SEKOLAHKU
MATI SURI
Jarum
pendek jam dinding sekolah sudah melewati
angka 7 sementara jarum panjangnya di angka
4. Jam 7 lewat 20 pagi. Tapi tidak ada tanda-tanda kehidupan disini. Aku yang
terlambat atau jangan – jangan hari ini tanggal merah. Libur. Aku yakin. Hari
ini Rabu. Tidak tanggal merah apalagi hari minggu. Ada apa?
Kulangkahkan
kaki masuk gerbang sekolah. Tidak satu orang Ustad atau ustazah yang menunggu
di sana. Terbayang kebiasaan beberapa bulan yang lalu. Deretan ustad ustazah
menyambut peserta didik dengan senyum, sapa dan salam. Mempersilakan perserta
didik masuk setelah sebelumnya memastikan mereka rapi dan siap untuk belajar.
Namun hari ini, aku melintasi gerbang sekolah yang dulu berwarna biru kini
berubah merah itu dengan perasaan hampa. Ada yang hilang disana.
Taman
indah disamping sekolah pun kini tak terurus. Bunga - bunga itu tumbuh liar. Sebagian ada yang
sudah mati kekeringan. Baliho yang dulu tergantung megah kini terkulai lapuk. Ada
apa dengan sekolahku?
Karidor
ini pun sunyi. Padahal waktu sudah menunjukkan jam 8 lewat 20. Tak ada peserta
didik yang lalu lalang lagi. Berlarian, senda gurau sambil sesekali berteriak girang. Nafas
sekolah seakan berhenti. Sekolahku mati suri. Nadinya berhenti sampai waktu
yang belum pasti.
Kebersihannya
yang dulu terjaga rapi kini terkoyak karena rasa peduli yang mulai terkikis . Sampah
bertumpukan disana sini. Kursi yang seharusnya di ruang kelas tergeletak di
lapangan tiada yang mengurusi. Pohon- pohon yang sudah tak lagi indah untuk
dipandangi. Kemana rupanya penghuni sekolahku yang dulu sangat empati. Kemana
rasa itu bersembunyi. Akankah sekolah ini lama-lama mati? Hilang ditelan
pandemi. ( dodiindranoteasaja@blogspot.com
)
Tags:
Berita
0 komentar:
Posting Komentar