PAHLAWAN
UNTUK ANAKKU
Aku bersembunyi di balik tembok. Musuh menembak dari mana-mana. Desingan suara peluru laksana nyanyian pencabut nyawa. Mencekam. Banyak rekan prajuritku yang sudah gugur. Mereka berjatuhan di depan mataku. Aku kehilangan keberanian. Tapi aku harus memutuskan apakah akan maju dan menyelesaikan misi yang diberikan kepadaku oleh komandan untuk menyelamatkan rekan-rekanku yang kini menjadi tawanan perang atau menolak perintah dan melarikan diri. Aku ragu namun aku harus cepat mengambil keputusan.
Aku
mendapatkan kembali keberanianku. Aku ingin dikenang banyak orang terutama
anak-anak aku sebagai seorang pahlawan. Bagiku, lebih baik mati daripada hidup
sebagai pengecut. Aku tak mau dikenang sebagai prajurit yang melarikan diri
dari perang. Meninggalkan teman-teman dalam kurungan sebagai tawanan demi
menyelamatkan diri. Pengecut.
Aku menatap
tajam ke tembok di depanku. Perlahan namun pasti aku maju. Aku menembak dengan ganas dan berlari ke arah
musuh. Ini adalah waktu di mana semua pelajaran yang pernah ku dapat di
ketentaraan harus dipraktekkan. Aku harus percaya pada apa yang bisa kulakukan.
Terlebih lagi percaya pada pertolongan Allah. Allah akan menyelamatkanku. Aku
terus berlari ke hadapan.
Setelah
melewati banyak rintangan dan terhindar dari peluru-peluru musuh. Aku melihat
seorang tentara musuh sedang sembunyi di balik tembok. Dengan cekatan aku
mendekati dan menodongkan senjataku
"Di
mana mereka?" Aku terengah-engah saat berbicara.
"Siapa?"
dia terengah-engah lebih berat dariku mungkin karena takut.
“Tahanan
perang.”
Dia
mengangkat tangannya dan mengarahkan telunjuknya kearah bagunan disebelah
kiriku.
“Jalan
…” perintahku singkat
Aku
berjalan dibelakangnya. Aku menyadari bahwa dari pasukanku hanya aku yang
tersisa di luar. Aku harus menyelamatkan teman-temanku secepat mungkin sebelum
pasukan musuh mendapat bala bantuan. Aku
harus bergabung kembali dengan pasukanku. Menyiapkan strategi dan amunisi. Berjaga-jaga
sambil menunggu kedatangan serangan balik tentara musuh. Tentara musuh itu membawaku ke tangga yang mengarah ke ruangan bawah
tanah.
“Di dalam
sana kamu akan menemukan apa yang kamu inginkan. Tolong lepaskan aku sekarang?”
dia memohon padaku.
Aku
melakukan apa yang dia minta dan ini adalah kesalahan aku. Kesalahan besar. Aku
berlari ke bawah, perlahan dan mantap. Senjataku siap ditembakkan kapan saja.
Tiba-tiba aku merasakan bau busuk, bau mayat manusia. Jantungku berdebar
kencang. Apakah orang-orang yang akan kuselamatkan sudah mati? Apakah misiku
gagal?
Aku
sudah berada di ruangan bawah tanah. Aku
mencari teman-temanku yang sudah menjadi tawanan. Terus terang aku ragu. Apakah
mereka masih hidup atau sudah menjadi mayat busuk bergelimpangan.
Tiba-tiba
seseorang memelukku erat dari belakang. Aku meronta dan menendangnya. Aku berusaha
lepas dari sergapan itu. Aku berbalik
dan hendak menembak tetapi berhenti. Seragamnya mirip dengan seragamku. Ya
Tuhan, dia adalah Danil. Teman satu
timku
“Mana
yang lain?” Tanyaku
“Ikut
aku…”
Aku
berlari mengiringi Danil. Tak berapa lama. Aku menemukan sekitar 15 tentara di
timku. Dengan sigap aku dan Danil membobol pintu dan membebaskan mereka. Segera
kuperintahkan semuanya untuk berlari
menuju gerbang. Di luar sudah ada helikopter yang menunggu untuk menyelamatkan
kami.
Ketika
kami sudah sangat dekat dengan gerbang keluar, aku melihat bala bantuan datang
di belakang kami. Mustahil bagi kami untuk lari sebelum mereka datang. Ini
adalah waktu untuk mengambil keputusan kedua, apakah akan lari atau
menyelamatkan timku. Aku memilih opsi kedua. Aku memerintahkan rekan-rekanku
untuk berlari menuju helikopter. Aku ada di sana untuk menghadapi musuh.
Mustahil untuk melawan mereka yang menggunakan peluru jika di timku hanya aku
yang punya senjata. Aku harus mencari opsi lain. Aku membuka pin setiap granat
yang aku miliki dan berlari ke arah musuh. Mereka mulai menembakiku.
Peluru
pertama mengenai perut sebelah kananku. Perih. Darah segar menyebur. Aku
lunglai seketika. Bayangan anak laki-laki yang sedang bermain di lapangan ada
di hadapanku. Dia berlari ke arahku dengan gembira. Lalu peluru kedua di dada
kiri. Terasa panas. Semburan darah membasahi pakaianku.
“Ayah, ajari
aku mengendarai sepeda?” suara anak laki-laki terdengar di telingaku entah dari
mana.
Kemudian
peluru ketiga tepat dipelipis kananku. Peluru keempat bersarang di dadaku.
Menembus sampai ke jantung. Aku terdiam. Tiada lagi rasa sakit. Pandanganku
hitam. Semuanya gelap. Tubuhku ambruk. Tersungkur. Badanku melayang ringan.
“Aku
akan mengajarimu, anakku. Aku akan…"
www.dodiindranotesaja@blogspot,com
0 komentar:
Posting Komentar