anwar Musaddad, H.S.M. Nasaruddin Latif, K.H.A. Abdul Gafar Ismail, dan H. Abubakar Aceh.

Waktu Kementerian Agama mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta, Hamka diminta menjadi dosen luar biasa. Universitas Al-Azhar Mesir (1959) dan Universiti Kebangsaan Malaysia (1974) menganugerahkan Doctor Honoris Causa kepada Hamka. Pada tahun 1966 Dr. Hamka dikukuhkan sebagai Guru Besar di dalam bidang penggemblengan jiwa pada Universitas Prof. Dr. Moestopo Beragama.

Di ibukota Jakarta ia terus berdakwah, mengarang buku-buku agama serta mengisi siaran Kuliah Subuh RRI Jakarta dan Mimbar Agama Islam TVRI. Setelah Kongres Muhammadiyah di Ujung Pandang (1971) dan Padang (1975) sampai wafat Hamka menjadi Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah.




Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) terbentuk tahun 1975, Hamka terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum MUI pertama. Mantan Menteri Agama Prof. Dr. H.A. Mukti Ali dalam buku Hamka Di Mata Hati Umat (1983) mengemukakan bahwa berdirinya MUI adalah jasa Hamka terhadap bangsa dan negara, tanpa Buya lembaga itu tak akan mampu berdiri. Hamka meletakkan jabatan Ketua Umum MUI dua bulan sebelum berpulang ke Rahmatullah. Peranan MUI yang memayungi seluruh ormas Islam dibutuhkan guna memperkuat rasa persatuan dan kerukunan. “Akhlak Islam yang sejati, mengumpulkan, bukan memecah, memperdekat, bukan menjauhkan, mengatakan mari kemari, bukan mengusir keluar dari sini." tulis Hamka dalam buku Prinsip dan Kebijaksanaan Da'wah Islam.

Hamka adalah ulama yang merakyat dan mendakwahkan Islam dengan kegembiraan. Setiap tutur kata dalam ceramah maupun tulisannya memikat perhatian pendengar dan pembaca. Masjid Agung Al-Azhar dan Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar (YPI Al-Azhar) merupakan saksi perjuangan dakwah Hamka sebagai Imam Besar sejak masjid tersebut selesai dibangun tahun 1957.

Dalam sebuah kajian tasauf Hamka mengingatkan bahwa menjaga kebersihan jiwa sama pentingnya dengan menjaga kebersihan badan, dan ibadah yang kita lakukan memiliki hubungan dengan jiwa. Setiap pribadi muslim harus memperkuat jiwanya agar sanggup hidup dengan penuh cita-cita.

Komunikasi dakwah Hamka mudah dicerna dan dipahami oleh semua lapisan masyarakat. Kesetiaan Hamka dalam memegang prinsip agama berdasarkan ayat-ayat Al-Quran dan Hadis dan sebagai pejuang bangsa yang mencintai tanah air, dibuktikan hingga akhir hayatnya. Dalam perjalanan hidupnya Hamka pernah mengalami ujian berat yaitu menjadi tahanan politik selama dua setengah tahun atas tuduhan fitnah yang direkayasa. Menurut Hamka, tidak ada orang yang tidak pernah berjumpa dengan kesulitan. Pada bab pendahuluan Tafsir Al-Azhar, diungkapkannya, Sungguh Allah Maha Kuasa! Zaman bergilir, ada yang naik dan ada yang jatuh. Dunia tiada kekal. Bagi diriku sendiri, di dalam hidup ini akupun datang dan akupun akan pergi. Kehidupan adalah pergiliran di antara senyum dan ratap. Air mata adalah asin, sebab itu dia adalah garam dari penghidupan.

Hamka wafat Jumat 24 Juli 1981/22 Ramadan 1404 H di Jakarta dalam usia 73 tahun. Sebelum dirawat di rumah sakit, Hamka masih sempat menulis untuk rubrik Dari Hati Ke Hati majalah Panji Masyarakat yang dipimpinnya selama 24 tahun yaitu artikel berjudul "17 Ramadhan".

Sebagai ulama dan pujangga Hamka meninggalkan lebih dari seratus legacy karya cipta intelektual yaitu buku-buku mengenai agama, sastra, filsafat, tasauf, politik, sejarah dan kebudayaan, seperti: Tasauf Modern, Falsafah Hidup, Lembaga Hidup, Lembaga Budi, Sejarah Umat Islam, Pribadi, Ayahku, Islam dan Adat Minangkabau, Muhammadiyah di Minangkabau, Pandangan Hidup Muslim, Said Jamaluddin Al-Afghany, Tafsir Al-Azhar (30 jilid), Hamka Berkisah Tentang Nabi dan Rasul, Empat Bulan Di Amerika, Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya, Kedudukan Perempuan Dalam Islam, Kenang-Kenangan Hidup, Pelajaran Agama Islam, dan Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao.

Buku roman dan sastra, antara lain,

  1. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck,
  2. Di Bawah Lindungan Ka’bah,
  3. Merantau Ke Deli,
  4. Di Dalam Lembah Cita-Cita,
  5. Dijemput Mamaknya,
  6. Terusir,
  7. Tuan Direktur,
  8. Mandi Cahaya Di Tanah Suci,
  9. Di Lembah Sungai Nil,
  10. Keadilan Ilahi.


Disarikan dari berbagai sumber

0 komentar:

Posting Komentar